Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag
Sudah bukan masanya lagi berdebat mengenai hukum penyelenggaraan Maulid Rasulullah SAW. Di tengah kompleks dan peliknya masalah umat, hanya akan menguras tenaga serta melalaikan prioritas.
Berlepas dari perdebatan, marilah sejenak merenung lebih dalam, memaknai lebih detail mengenai kehadiran sang kekasih agung Rasulullah di dunia ini. Turunnya beliau sebagai rahmat seluruh alam (Q.S Al-Anbiya: 107) lantas mengapa, masih saja tergiring dalam konfrontasi perdebatan.
Turunnya Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (QS. Al-Ahzab: 21)., boleh dikatakan public figure yang sempurna. Beliau sebagai uswah dalam skup terkecil keluarga sampai memimpin sebuah pemerintahan yang adil dan beradab.
Memaknai kelahiran Rasulullah dengan bingkai sirah nabawiyah, akan menyingkap hikmah bagaimana Rasulullah bergerak dan menggerakkan umat untuk membangun peradaban Islam yang gemilang. Inilah langkah yang lebih priotitas ketimbang bersitegang dalam debat yang tak ada habisnya.
Dalam hal ini, menarik terdapat 5 siroh keteladanan Rasulullah yang dapat dijadikan panduan dalam pergerakan di kekinian.
Pertama, meniru bagaimana cara Rasulullah berfikir, tenar di kalangan intelektual Indonesia dengan istilah “Prophetic” atau dialih bahasakan menjadi profetik, berfikir secara profetik yang artinya berfikiran seperti Rasulullah, apa maksudnya?, yaitu berfikir berlandaskan wahyu bukan nafsu. Berlandaskan dengan Q.S an-Najm ayat 3-4 “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Alquran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. Kaidah ini dapat dijadikan dasar untuk mengawali segala apa yang di dalam fikiran yaitu dengan pendekatan wahyu (al-Qur’an-as-Sunnah) bukan dengan nafsu amarah bi suu’i. Berfikiran profetik ini akan melahirkan fikiran yang jernih dan bersih, dengan kata lain akal yang selamat (‘aqlu as-salim). Keselamatan akal (‘aql) adalah ketika ia bersandar pada wahyu bukan nafsu.
Kedua, menyampaikan ajaran Islam dengan hikmah dan mau’idhoh hasanah serta dengan keihsanan. Termaktub dalam Q.S an-Nahl: 124, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Penyampaikan komunikasi dakwah Rasul adalah salah satu kunci dalam misi mengemban risalah suci ini (Islam), karena dakwah itu dari hati ke hati, menggetarkan hati agar mendekat dengan hidayah yang selalu mendorong kepada fitrah. Kelemah-lembutan Rasulullahlah yang menjadi uswah, Ia dicintai oleh kawan namun disegani oleh lawan.
Ketiga, berbudi luhur dengan perangai akhlaq al-karimah dan uswah hasanah. Meneladani Rasulullah dengan ber- akhlaq al-karimah dan memberikan uswah di setiap hal kebaikan adalah selaras dengan misi diturunkannya Rasul, Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR Ahmad, Baihaki, dan Malik). Pada riwayat lain Rasulullah SAW juga bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (HR. At- Tirmizi). Kemuliaan Rasulullah juga diteguhkan dalam al-Qur’an Allah berfirman, Wa innaka la’ala khuluqin `azhim”, yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung.(Q.S al-Qolam: 4) kemudian dalam surat al-Ahzab ayat 4, laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanah….pun menegaskan tenatng kebudi luhuran Rasulullah yang agung.
Penegasan demi penegasan inilah sebagai panduan dalam pergerakan, di kekinian ini dibutuhkan muslim yang selalu menjadi uswah berhias akhlaq al-karimah sebagai jawaban kesemrawutan masalah internal umat Islam dan masalah dari eksternal umat Islam, sekali lagi bukan berdebat tanpa maslahat, namun bertindak dengan tepat.
Keempat, arif dan bijaksana dalam menanggulangi pluralitas. Sebuah sejarah yang tak terbantahkan bahwa dinamika dakwah Rasulullah di Makkah serta Madinah tantangannya sangatlah berat, namun dalam menyikapi perbedaan pandangan yang majemuk, Rasulullah sangatlah arif dan bijaksana, tercatat berkali-kali Umat Islam dikala itu melakukan perjanjian dengan pihak yang berseberangan demi kemaslahatan bersama. Dengan jiwa yang hanif para Umat Islam dengan ber-ittiba’ kepada Rasulullah senantiasa menaati perjanjian yang disepakati dengan kubu berseberangan, namun disisi lain kelompok yang bersebarangan justeru malah lebih sering mengingkarinya.
Sebagai catatan kelam para kaum pembenci Rasulullah, beginilah pelanggaran yang telah dilakukan seperti; pelanggaran piagam Madinah oleh bani Qainuqa sebagai penyebab perang Ahzab, pengingkaran perjanjian Hudaibiyah, intoleransi dalam kronologi perang Mu’tah (lihat: buku Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Bergama karya Umar Hasyim.1978). Namun pada ujungnya ketika fath Makkah/ futuh Makkah tak setetes darahpun ditumpahkan, begitulah puncak toleransi Umat Islam yang dipimpin langsung Muhammad Rasulullah SAW.
Kelima, totalitas dalam perjuangan. Dalam sirah nabawiyah karya al-Mubarakfuri, dikisahkan ketika kaum Qurays mendatangi paman Rasulullah dengan menebar ancaman, dengan tegas serta berjiwa pemberani beliau bersabda, “Wahai Pamanku, Demi Allah, andaikan mereka meletakkan Matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, agar Aku meninggalkan risalah agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya”. Statement inilah, bukti totalitas Rasul dalam berjuang.