Peran Sastra dalam Mencegah Kebiasaan Korupsi; Melalui Buku Charlie and The Great Elevator karya Roald Dahl

Peran Sastra dalam Mencegah Kebiasaan Korupsi; Melalui Buku Charlie and The Great Elevator karya Roald Dahl

Oleh: Muhammad Gufron*

Seperti getah pohon yang menempel di baju, membekas dan sulit dibersihkan. Begitulah perumpamaan untuk menggambarkan eksistensi tindak korupsi di Indonesia.

Kasus korupsi sudah ada di Indonesia sejak lama dan berjalan langgeng sampai sekarang. Dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, Onghokham menulis bahwa tindak korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Setelahnya, kasus korupsi juga terjadi seiring dengan pergantian pemerintahan dari masa VOC di Indonesia, orde lama, orde baru, hingga sekarang. Kasusnya tidak berkurang, namun malah meningkat.

Lembaga swadaya masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat tren penindakan kasus  korupsi  meningkat pada semester 1 2021. Selama enam bulan awal 2021, ada 209 kasus yang berhasil diungkap. Jumlah tersebut lebih tinggi dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya.

Tindak pencaplokan uang negara ini dilakukan oleh pejabat dari berbagai tingkatan. Mulai dari pejabat di pemerintahan pusat hingga penjabat tingkat kecamatan dan desa. Kasus yang cukup menghebohkan publik pada tahun 2021 yakni kasus korupsi pengadaan dana bansos COVID-19 oleh eks Menteri Sosial Juliari Batubara. Di tingkat daerah, ada korupsi dana pembangunan Masjid Raya Palembang yang dilakukan oleh eks Gubernur Sumsel. Pada tingkat kabupaten, ada kasus jual beli jabatan yang dilakukan Bupati Nganjuk. Lalu eks kades di Cianjur yang korupsi dana miliaran rupiah untuk membeli kendaraan.

Masyarakat Indonesia secara militan mengecam banyaknya kasus korupsi tersebut. Mereka menuntut agar tindak pemberantasan korupsi lebih ditingkatkan lagi. Pemerintah diminta memberi hukuman yang berat bagi koruptor. Ada juga yang meminta kinerja penegak hukum lebih tingkatkan lagi. Pemerintah juga didorong untuk lebih transparansi dan akuntabilitas dalam setiap program pemerintahan. Rentetan kasus tersebut semakin mengukuhkan jika korupsi telah menjadi penyakit akut yang susah disembuhkan, namun bukan berarti tidak mungkin.

Dari sekian banyaknya keluhan yang masyarakat suarakan, masih jarang yang menyoroti ‘mengapa korupsi bisa terjadi?’ dan ‘bagaimana mencegah munculnya perilaku korupsi?’. Faktor penyebab korupsi ada beberapa, seperti penindakan hukuman yang dinilai ringan, pengawasan yang tidak efektif, penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, hingga sudah menjadibudaya masyarakat. Namun sumber awal atau dasar dari terciptanya kebiasaan korupsi adalah karakter atau pola pikir dari masing-masing individu. Seseorang tergerak melakukan korupsi karena di dalam dirinya terdapat sikap amoral, seperti tidak jujur, kurangnya empati, dan tidak bertanggung jawab.

Mau seburuk apapun sistem pemerintahan atau penegakan hukumnya, apabila individunya punya integritas dan moral yang baik, maka kemungkinan terjadinya tindak korupsi sangatlah kecil. Namun sebaliknya, sebaik apapun sistem pemerintahan dan penegakkan hukumnya, jika dari individunya punya karakter kurang baik, maka potensi melakukan korupsi sangat besar.

Berangkat dari permasalahan itu, maka cara paling signifikan untuk mencegahnya atau membasmi kebiasaan korupsi dari akar-akarnya adalah dengan melakukan pendidikan karakter atau moral. Pendidikan karakter perlu dilakukan sejak dini atau pada usia anak-anak. Hal itu karena usia anak-anak merupakan masa golden age dari kehidupan setiap orang. Pada masa golden age, 80% otak anak bekerja untuk menyerap informasi dan mempelajari sesuatu. Tumbuh kembang anak terjadi sangat pesat pada masa ini. Apa yang anak serap dan pelajari akan menentukan perkembangan IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosional). Dua hal itu akan membentuk karakter seseorang sebagaimana yang dikemukakan oleh pakar psikologi perkembangan Elizabeth B Hurlock: tahun awal kehidupan anak merupakan dasar yang berpengaruh terhadap perilaku dan sikap anak sepanjang hidupnya.

Perbuatan korupsi sangat berkaitan dengan EQ seseorang. EQ menentukan bagaimana seseorang mengendalikan, mengenali, dan menata emosi dan perasaannya. Berangkat dari hal itu, dapat disimpulkan bahwa koruptor adalah individu yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Sementara itu, kita tahu para pelaku koruptor sebenernya punya IQ tinggi karena banyak yang lulus dari perguruan tinggi ternama di luar negeri, serta ahli dalam bidang yang mereka geluti. Namun perbuatan menggelapkan uang menandakan bahwa mereka tidak bisa menahan nafsu ingin memperkaya diri dalam waktu cepat dan dengan mengambil apa yang bukan haknya. Mereka telah melakukan perbuatan tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dan kurang empati dalam menjalankan tugasnya.

Salah satu metode pendidikan karakter yang bisa diterapkan untuk mencegah perbuatan korupsi adalah melalui media sastra atau cerita. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Horatius, filsuf Yunani, bahwa fungsi sastra adalah dulce et utile, yaitu sebagai hiburan dan edukasi. Dalam sejarahnya, sastra juga menjadi media pendidikan saat masa kerajaan Hindu-Budha. Sastrawan pada masa itu, yang disebut kawi, tidak hanya menuliskan karya yang bersifat istana sentris atau mengagungkan raja. Namun juga menciptakan karya untuk mendidik dan memberi petunjuk bagi masyarakat. Leluhur kita di Nusantara juga menggunakan cerita untuk mengajarkan moral berkehidupan, yakni melalui dongeng, mitos, legenda, fabel, hingga wayang. Kisah di dalam ceritanya merupakan mimesis dari kehidupan nyata. Masyarakat yang mendengar atau membacanya diharapkan dapat memetik pelajaran di dalam cerita, mengenai baik dan buruk sikap manusia, serta aturan dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Jenis karya sastra yang sesuai untuk dijadikan media pendidikan anak-anak adalah dongeng atau cerita anak. Cerita anak lebih mudah diterima oleh anak-anak karena muatan pendidikan di dalamnya dikemas dalam bentuk cerita dan bersifat imajinatif. Pasalnya perkembangan kognitif dalam pikiran anak yang belum sempurna membuat anak-anak belajar dengan cara modeling atau meniru. Melelaui cerita anak, anak-anak dapat belajar moral dengan cara meniru tokoh dalam cerita. Baik itu watak tokoh maupun peristiwa yang dialami oleh tokoh. Tentu saja dalam pembelajarannya harus didampingi oleh orang tua menyesuaikan dengan tingkat usia anak, agar pemahaman mengenai nilai-nilai budi pekerti dapat tersampaikan dengan baik.

Selain itu, cerita anak juga punya kelebihan dibandingkan dengan pendidikan yang disampaikan dalam bentuk nasihat. Dalam cerita, anak-anak dapat memahami wujud atau aksi konkret dari sifat tokohnya. Misalnya, anak-anak dapat mengetahui seperti apa tindakan yang mencerminkan sikap jujur melalui adegan demi adegan yang dialami tokohnya. Begitu pula ketika anak belajar sikap tolong-menolong, rendah hati, dermawan, dan sebagainya memalui perbuatan yang dilakukan tokohnya. Anak-anak disuguhkan dengan gambaran konkret yang bisa mereka bayangkan melalui visual imajinasi. Oleh karena itu, melalui media cerita, orang tua bisa menanamkan nilai-nilai budi pekerti, sehingga dapat mencegah anak melakukan tindakan korupsi.

Salah satu cerita anak yang mengajarkan pendidikan karakter untuk tidak melakukan korupsi adalah novel berjudul Charlie and The Great Glass Elevator karya Roald Dahl. Charlie and The Great Glass Elevator bercerita tentang tokoh Charlie yang terbang keluar angkasa bersama keluarganya dan Mr. Wonka memakai elevator kaca. Mr. Wonka adalah pesulap yang membuat elevator kaca menjadi ajaib, bisa terbang ke angkasa. Keluarga Charlie yang ikut di dalam penerbangan tersebut, yakni ayah dan ibunya, dan dua pasang kakek dan neneknya. Awalnya Mr. Wonka hanya ingin mengajak keluarga Charlie untuk pergi ke pabriknya. Namun elevator kaca yang mereka naiki malah terlontar tinggi hingga sampai ke luar angkasa. Di luar angkasa mereka harus melewati banyak rintangan yang mengerikan hingga akhirnya mereka dapat kembali ke bumi dan mendarat di pabrik cokelat.

Dalam Charlie and The Great Glass Elevator terdapat banyak pesan moral yang disampaikan oleh Roald Dahl secara tersirat maupun tersurat. Ia menanamkan nilai-nilai yang dapat dijadikan pendidikan karakter oleh anak melalui tokoh-tokoh ceritanya. Sepanjang cerita, ada banyak nilaiyang bisa diambil seperti sikap tolong-menolong, tidak mudah menyerah, saling berbagi, giat bekerja, hingga tidak tamak atau tidak korupsi.

Roald Dahl menggambarkan dampak buruk dari sikap tamak atau korupsi melalui tokoh tiga orang lansia, yaitu Grandpa Josephine, Grandma Georgina, dan Grandoa George. Mereka bertiga diceritakan saling berebut pil pemendek umur pemberian Mr. Wonka. Satu pil yang diberikan Mr. Wonka dapat membuat umur seseorang menjadi lebih muda dua puluh tahun. Mr. Wonka memberikan dua belas pil kepada mereka. Namun bukannya membagi secara rata atau mengonsumsi sesuai kebutuhan, mereka justru bersikap tamak mengambil sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan efek sampingnya. Mereka berhasrat bisa menjadi awet muda agar tubuhnya tidak renta dan keriput. Mereka ingin menjadi muda, penuh energi, dan cantik.

Sikap tamak tersebut digambarkan melalui adegan mereka berebut pil:

Grandma Georgina yang mendapatkannya. Dia mengeram penuh kemenangan, membuka tutup botol, dan menumpahkan semua pil kecil kuning cemerlang itu ke selimut pangkuannya. Dia menangkup dua tangan menutupi pil-pil itu agar yang lain tidak dapat meraih dan menyambarnya. “Ada dua belas pil di sini! Jadi enam untukku dan masing-masing tiga untuk kalian!”

Sikap tidak mempertimbangkan akibat dari perbuatan tamaknya digambarkan melalui narasi:

“Berhati-hatilah, Josie,” Grandpa Joe melanjutkan. “Lagi pula, empat pil terlalu banyak untuk satu orang.”

Di dalam kisah ini, Roald Dahl juga menggambarkan sebab-akibat dari sikap tamak atau serakah. Roald Dahl memberikan contoh konkret yang bisa dibayangkan oleh anak-anak sehingga mereka dapat mengetahui seperti apa tindakannya. Penyampaian akibat dari kerakusan mereka bertiga digambarkan melalui narasi:

“Mother!” pekik Mrs. Bucket, dan sekarang terdengar pekikan ngeri dalam suaranya. “Kenapa kau tidak berhenti berubah, Mother! Kau terlalu jauh! Kau jauh lebih muda dari dua puluh tahun! Kau tidak mungkin lebih tua dari lima belas tahun! … Kau … Kau  … Kau sepuluh tahun … Kau semakin kecil, Mother!”

“Mereka semua berubah terlalu jauh!” pekik Charlie.

“Mereka makan terlalu banyak,” ujar Mr. Bucket.

Tidak hanya menyampaikan gambaran akibat sikap tamak, Roald Dahl juga memberikan penjelasan secara matematika dari konsekuensi yang telah dilanggar atau diabaikan oleh para lansia. Melalui penggambaran tersebut anak-anak diajak untuk berpikir rasional dan bertanggung jawab atas perbuatan dan kepercayaan yang diberikan kepada mereka. Berikut narasinya:

Mr. Wonka berdeham nyaring dan ekspresi sangat muran tampak di wajahnya. “Kenapa, oh kenapa, orang-orang tidak dapat berpikir jernih?” dia bertanya dengan sedih. “Kenapa mereka tidak mau mendengarku saat aku memberi tahu sesuatu? Aku menjelaskan dengan sangat seksama sebelumnya, bahwa setiap pil membuat orang yang menelannya tepat dua puluh tahun lebih muda. Jadi, jika Grandma Josephine menlan empat, otomatis dia akan menjadi lebih muda empat kali dua puluh tahun, yaitu delapan puluh.”

Itu tadi cara Roald Dahl menyampaikan pendidikan karakter ‘tidak boleh serakah’ melalui watak dan penggalan peristiwa dalam Charlie and The Great Glass Elevator. Dia menyalin masalah sosial yang sering ditemui dalam kehidupan nyata menjadi karya fiksi bersifat imajinatif yang berisi kisah seru.

Karya Roald Dahl tersebut menjadi bukti atau contoh bahwa karya sastra dapat dijadikan media untuk mencegah kebiasaan buruk korupsi di Indonesia. Cara mencegahnya adalah dengan memberikan pendidkan karakter yang sasarannya adalah anak-anak. Cerita anak menjadi alternatif media pendidikan yang cukup ideal tanpa menggurui anak. Selain itu unsur-unsur di dalam karya sastra dapat menanamkan kecerdasan emosional dan menghidupkan daya berpikir serta imajinasi anak. Lewat sebuah cerita anak-anak menjadi punya bayangan atau gambaran, seperti apa itu korupsi, mengapa korupsi tidak boleh dilakukan, serta menjadi paham dampak buruk korupsi bagi diri sendiri dan orang lain.

 

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Sastra Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Esai ini memenangi perlombaan menulis esai pada Festival Sastra Mursal Esten VI 2021 Tingkat Internasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Negeri Padang.

Exit mobile version