SUATU ASAR KETIKA AKANG DITANGKAP, Cerpen Ike Juliani

SUATU ASAR KETIKA AKANG DITANGKAP, Cerpen Ike Juliani

Foto: id.wikipedia.org

“Fasisme Jepang lebih berbahaya dari imperialisme Belanda. Jadi tolong jangan sampai termakan oleh propaganda asing.” Tegas Akang[1] di atas mimbar pada saat upacara penyambutanya kembali di pesantren setelah dikurung atas tuduhan menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda pada akhir febuari 1942.

Setelah shalat isya di masjid, kami diperintahkan untuk tidak pulang terlebih dahulu, sebab Akang ingin membahas rencana tentang perlawanannya terhadap Jepang akhir Febuari nanti. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing dari kelompok diberi tugas yang berbeda, ada yang diperintahkan untuk menangkap para pembesar Jepang di Tasikmalaya, ada yang diperintah untuk melakukan sabotase dengan memutuskan kawat-kawat telpon sehingga militer Jepang tidak bisa berkomunikasi, dan ada yang diperintahkan untuk membebaskan tahanan-tahanan politik di penjara Tasikmalaya.

Seluruh santri Sukamanah diwajibkan mengikuti pelatihan pencak silat, baik perempuan maupun laki-laki. Dan diwajibkan juga belajar ilmu  spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

“Kita harus bersiap-siap dari sekarang.” Decak Akang.

Setelah Akang turun dari mimbar, dan santri permpuan kembali ke asramanya. Kami, para santri laki-laki diperintahkan untuk ikut bersama Akang mengambil bambu untuk membuat persenjataan ; membuat golok dan bambu runcing.

***

Malam riuh di kepala. Keringat dingin meleleh melintas di pipi. Jepang mengetahui rencana Akang.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kang?”

“Segeralah kabari para santri untuk berkumpul di garis pertahanan Sukamanah. Sebentar lagi Akang menyusul, Akang harus menutup pengajian anak-anak terlebih dahulu,” aku langsung bergegas mengabari para santri.

Fa’ala yaf alu fa’lan, wa maf ‘alan, fahua fa ‘ilun

Ejaan Amtsilah Tasrifiyyah yang selalu kudengar terhenti. Seketika sunyi pun mencekam.

Mereka datang.. Mereka datang… seru santri yang berjaga di garis pertahanan Sukamanah. Di selatan, orang-oramg sudah mendekat. Seketika kami membentuk barisan. Mereka didampingi oleh camat Singaparna dan sebelas staf pemerintah.

“Tak akan kami biarkan kalian menangkap guru kami lagi,” desakku.

“Ini perintah! Pemberontak harus ditangkap!” Katanya.

Akang memang dikenal pemberontak oleh penjajah. Itu sebabnya mereka -para penjajah seperti Belanda dan Jepang- gemar sekali menangkapnya. Terakhir ia menentang pelaksanaan Seikeirei[2] karena dianggap bertentangan dengan ajaran islam dan hal itu lah yang akan merusak tauhid lantaran telah mengubah arah kiblat.

“Serahkan guru kalian sekarang juga!”

“Tak akan kami biarkan!” Jeritku sembari menyerbu. Dua kakiku tak bisa kutahan lagi. Susul-menyusul kaki-kaki yang mulai ikut menyerang kemudian  menangkap mereka hidup-hidup.

“Jangan lukai mereka.” Suruh Akang “Bawa ke rumah Akang saja dulu.” Tambahnya lekas.

***

Pagi buta para tawanan itu  diantarkan Akang ke depan garis pertahanan Sukamanah tanpa senjata. Selain itu, disusul kabar dari Jamal bahwa Akang meliburkan aktivitas mengaji bagi santri anak-anak.

Siang Itu Jamal datang dengan nafas tersengal-sengal.

“A, aa, bangun, a! bangun! Mereka datang!”

“Mereka siapa?”

“Empat opsir Jepang sudah ada di depan garis pertahanan Sukamanah. Mereka teh meminta supaya Akang menghadap pemerintah Jepang di Tasik, ” suaranya terdengar seperti ketakutan. Baru sekarang aku melihat Jamal secemas itu. Aku langsung mengambil bambu runcing, lalu mengabari semua santri yang kutemui untuk datang ke garis pertahanan Sukamanah.

Dor!!! Seorang santri perempuan yang bernama Nur tergeletak bersimbah darah tak jauh dari pandanganku. Disusul dari belakang suara takbir menjerit-jerit.

Allah hu akbar… Allah hu akbar suara takbir terus melayang masuk ke telingaku. Mataku panas, tanganku terus mengendalikan bambu runcing yang kupegang agar mengenai tubuh opsir Jepang itu. Beberapa jenak, tubuh dari salah satu Opsir itu roboh terkena oleh bambu runcingku, beberapa dari kami juga terluka karena tertembak.

Tiga dari mereka tewas, hanya satu yang dibiarkan hidup, Akang menyuruhnya pulang untuk membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari 1944. Setelah opsir Jepang itu pergi, aku menghampiri jasad Nur.

“Nur telah syahid,” Kata Akang.

Nur telah dimandikan dan dipakaikan kain kafan, jasadnya dibawa ke Masjid untuk dishalatkan. Tiba-tiba datang beberapa truk mendekati garis pertahanan Sukamanah, semua santri langsung berhamburan keluar masjid, termasuk aku, Jamal, dan Akang.

“Jepang telah mangadu domba kita,” Teriak  Akang setelah melihat yang menyerang adalah bangsa sendiri.

“Laknatullah!” Teriakku sembari akan berlari. Namun hal itu dihalangi Akang. Ia memerintahkan kami untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh menyerang. Akang hawatir bahwa ini hanya gertakan jepang saja. Mataku semakin panas ketika melihat senjata yang dibawa oleh lawan begitu lengkap. Setelah dirasa musuh semakin mendekat, barulah kami melakukan perlawanan. Dalam beberapa jenak, pasukan lawan berhasil menerobos garis pertahanan Sukamanah dan memorak-porandakan pasukan kami. Senjata kami saling beradu. Tembakan itu terdengar sangat berisik. Banyak orang dari kami terbunuh.

Dadaku panas, kaki kananku ditembak, tubuhku roboh dan terus ditendang-tendang, wajahku diinjak-injak. Terasa sakit, tapi tubuhku tidak mau mati, mata kiriku berdarah sedangkan mata kananku serasa melihat angin berhembus membawa ruh orang-orang yang telah gugur.

Tubuhku dipaksa bangun. Kami yang hidup digiring seperti kambing, mocong bedil Jepang menuntun kami pada sebuah mobil dengan bak terbuka. Tubuhku dilempar kedalamnya kaki kananku kebas. Nafasku seperti akan habis. Di sebrang sana, kulihat Jamal masih hidup, ia diseret lalu dimasukan kedalam mobil yang berbeda.

Jamal dan santri lainnya dibawa ke penjara Tasikmalaya, sedangkan aku dibawa ke penjara di Sukamiskin Bandung. Di penjara, kami disiksa dan ditanyai hal-hal yang menyangkut pemberontakan. Semenjak peristiwa itu, sebagian dari kami mengalami kecacatan.  Peristiwa itu membuat mata kiriku buta. Katanya, setelah sehari peristiwa itu terjadi Akang dibawa ke Jakarta untuk diadili. Ada yang bilang kepalanya  dipenggal di Ancol dan ada yang bilang juga, beliau dikubur hidup-hidup.

“Bebankan hal-hal yang berat dalam pemeriksaan tentara Jepang kepada Akang. Jika terpaksa, sebut nama kawanmu yang benar-benar gugur dalam pertempuran kemarin atau sebut santri yang belajar kepada Akang, jangan mengaku kenal Akang.” Ujaran terakhir yang kudengar dari Akang secara sembunyi-sembunyi kepada orang-orang yang ditangkap tentara Jepang sebelum Akang ditangkap agar mereka bisa selamat.

 

Yogyakarta, 2019

Ike Juliani, lahir di Karawang, 28 Juli 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Kisahku Dimulah dari Namamu (Hikhari Publisher, 2016) dan kumpulan cerpen berjudul Gelombang Rasa (Inspirator Academy, 2018). Anggota Komunitas Luar Ruang.

SUATU ASAR KETIKA AKANG DITANGKAP  pernah mendapatkan juara harapan 1 di Pekan Seni Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan.

[1] Akang adalah panggilan guru ngaji di pondok pesantren Sukamanah dan Sukahideng

[2] Seikerei adalah penghormatan kepada dewa matahari dengan cara membungkukkan badan mengarah pada matahari terbit. Ini adalah ritual bangsa Jepang dari agama Shinto yang mengajarkan untuk menghormati dewa matahari.

Exit mobile version