Pemuda, Keluarga, dan Terorisme

CANBERRA, Suara Muhammadiyah-Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah (PRIM) Canberra Australia bekerjasama dengan Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB), dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) menyelenggarakan Kajian Online dan Diskusi Sumpah Pemuda bertema “Pemuda, Keluarga dan Terorisme” pada Sabtu, 30 Oktober 2021. Diskusi yang dimoderatoi Asrul Sidiq (PRIM Canberra dan Dosen USK Aceh) itu menghadirkan PhD Graduate dari the Australian National University (ANU) Canberra, Haula Noor dan PhD Candidate di the Australian National University (ANU) Canberra), Nava Nuraniyah.

Haula Noor menjabarkan tentang karakteristik pelaku terorisme yang umumnya berusia muda. Mereka sedang dalam proses pembentukan identikan dan penyematan identitas. Menurut Haula, kondisi kriris sosial politik, krisis identitas, global event, kondisi termarginalkan secara sosial, dan kondisi-kondisi lain itu mengarahkan individu untuk memposisikan peran dan identitas mereka pada identitas kolektif di masyarakat. Mereka terpengaruh oleh keluarga, teman, sekolah, dan media sosial.

Rentannya generasi muda untuk terlibat dalam aksi terorisme dilihat oleh Haula sebagai hal yang patut diberi perhatian. Sebabnya, penduduk dengan usia milenial mendominasi populasi Indonesia, yaitu sekitar 34% dari keseluruhan jumlah penduduk. Seiring bonus demografi, jumlah ini diprediksi bakal terus membesar.

Alvara Research Center (2020) menyebut karakteristik generasi milenial: kecanduan internet, tingkat loyalitas rendah, multitasking, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, suka berbagi. Karakter generasi ini, ungkap Haula, mudah dipengaruhi oleh karena adanya jarak antar generasi, bingung antara dua realitas sementara terorisme menawarkan kepastikan, jawaban hitam putih, baik buruk, kafir munafik; mereka juga merasa lebih Islam dari orang tuanya. Mereka mudah digerakkan dari idealisme menuju kemarahan sporadis.

Nava Nuraniyah menguraikan beberapa tren ekstremisme di Indonesia saat ini, yang akarnya dapat ditelusuri jauh ke belakang. Menurutnya, perjuangan mendirikan negara Islam melalui jalan kekerasan bermula dari gerakan Darul Islam pada 1950-an, terutama di Jabar, Aceh, Sulsel. Pada fase berikutnya, alumni Afghanistan kembali sejak akhir 1980-an dan membawa paham Salafi-Jihadi berpisah dari DI, dan turut mendirikan Jemaah Islamiyah.

Saat ini, menurut Nava, ekstremis di Indonesia terbagi dua kubu besar: pro-ISIS dan pro-Al-Qaeda. Mayoritas serangan terorisme dalam 5 tahun terakhir dilakukan oleh kelompok afiliasi ISIS, terutama JAD. ISIS mempromosikan jihad keluarga, yang berbeda dengan jihad Afghanistan yang lebih menekankan jihad pemuda.

Terkait dengan alasan mengapa seseorang mudah bergabung dengan kelompok teroris, Nava memberi beberapa jawaban: keinginan mencari keluarga baru, tekanan dari keluarga/teman, ingin balas dendam, petualangan; status, rasa bersalah; mau bertobat, idealisme, rasa kemanusiaan, utopianisme, motivasi ekonomi, self empowerment, menyelamatkan keluarga dari api neraka. (ribas)

Exit mobile version