Oleh: Alvin Qodri Lazuardy*
Naiknya pembahasan mengenai toleransi, moderasi bahkan deradikalisasi menjadi topik panas di negeri ini, memutar dinamika diskusi bahkan sampai konfrontasi literasi dan semoga tidak sampai pada konfrontasi aksi dengan bumbu anarki. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi toleransi, berbagai fakta sejarah sudah membuktikan Islam adalah agama yang memberikan kesejahteraan ketika berpijak di manapun, dengan kata menjadi “rahmat untuk seluruh alam”. Menghindari konfrontasi bernada anarki, marilah sejenak mendudukkan kembali dengan jernih makna toleransi sesuai dengan panduan Islam.
Menilik Makna Toleransi Dalam Islam
Berawal dari makna tasamuh yang dimudahkan dengan arti toleransi, bermakna memberikan kebebasan kepada sesama manusia menjalankan prinsipnya tanpa menganggu prinsip orang lain dalam catatan sesuai dengan aturan yang ada, menurut Abas Mansur Tamam dalam bukunya Islamic Worldview Paradigma Intelektual Muslim, Abbas menjelaskan:
… meskipun toleransi secara pemikiran memiliki makna “memudahkan” tetapi bukan berarti mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam Agama, maupun cabang-cabangnya karena keterbukaan itu bukan berarti sikap cair dengan aliran-aliran yang bertentangan dengan Islam. Karena Islam itu tegas, tidak kehilangan jati dirinya, apalagi jika hanya mengikuti apa yang ada dengan agama atau budaya lain.[1]
Menelaah penjelasan di atas, pada intinya Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan siapa saja, apalagi berkaitan dengan hubungan sosial kepada seluruh manusia, Islam sangat ramah dan santun karena setiap bertemu dengan sesama muslim yang terucap adalah doa tentang keselamatan. Meskipun Islam sangat mencerminkan kemudahan bukan berarti tiada prinsip yang dipegang kuat, justru Islamlah sangat kuat dalam masalah Aqidah, kei-Imanan, dan keyakinan. Dalam hal ini, penulis memberi pendapat bahwa toleransi bermakna “memudahkan” bukan berarti saling memudahkan tanpa ada batas, sehingga mengahancurkan jatidiri dalam Islam. Dalam Islam mempunyai prinsip yang fundamental tidak dapat ditawar, Islam mengakui keanekaragaman dan mengasihi sesama manusia.
Lebih dalam lagi, menelaah buku Problema Pluralisme Agama, terbitan CIOS UNIDA Gontor[2], dijelaskan di dalamnya bahwa Islam agama yang haqq, memandang manusia sebagai manusia yang utuh, dan mengembalikan segala urusan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka toleransi dalam Islam diatur dalam Worldview Islam sendiri, dengan meyakini Islam itu haqq yaitu yang disampaikan Rasul kepada manusia[3], namun juga diperintahkan untuk mengasihi sesama manusia[4]. Toleransi Islam dapat diibaratkan seperti pohon yang akarnya tetap konsisten menguatkan ranting, kemudian ranting dan buahnya memberikan rahmat kepada seluruh manusia.[5]
Menganalisa pernyataan di atas, tersurat bahwa Islam Agama yang haqq, di dalamnya terdapat kebenaran absolute berdasar dari wahyu Allah dan hadith Rasulullah, atas dasar itu untuk bertoleransi-pun harus sesuai dengan cara pandang Islam sendiri. Prinsip toleransi dalam Islam yaitu bagaikan pohon rindang, ini di-qiyas-kan seperti halnya pohon yang sejuk serta melindungi sekitarnya, kemudian akarnya menghujam ke dalam dengan kuat diqiyaskan bagaikan Aqidah yang kuat dan teguh sehingga meskipun daun, ranting terkena terpaan angin tetapi selalu kuat mengahadapinya karena akar kuat yang mencengkram tanah. Selanjutnya, pohon itu memberikan buah yang diperuntukan semua manusia sebagai rahmat dan kasih dari At-tasamuh Islamiy, inilah toleransi sesungguhnya yaitu kuat Aqidah-nya lembut Akhlaq-nya dan menebar rahmat kepada seluruh manusia.
Kebebasan: Tidak Ada Paksaan!
Konsep toleransi dalam pandangan Islam sangat konsisten dan tidak melukai pemahaman agama lain, dalam Islam harus menjaga jatidiri sendiri dengan Tauhid, tetapi dalam berkomunikasi dengan manusia keseluruhan harus dengan sifat saling kasih dalam sisi sosial kemanusiaan.
Namun perlu ditegaskan kembali dalam Islam tidak ada pemaksaan untuk memasuki Islam ini sebagai penegasan bahwa Islam juga mengatur untuk memilih Agama, menyandarkan kepada penjelasan Syekh Yusuf al-Qordhowi, al-Qorodhowi mensyarah bahwa dalam Islam sangat menjaga prinsip kebebasan dalam beragama, menurutya Islam memberikan panduan tentang kebebasan-kebasan manusia salah satunya adalah kebebasan beragama. Kebebasan beragama dalam Islam adalah kebebasan yang berakidah dan kebebasan melakukan ibadah, Islam tidak menerima perlakuan orang yang memaksa orang lain untuk meninggalkan agama[7] yang dianut dan yang dipelukya untuk meninggalkan agamanya. Dalam al-Quran, menegaskan bahwa masuk Islam tidak ada paksaan dan tidak memaksa seluruh manusia untuk memeluk Islam[8]. Perlu digaris bawahi bahwa kebebasan ini adalah kebebasan berakidah, bukan kebebasan berkiblat pada pemikiran barat bermula dari pembebasan Perancis. Dalam Islam sungguh kebebasan itu tidak berkiblat pada pembebasan Perancis, melainkan kebebasan in bersandar pada pandangan Islam[9].
Dari penjelasan Yusuf al-Qorodhowi tentang kebebasan beragama sangat terlihat keramahan Islam terhadap agama non Islam. Islam tidak memaksa umat lain untuk masuk dalam Islam tetapi di sisi lain Islam menjunjung tinggi kasih sayang sesama manusia. Maka penulis berpendapat kebebasan beragama dalam Islam adalah kebebasan yang beralasan dan ber-akidah, bukan kebebasan yang berkiblat pada barat.
Kontekstualisasi Dalam Negeri
Setelah mengetahui bagaimana konsep dasar toleransi yang sesuai dengan cara pandang Islam, dibutuhkan suatu konsep untuk aplikasi dalam konteks Indonesia yang sangat majemuk ini, bersandar kepada penjelasa Mukti Ali terdapat enam metoda pelaksanaan toleransi dala skup Indonesia diantaranya : Pertama, mengakui hak orang lain suatu sikap memberikan hak kebebasan kepada orang lain tanpa melanggar aturan yang ada. Kedua, menghormati keyakinan orang lain, menghormati dengan landasan aqidah yang kuat dan tidak memaksakan untuk masuk pada satu golongan. Ketiga, mengakui perbedaan adalah prinsip yang didengungkan Mukti Ali, Ia berprinsip perbedaan tak harus menjadikan permusuhan. Keempat, saling mengerti tidak akan terjadi keharmonisan tanpa ada rasa saling mengerti dengan cara tidak melanggar norma-norma yang ada. Kelima, kesadaran dan kejujuran meyadari dan menhgakui perbedaan untuk persatuan atas kesadaran setiap manusia. Keenam, menjiwai Pancasila yang dirancang atas dasar tauhid dan menjadikan tata tertib dalam Indonesia.[6]
Ikhtitam
Mensarikan berbagai penjelasan di atas, terkumpul sari-sari pembahasan bahwa Islam itu sangat mudah, namun tidak dapat dimudah-mudahkan dalam artian, Islam sangat menjunjung tinggi toleransi dalam ranah sosiologis, tetapi sangat tegas dalam ranah teologis. Dalam ranah sosiologis ia bagaikan daun rindang dan ranting yang berbuah selalu memberikan manfaatnya kepada siapapun. Lebih dalam lagi, akarnya dengan kuat mencengkram tanah ia bagaikan aqidah yang kokoh menjaga batang yang berdiri tegap. Islam juga memberikan kebebasan untuk memilih, dalam catatan “sudah terang mana yang haq dan bathil”, namun kebebasan ini bukan berarti merujuk apa yang diejawantahkan barat (kebebasan perancis). Selanjutnya, dalam konteks Indonesia mengakui perbedaan, menghormati dengan akidah bukan plin-plan, meyakini perbedaan tidak harus bermusuhan serta jujur dengan kemajemukan dan mengilhami nilai-nilai konsesus bersama yaitu pancasila itu semua adalah implementasi sekaligus sebagai panduan aplikasi dalam bertoleransi sebagai penawar ekskalasi pembahsan toleransi agar tidak sampai pada konfrontasi berbasis anarki. Dari sini mengafirmasi bahwa Islam layak dijadikan panduan bertoleransi, maka boleh dikatakan Islam sebagai pemandu toleransi!. Sekian. Waallahu ‘Alam Bis-showab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Tegal
[1] Abbas Mansur Tamam, Islamic Worldview Paradigma Intelektual Muslim, (Jakarta: Spirit Media, cet.ke-2, 2017), 142
[2] AdibNuriz dkk, Problem Pluralisme Agama ..., 110
[3] QS. Al-Baqarah: 147
[4] QS. Al-Mumtahanah: 8
[5] QS. Ibrahim: 8
[6] Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar …, .23-25
[7] QS. Al-Baqarah: 256
[8] QS. Yunus: 99
[9] Yusuf Al-Qordhowi Terj. Setiawan Budi Utomo, Anatomi Masyarakat Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar cetakan-2, 2000), 113-114