Aku adalah perempuan yang dilahirkan dari rahim Muhammadiyah. Darahku adalah darah Muhammadiyah. Bapakku aktivis Ranting Muhammadiyah, ibuku penggerak Aisyiyah dan Kakakku adalah anggota Kokam yang penuh ghirah.
Secara formal aku mengenal Muhammadiyah mulai dari TK Aisyiyah di desa. Kemudian melanjutkan ke Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah atau masyarakat di kampungku menyebutnya MIM. Letaknya empat ratus meter dari rumahku.
Saat kecil aku mengenal seseorang yang aktif menghidupkan Taman Pendidikan Al- Qur’an. Mbak Fatimah namanya. Suaranya lantang jika mengajar. Tapi ia adalah sosok perempuan yang penuh rasa sayang. Senyum ramahnya membuat anak-anak betah di masjid. Karakter dan jiwa kepemimpinannya begitu kuat. Aku dan teman-teman putri mengidolakannya dan ingin menjadi seperti dia. Ia seorang alumni dari sebuah pondok pesantren di Banyumas.
Ia dulu juga sekolah di MIM sepertiku. Akupun berpikir bahwa aku pasti bisa mengikuti jejaknya. Aku ingin masuk pondok pesantren seperti dia.
Aku utarakan keinginanku kepada bapak. Aku yakin bapak akan senang sekali mendengarnya. Namun ternyata jawaban bapak membuatku kecewa.
“Kamu tidak usah ke pondok pesantren ya Nduk. Bapak akan sekolahkan kamu di SMP Muhammadiyah.” Saran bapak tanpa memberikan pilihan lain.
“Tapi aku pingin ke pondok Pak. Aku ingin bisa jadi guru ngaji. Seperti Mbak Fatimah itu.” Aku merengek. Aku ingin bapak mengabulkan pintaku. Aku tahu bapak sangat peduli dengan TPA di masjid. Bapak yang menginisiasi TPA itu berdiri dan sekarang sebagai penasihat tak tergantikan.
Bapak selalu ingin melakukan yang terbaik untuk dakwah Muhammadiyah. Gaji mengajarnya tak besar. Itu pun sebagian dipakai untuk membantu murid dari keluarga tak mampu. Ketika bapak mendorong warga masuk SMP Muhammadiyah maka aku sebagai anaknya juga harus siap. Menjadi murid di sekolah swasta kecil di sebuah desa. Sama sekali aku tak pernah terbesit sedikitpun untuk menjadi salah satu murid di sana.
“Mantapkan hati, kamu ikut saja kata Bapak ya. Sekolah di SMP Muhammadiyah. Kita besarkan sekolah ini. Bismillah.” Kata bapak sambil memegang pundakku.
Pupus sudah mimpiku untuk bisa menjadi seorang santri. Bapak waktu itu sebagai Kepala SMP Muhmmadiyah itu. Ia benar-benar sanggup mengorbankan apapun termasuk mematahkan mimpiku demi hidupnya sekolah yang dipimpinnya.
Aku tak bisa menuntut lebih. Aku turuti kemauan bapak. Aku menjadi siswa SMP Muhammadiyah di desa.
***
Aku menjadi bagian dari perjuangan Persyarikatan di sebuah sekolah desa yang sederhana. Atas nama mempertahankan nama baik dan meningkatkan prestasi sekolah, aku sering diikutkan lomba. Aku dan kawan-kawanku harus berani dan percaya diri melawan sekolah swasta lain dan juga sekolah negeri. Sekolah ini telah mendidikku dengan nilai-nilai pengorbanan, perjuangan dan semangat fastabiqul khairat yang tak akan pernah luntur.
Suatu hari dalam rangka menyambut hari pramuka, diadakanlah lomba tingkat kecamatan. Sekolah mengutusku menjadi pemimpin regu mengikuti lomba itu.
“Kita harus benar-benar semangat teman-teman! Jangan mau diremehkan. Kita buktikan sekolah kita bisa berprestasi. Sekolah Muhammadiyah kita adalah sekolah yang pantas menjadi pemenang.” Kataku menyemangati teman-temanku.
Dengan keterbasan pengalaman dan fasilitas yang kami punya, kami mampu menunjukkan prestasi di tingkat kecamatan. Waktu itu era 90 an, sekolah di desaku belum akrab dengan pandu Hizbul Wathon. Meski demikian kami sudah menerapkan apa yang tertulis pada lirik Mars Hizbul Wathon. Sedikit bicara banyak bekerja, memegang amanahnya menjunjung agama, teguh hati sebagai baja menjalankan kewajiban, dengan sopan serta perwira.
Berbagai lomba aku ikuti. Lomba seni dan olah raga, lomba keagamaan dan lomba akademik. Bukan untuk prestasi pribadi namun untuk nama baik SMP Muhammadiyah. Aku ingin warga Muhammadiyah bangga dan orang tua pun ikut gembira. SMP Muhammadiyah di desaku semakin dikenal dan menunjukkan prestasi.
Aku masih teringat waktu bersama teman-teman harus mengikuti ujian nasional menginduk di sebuah SMP Negeri di kecamatan. Aku benar-benar tercambuk untuk membuktikan bahwa siswa SMP Muhammadiyah, sekolah swasta yang ada di desa itu bisa menaklukan ujian nasional. Aku sangat tidak senang waktu kami diremehkan. Hanya karena terpaksa ndompleng sekolah negeri, karena sekolah kami waktu itu belum mempunyai legalitas sebagai penyelenggara ujian nasional secara mandiri.
Alhamdulillah aku berhasil meraih nilai ujian yang melampaui nilai siswa dari SMP Negeri. Bapak sangat bangga.
Lulus SMP aku kembali menyampaikan keinginan untuk masuk pondok pesantren. Namun bapak masih belum mengizinkan. Aku kembali harus membuang jauh mimpi menjadi seorang santri. Bapak berkehendak lain. Bapak mendaftarkanku ke SMA Negeri di Kabaputen. Bapak ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa lulusan SMP Muhammadiyah bisa diterima di SMA Negeri favorit di tingkat Kabupaten.
Namun aku masih ingin merayu bapak agar keinginanku dikabulkan. Aku ingin sekolah di pondok pesantren. Lagi-lagi Bapak menolaknya. Bapak terus berusaha agar aku bisa masuk ke SMA Negeri. Akhirnya aku menurut saja meski dengan berat hati. Aku menjadi satu-satunya lulusan SMP Muhammadiyah dari desaku yang bisa menjadi siswa SMA Negeri terbaik di Kabupaten. Prestasiku ini diceritakan guru-guru sekolah kepada warga desa agar orang tua tak ragu lagi menyekolahkan anaknya di SMP Muhammadiyah.
***
Kini aku sudah berkeluarga. Tinggal di Yogyakarta. Setiap pulang kampung aku selalu melewati sekolahku dulu. Aku bangga menunjukkan kepada suami dan anak-anakku. Itulah SMP Muhammadiyah yang telah mewarnai hidupku.
Sekolah itu belum berubah setelah kutinggalkan. Gedung dan warna catnya masih sama. Namun nampak tak segagah dulu. Menurut kabar yang aku dengar, sekolah mulai sulit bersaing mencari siswa. Berebut dengan MTs di desa dan SMP Negeri yang baru didirikan di dalam satu kecamatan. Dengan alasan biaya lebih murah warga desa memilih sekolah lain. Tidak seperti MIM yang masih sangat diminati dan tambah besar. SMP Muhammadiyah kini mengalami kesulitan untuk bertahan.
Aku selalu terngiang mimpiku dulu yang begitu merindukan pesantren. Meski dulu tak kesampaian menjadi santri, aku kini menjadi guru di pondok pesantren milik Muhammadiyah. Aku memaknai bahwa aku sedang menjadi guru sekaligus santri. Ini mungkin salah satu doa yang dipanjatkan orang tuaku.
Sementara itu bapak tetap berkhidmat dengan dinamika persyarikatan di desa, namun fisiknya tak sekuat dulu lagi. Bapak sudah semakin sepuh, tapi semangat pergerakannya tak pernah padam. Bahkan mengalahkan yang jauh lebih muda. Tenaga, fikiran dan doa-doanya tulus untuk dakwah Muhammadiyah. Ia yakin dengan jalan dakwah yang dijalani dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan adalah tugas mulia yang akan mengantarkannya ke surga. Ia berjuang bukan untuk dirinya. Namun untuk generasi berikutnya.
Di dinding rumah ia pajang gambar tokoh-tokoh Muhammadiyah. Di ruang dekat dapur sering kami berkumpul sekeluarga dan bercakap-cakap tentang berbagai hal. Di situ pula bapak dan ibu kadang menerima tamu para pelaku dakwah dan pegiat amal usaha Muhammadiyah di desa. Ada tawa dan keluh kesah. Mereka minum teh dengan sajian khas desa seadanya. Siapapun yang duduk di sana akan melihat sebuah stiker besar warna hijau menempel pada bagian atas cermin besar di almari yang sudah dimakan usia. Terbaca jelas sebuah tulisan berjajar dengan gambar matahari bersinar dua belas. Islam Agamaku Muhammadiyah Gerakanku. []