Dia Hanya Untukku

Dia Hanya Untukku

Assalamu’alaikum wr wb.

Bu Emmy yth., saya M (28 tahun) belum menikah. Sejak kecil saya sangat dimanja oleh ayah. Apapun yang inginkan selalu diberikan olehnya, ibupun demikian. Ketika mengalami masalah pun orang tua selalu membantu menyelesaikannya. Ketika ayah saya meninggal beberapa tahun yang lalu, saya merasa sangat kehilangan dan sedih berkepanjangan. Selang beberapa waktu setelah ayah meninggal, saya dekat dengan lelaki dan kami memutuskan untuk berpacaran.

Awalnya kami menjalani hubungan dengan normal. Lama kelamaan saya mulai dipenuhi oleh keinginan untuk selalu dilindungi, ditemani dan disayang oleh kekasih. Saya selalu mengharap kehadirannya setiap waktu. Saya tidak suka ia berkegiatan dengan teman-temannya tanpa saya. Saya tidak suka dia jauh dari saya. Kalau saya sakit, saya ingin dialah yang merawat saya.

Suatu hari saya bertengkar dengan dia. Saya merasa sangat depresi, seperti kehilangan segalanya. Besar rasanya dorongan untuk mengakhiri hidup saya. Saya sempat menyayat tangan dengan pisau demi mendapat perhatian darinya.

Setelah pertengkaran hebat itu, hubungan kami tidak tambah baik. Dia yang tadinya penuh perhatian, sekarang tidak lagi. Bahkan dia pernah memaki-maki dan meninggalkan saya di jalan paska bertengkar. Tapi, saya tidak bisa putus dari dia walau sudah banyak pertengkaran. Karena saya merasa hanya dia orang yang tepat  untuk saya. Saya merasa bahwa dia yang bisa menggantikan peran ayah. Pernah saya mengakhiri hubungan dengannya, tapi selalu berakhir dengan saya memohon kepadanya untuk tidak mengakhiri hubungan ini. Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak bisa ke lain hati dan kehilangan dia. Cukup ayah saja yang pergi. Semoga Ibu bisa memberi saran pada saya. Jazakumullah atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum wr wb,

M, somewhere.

Wa’alaikumsalam wr wb.

M yang baik, menurut saya yang sedang terjadi pada Anda adalah self centered (hanya memikirkan diri sendiri) yang begitu kuat mewarnai cara berpikir, sikap maupun perilaku Anda. Termasuk cara Anda memaknai percintaan. Anda selalu bilang tak bisa ke lain hati, ingin dilindungi, ingin selalu pacar ada buat Anda. Ini bukan pacaran namanya, tapi kebutuhan untuk mendominasi dengan kemasan cinta.

Ketika kita masih kecil, tingkat ketergantungan dengan orang dewasa di sekitarnya hampir 100%. Tahapan berpikir belum berkembang optimal. Cinta berarti ada orang yang menyayangi, melindungi dan memenuhi kebutuhan kita. Saat tidak terpenuhi kita menangis, ngambek bahkan teriak-teriak. Lalu aka nada orang dewasa yang memberi apa yang kita inginkan. Orang-orang inilah yang menjadi obyek cinta kita, orang yang selalu siap untuk kita. Sejalan dengan bertambahnya usia, kita mulai diajar dan lalu belajar bahwa kita tidak sendirian hidup di dunia ini. Bahwa ada kegiatan yang bila dilakukan bersama asyik. Banyak pula tugas-tugas dalam kehidupan seperti bersekolah dan bermain yang tak mungkin diselesaikan tanpa kehadiran orang lain dalam hidup kita. Mulailah kita senang berada Bersama orang lain dan mulai punya teman lawan jenis, yang kita suka bila dia ada di dekat kita. Kelak ini disebut “cinta monyet”.

Makin dewasa, kita masuk masa puber, dimana kelenjar reproduksi mulai aktif dan kita punya ketertarikan seksual pada lawan jenis. Ketika nalar berkembang makin sempurna, kita belajar meyakini bahwa ketertarikan pada lawan jenis akan memenuhi kebutuhan psikologis. Ingin punya seseorang tempat curhat, memeluk saat kita ingin dipeluk dan seterusnya sehingga kita lalu punya kebutuhan untuk menikah. Dalam proses panjang inilah kita jatuh bangun mengejar cita-cita dan cinta. Kita belajar bahwa kita harus menyesuaikan harapan dengan kenyataan yang ada. Bahwa bercita-cita adalah energi yang ada dalam diri untuk mengarahkan kemampuan kita untuk mencapainya.

Sedang untuk membuat kita nyaman bersama orang lain kita butuh penyesuaian diri, kesediaan berbagi, menerima masukan dan mau membantu dengan sukarela. Cara kita menyikapi kehidupan dan pengalaman kehilangan masa lalu juga akan berubah. Kenangannya tidak akan hilang, tapi cara memaknainya yang berubah. Kepergian ayah Anda memang meninggalkan duka yang mendalam. Tapi, di usia kini semestinya kita sudah bisa menerimanya sebagai bagian dari eksistensi manusia yang tak bisa diingkari. Kita semua akan mati. Lalu tumbuhkan niat untuk membuat ayah Anda bangga, bahwa Anda sudah dewasa dan mampu berpikir dan siap untuk bisa berbagi termasuk berbagi perhatian, cinta dan kasih sayang dalam masa pacaran ini.

Kalua pacar ternyata tidak mau kembali pada Anda, hidup akan terus berjalan dan di masa datang akan banyak sekali hal-hal indah terjadi dalam hidup Anda. Makin indah saat Anda Bahagia mampu membuat orang lain juga Bahagia bukan sebaliknya. Berhentilah mengatakan pada diri sendiri bahwa Anda tak mau kehilangan kasih saying. Karena bukan kasih sayang namanya kalau Anda hanya mau meraih manfaat untuk diri sendiri dari kehadiran orang lain di sisi kita sementara kita tidak memberi apa-apa. Itu egois namanya.

Belajarlah untuk mendewasakan diri ya. Dimulai dari berhenti sejenak memikirkan diri sendiri. Lalu tanya ke diri sendiri, saat bersama orang lain, pikirkan apa yang bisa dilakukan untuk membuat mereka nyaman berinteraksi dengan Anda. Lalu lakukan langkah kongkritnya. Begitu terus. In syaa Allah Anda akan menjadi manusia yang baru. Yang lebih baik tentunya, aamiin.

Sumber : Majalah SM Edisi 07 Tahun 2020

Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, Spsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya.

Exit mobile version