Kala Pandemi Membuktikan Keotentikan Makna Tolerasi

toleransi otentik

 Makna Toleransi Otentik

Oleh: Isngadi

Tahun 1919 terjadi erupsi dahsyat  gunung kelud di Jawa Timur. Kediri, Blitar, Tulung Agung, dan kota sekitarnya terkena imbas yang cukup parah. 5.000 orang  dilaporkan menjadi korban letusan gunung terdahsyat itu.

Walau terpisah jarak , hati kemanusiaan Muhammadiyah tergerak. Sejumlah relawan kemanusiaan Muhammadiyah berangkat ke Jawa Timur dari Yogyakarta. Padahal, pada waktu Muhammadiyah belum diperkenankan membuka cabang di luar wilayah Yogyakarta. Tidak hanya mengirim relawan, Waktu itu Muhammadiyah juga membentuk  Steun Comite Keloed agar penanganan untuk menolong sesama itu dapat lebih dioptimalkan.

Ketua MDMC PP Muhammadiyah, Budi Setiawan menuturkan, pada saat erupsi Kelud itu, relawan Muhammadiyah yang dikomandoi Sudjak bahu-membahu dengan relawan kulit putih yang tidak beragama Islam. Mereka menolong semua korban tanpa mempedulikan latar belakang agama, ras, atau hal yang lain. Satu-satunya pertimbangan saat itu adalah keselamatan sesama manusia.

Spirit yang sama juga terlihat nyata pada saat Muhammadiyah mulai merintis pendirian Rumah Sakit di beberapa kota. Semua Rumah Sakit Muhammadiyah juga dipenuhi pasien dari berbagai suku bangsa. Hal ini setidaknya dapat dibaca dalam berita di Indische Courant tahun 1927 yang melaporkan data pasien Rumah Sakit Muhammadiyah Malang di bulan desember 1927.

Reportase itu yang menyatakan sebagai berikut: Terdapat 333 pasien yang dirawat karena penyakit mata, semuanya pribumi, wanita dan pria; 28 orang dibantu untuk pengobatan penyakit dalam, semuanya juga penduduk pribumi; untuk penyakit kelamin dirawat 123 orang, yang terdiri dari 92 orang pribumi, 30 orang Cina dan 1 orang Arab; untuk penyakit kulit ada 971 orang, di mana terdapat 965 pribumi dan 6 Cina; terkait bedah, 7 orang penduduk pribumi diberi bantuan medis, sementara 89 pasien, dalam hal ini 63 orang penduduk pribumi dan 26 orang Cina, dirawat karena penyakit hidung, tenggorokan dan telinga. (Yuanda Zara; 2018)

https://web.suaramuhammadiyah.id/2020/11/03/respon-pers-asing-terhadap-klinik-muhammadiyah-malang-tahun-1927/

Sampai hari ini mata rantai kemanusiaan yang melintasi semua batas itu terus terjalin. Pada saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, misalnya. Sejak kasus pertama yang menyebabkan kluster besar di Sikka dan mengharuskan ratusan orang menjalani karantina. Saban hari, relawan MDMC Muhammadiyah bergerak untuk memasak dan menyediakan makan untuk 126 warga yang dikarantina. MDMC termasuk kelompok yang paling awal melakukan penyemprotan disinfektan, ke masjid, gereja, dan fasilitas publik lainnya. Mereka juga yang paling awal berbagi masker di jalan dan mengedukasi masyarakat. Mereka juga berbagi sembako gratis hingga ke wilayah berpenduduk Kristen dan Katolik.

“Motivasi kami adalah Hadis, ‘Bantulah makhluk yang ada di bumi, pasti yang di langit akan membantu kamu.’ Kami membantu tanpa memandang latar belakang suku, apakah suku Sikka, Bugis, Jawa.” Tutur Darman Eldin, Ketua MDMC Sikka, kepada Suara Muhammadiyah.

MDMC Sikka juga melakukan vaksinasi hingga ke pulau terpencil dan menjangkau 5.070 peserta. Ini jelas suatu perjuangan yang tidak gampang. Di samping medan yang tidak mudah ditakhlukkan, meyakinkan masyarakat supaya mau divaksin Covid-19 juga bukan merupakan hal yang sederhana.

“Ada empat pulau, kami datang dan beri edukasi, alhamdulillah masyarakat mau. Sebelumnya, dari pihak Lanud TNI ke sana, masyarakat menolak divaksin,” ungkap Darman.

Hal yang serupa juga terjadi di Pulau Jawa. Ratusan relawan pemakaman covid-19 yang dibentuk Muhammadiyah terus berbakti kepada negeri ini. Belum terinci jumlah korban pandemi yang telah mereka kebumikan. Mereka juga bekerja tanpa melihat latar belakang agama. Semua itu mereka lakukan dalam kesunyian jauh dari publikasi. Hal itu setidaknya terlihat pada foto-foto yang tersebar secara viral  di beberapa platform sosial media. Foto tentang ritual pemakaman warga non Muslim di tengah pemakaman yang berbangunan khas sedangkan relawan pemakamannya berseragam relawan Muhammadiyah. gambar-gambar itu seakan berkata: inilah wujud toleransi otentik yang biasa kami lakukan. Sudah barang tentu kejadian di lapangan jauh lebih banyak dari yang terpublish di media sosial.

https://www.krjogja.com/relawan-bekerja-tanpa-membedakan-keyakinan/

Pada saat puncak musim pandemi, relawan pemakaman Muhammadiyah bekerja 24 jam sehari. Di tengah malam, pada saat yang lain sudah nyenyak terbuai mimpi, mereka masih di pemakaman. Bahkan saat  yang lain sudah bersiap berangkat Shalat idul adha mereka ada yang baru pulang dari tempat pemakaman.

Konten ini hasil kerja sama Suara Muhammadiyah dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Exit mobile version