YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Persyarikatan Muhammadiyah telah memasuki usia ke-109 tahun. Resepsi Milad tahun ini digelar secara luring dan daring pada 18 November 2021. Milad yang berlangsung di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan peserta terbatas dan protokol kesehatan kali ini mengangkat tema “Optimis Hadapi Pandemi Covid-19: Menebar Nilai Utama”.
Milad ke-109 Muhammadiyah tahun ini berada dalam kondisi pandemi Covid-19. “Dunia tidak menyangka akan adanya virus yang mematikan, yang sampai tanggal 18 November 2021 ini telah memapar lebih 254 juta orang dan meninggal 5,125,266 orang di dunia, di Indonesia terdapat 4,251,423 terpapar positif dan meninggal 143,683 jiwa, yang membawa dampak buruk di bidang kesehatan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan yang luar biasa berat,” ujar Haedar Nashir.
Kehidupan selama dua tahun berjalan tidak normal dengan usaha penanggulangan yang tidak mudah. “Indonesia termasuk negara yang berhasil menekan kasus Covid hingga 7% di bawah rata-rata dunia yang masih sebesar 23,84%. Keberhasilan tersebut buah dari kesungguhan pemerintah dan peran kekuatan-kekuatan masyarakat antara lain Muhammadiyah yang sejak awal konsisten bergerak gigih menangani pandemi.” Namun semua pihak harus tetap waspada dan seksama.
Haedar Nashir mengajak bangsa Indonesia bangkit dari pandemi dan sigap menyelesaikan masalah-masalah negeri. Indonesia memiliki potensi dan peluang yang positif untuk bangkit dari pandemi dan menyelesaikan persoalan negeri. “Kecintaan, kebersamaan, dan pengkhidmatan berbagai komponen bangsa masih bertumbuh dengan baik, sebagaimana ditunjukkan Muhammadiyah dan umat Islam maupun golongan keagamaan dan kebangsaan yang lain.” Banyak potensi anak negeri yang hebat dan berprestasi di dalam negeri maupun mancanegara. Kekayaan alam dan budaya Indonesia sangatlah kaya sebagai anugerah Tuhan.
Menurut Haedar, kehidupan manusia merupakan sesuatu yang luhur, berharga, dan bermakna. Pandemi ini masalah bersama yang niscaya menjadi ibrah dan hikmah yang menumbuhkan pandangan dan sikap luhur berbasis nilai-nilai utama (al-qiyam al-fadlilah). Di antara nilai-nilai utama tersebut adalah:
Pertama, nilai tauhid untuk kemanusiaan. Dari musibah covid-19 dapat dipetik hikmah untuk menguatkan keyakinan tauhid kaum beriman bahwa segala sesuatu di alam semesta ini absolut dalam kekuasan Allah. “Hidup dan mati dengan segala siklusnya berada dalam genggaman-Nya. Manusia sungguh kecil dan tak berdaya. Maka tegak luruskan pengabdian kepada Allah seraya cerahkan akal budi untuk mencerahkan kehidupan,” ujar Haedar.
Bertauhid, ungkap Haedar, meniscayakan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, termasuk menyelamatkan jiwa manusia. Tauhid ajaran multidimensi, baik vertikal dalam hubungan dengan Allah maupun horizontal dalam relasi kemanusiaan dan alam semesta. Itulah kredo tauhid yang melahirkan ihsan kepada kemanusiaan dan rahmat bagi semesta alam.
Kedua, nilai pemuliaan manusia. Pandemi covid memberikan arti pentingnya memuliakan manusia. Jiwa manusia agar dihargai dan diselamatkan, sebaliknya jangan disia-siakan dan direndahkan. “Manusia dengan seluruh dimensinya mesti diletakkan dalam ruang metafisika dan kosmologi kehidupan yang utuh, bermakna, dan multidimensi. Manusia jangan dianggap ragad inderwi semata,” katanya.
Islam menempatkan manusia fi ahsan at-taqwim, makhluk sebaik-baik ciptaan Tuhan. Karenanya manusia sendiri haruslah bermartabat, serta jangan saling menghinakan dan menganut paham yang merendahkan. Manusia modern bila salah kaprah dan tidak memiliki pondasi nilai luhur agama, dapat terjerembab pada hidup nirkeadaban.
Ketiga, nilai persaudaraan dan kebersamaan. Pandemi ini masalah bersama. “Setiap orang tidak bisa egois dan merasa bebas dari wabah. Diperlukan jiwa bersaudara dan kebersamaan dalam menghadapinya,” ujar Haedar. Baik dalam menghadapi pandemi maupun masalah bangsa jika ditanggung bersama maka akan lebih mudah sebagaimana pepatah, “Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing”. Bila terdapat perbedaan dicarikan titik temu karena sesama kita bersaudara.
“Tumbukan sikap saling tenggang, toleran, lapang hati, dan kerjasama demi membangun kehidupan milik bersama. Seraya jauhkan diri dari tindakan egoistik, pemaksaan kehendak, merasa paling benar dan digdaya. Ukhuwah dan persatuan Indonesia harus dibangun makin kokoh yang lahir dari jiwa tulus dan jujur, sehingga dapat menyelesaikan masalah-masalah bangsa secara bersama.”
Keempat, nilai kasih sayang. Pandemi mengajarkan kita untuk memiliki sikap welas asih atau kasih sayang dengan sesama. Islam mengajarkan cinta kasih yang lahir dari nilai ihsan, ukhuwah, silaturahmi, dan ta’awun dalam wujud kepeduliaan, empati, simpati, kerjasama, dan kebersamaan. Jika tidak mau membantu sesama jangan bertindak semaunya. Jika tidak dapat memberi solusi atas masalah yang dihadapi, jangan menjadi bagian dari masalah dan menambah masalah.
Menurut Dokter Soetomo, tokoh perintis Klinik PKU Muhamamdiyah Surabaya tahun 1924, ajaran welas asih dari Surat Al-Ma’un berbeda dengan teori seleksi alam Charles Darwin, mereka yang kuat yang akan mampu bertahan dalam perjuangan hidup. Sebaliknya, ajaran welas asih Al-Ma’un mendasarkan perjuangan hidup dalam semangat kebersamaan, sehingga yang kuat mau berbagi dengan yang lemah.
Kelima, nilai tengahan atau moderat. Muhammadiyah dalam menghadapi pandemi Covid-19 maupun berbangsa-bernegara mengembangkan wasathiyah atau sikap tengahan, yakni pandangan yang adil dan tidak radikal-ekstrem. Muhammadiyah berusaha mengembangkan nilai wasathiyah yang memiliki prinsip dan autentik, tanpa merasa paling moderat. Moderasi dan usaha melawan radikal-esktrem dalam pandangan Muhammadiyah haruslah ditegakkan secara moderat untuk semua aspek, jangan sampai atasnama moderat dan moderasi membenarkan “apa saja” dan menjurus pada hal-hal yang ekstrem (ghuluw atau tatarruf).
Keenam, nilai kesungguhan berusaha. Usaha mengatasi pandemi merupakan komitmen dan tanggungjawab bersama. Konsistensi melaksanakan kebijakan oleh pemerintah, disiplin menjalankan protokol kesehatan oleh seluruh warga, melakukan vaksinasi, dan berbagai langkah lainnya merupakan keniscayaan dalam mengatasi pandemi ini. Segala ikhtiar maksimal harus terus dilakukan sebagai jalan jihad untuk mengakhiri musibah ini.
Ketujuh, nilai keilmuan atau ilmiah. Pandemi ini meniscayakan pentingnya manusia bersandar pada ilmu. Ilmu yang mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan. Para ahli epidemiologi, ahli virus, kedokteran, ahli vaksin, dan para ilmuwan lainnya telah memberi sumbangan berharga dalam memahami dan menghadapi virus Corona yang mengguncang dunia ini. Bangsa Indonesia penting menghargai ilmu sebagai jalan kemajuan hidup.
“Ilmu pemgetahuan dan teknologi penting disertai hikmah agar tidak mengarah pada keangkuhan ilmuwan dan absolutisme kebenaran. Ilmu dan pikiran manusia modern jangan seperti kotak pandora dalam mitologi Yunani Kuno, yang memberikan harapan indah akan kebaikan, tetapi setelah dibuka ternyata menjadi sumber masalah bagi kehidupan manusia,” ulas Haedar.
Kedelapan, nilai kemajuan. Pandemi ini meniscayakan manusia untuk belajar memahami masalah secara mendalam dan luas serta membangkitkan diri untuk maju pasca musibah. Manusia diajari Tuhan dengan berbagai jalan. Musibah boleh jadi merupakan cara Tuhan agar manusia terus mengungkap rahasia ciptaan-Nya yang sangat luas dan tak terbatas, bersyukur atas segala nikmat-Nya, serta mengakui Kemahakuasaaan-Nya. Di sinilah pentingnya membangkitkan nilai dan etos kemajuan bagi seluruh manusia atas musibah yang mewabah di seluruh dunia ini. (ppm/ribas)