Oleh: Diko Ahmad Riza Primadi*
Air merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaan dan pemanfaatannya dijamin konstitusi. Dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 3 berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Konstitusi ini jelas menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dan merupakan kontrak sosial antara pemerintah dengan rakyatnya secara umum.
Penjaminan atas konstitusi itu kemudian dipertegas pada UU No.7/2004 pasal 5 tentang Sumber daya Air yang menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari untuk memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih, dan produktif. Perspektif air sebagai kebutuhan dasar manusia ini dipertegas lagi di tingkat global. November 2002, Komite PBB untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar (a fundamental right), benda sosial dan budaya, bukan hanya komoditi ekonomi.
Komite ini juga menekankan, ada 145 negara telah meratifikasi Konvenan Internasional untuk hak ekonomi, sosial dan budaya, yang kini telah diikat dengan perjanjian untuk mempromosikan akses pada air secara setara tanpa diskriminasi. Konvenan Internasional itu pun memperkuat implementasi UU No.7/2004 tentang Sumber daya Air pasal 4, yang menyatakan bahwa sumber daya air mempunyai fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup yang diselenggarakan dan diwujudkan secara seimbang.
Air, selain merupakan kebutuhan dasar manusia, juga sebagai public goods yang tidak dimiliki siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna memperoleh keuntungan. Pandangan tradisional tersebut sudah berubah dan ditinggalkan, karena air tidak hanya sekedar ‘barang publik’ tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik (intrinsic value) dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan (limited and scarcity) air serta dibutuhkannya investasi atau penyediaan air bersih, sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara.
Hatta, mantan Menteri KLH berpendapat bahwa dalam pengelolaan sumberdaya air di Indonesia harus ditemukan pendekatan kompromistis (jalan tengah). Dimana pemanfaatan sumber daya air yang berorientasi pada profitabilitas dijalankan, namun tetap menjaga dan menghormati hak-hak lokal, khususnya bagi masyarakat miskin. Untuk itu, penggalian kearifan lokal (local wisdom) dan pengetahuan asli (indigenous knowledge) dalam pengelolaan dan upaya melestarikan sumber daya air sangat diperlukan. Melalui cara demikian, perumusan tata-kelola sumber daya air dapat dijalankan secara ekonomi, namun tetap dalam koridor menghormati kepentingan ekosistem. Dengan pertimbangan ini, maka pengelolaan sumberdaya air dengan mekanisme privatisasi dapat diselenggarakan.
Di sisi lain, kebijakan pengelolaan air yang pro pada privatisasi air, perlu dicari keseimbangan kebijakannya agar privatisasi tersebut tidak hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat Indonesia yang kaya saja. Masyarakat miskin juga harus punya akses ke air bersih tanpa harga yang dibayarkan sehingga masyarakat miskin pun dapat menikmati kebijakan privatisasi air.
Sudah saatnya pemerintah memikirkan dan merealisasikan perlunya kebijakan yang menyangkut subsidi sumber daya air bagi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan. Artinya, kebijakan privatisasi air yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas (kaya) melalui pembayaran harga air pervolume disandingkan dengan akses tinggi masyarakat miskin akan air yang diprivatisasi pemerintah melalui kartu miskin. Sehingga masyarakat miskin dapat menikmati air bersih dengan gratis. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa kedepan ketersediaan air bersih sudah merupakan kebutuhan hidup sehari-hari yang krusial terutama bagi masyarakat miskin kota.
Dengan segala kendala dan keterbatasan yang dihadapi pemerintah, tentu masyarakat kecil ingin keadilan karena menyangkut hak mereka sebagai warga negara. Untuk itu, perlunya anggaran pusat untuk subsidi air bagi rakyat miskin. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kebijakan untuk merealisasikan suatu upaya kompromistis yang mempertemukan antara pro privatisasi dan anti privatisasi dalam pengelolaan sumber daya air di Indonesia dapat dilakukan.
*Diko Ahmad Riza Primadi lahir di Blitar, 02 Mei 1994. Seorang sarjana Matematika yang hobi membaca, menulis dan sekaligus bersepeda. Semasa kuliah hingga sekarang aktif berkecimpung di dunia jurnalistik.