“Suara sirene, Ratri?”
“Iya, Bu.” Jawabku dengan dada bergetar. Tangan menjadi dingin seperti tercelup es batu. Entah kenapa, tubuh ini seperti terhipnotis dengan suara sirene mobil covid yang setiap kali bersliweran menjemput pasien covid untuk di karantina atau langsung ke rumah sakit yang direkomendasikan. Tak ada yang bisa menjawab, siapa hari ini yang dijemput. Apakah dia positif atau hanya gejala atau dia sempat bersinggungan dengan pasien positif. Semua serba mengejutkan dan tak bisa diduga sebelumnya. Karena yang kita hadapi mahluk “virus”. Mahluk yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kita positif atau tidak yang bisa mengatakan hanyalah dokter dan Tuhan menjadi penyempurna.
“Ratri,” suara ibu bergetar.
“Iya, Bu,” jawabku lemah.
“Siapa yang dibawa sirene itu?” tanya ibu. Tapi aku hanya menggeleng dan meletakkan secangkir teh hangat di atas meja di hadapan ibu. “Siapa, Ratri?”
“Ratri tidak tahu,” jawabku mengambang seperti layaknya daun di atas air telaga yang menyimpan ledakan. Antara bosan, geram dan ketakutan menghadapi covid bercampur jadi satu. Kita berdiam di rumah adalah satu-satunya jalan untuk tidak terpapar covid. Tapi berdiam di rumah tanpa makanan pun terpapar lapar. Semua menjadi serba salah.
Setiap saat hampir selalu terdengar bunyi sirene dan kita tidak tahu dan tidak bisa menebak pasti, siapa yang berada di dalam mobil covid itu. Tetangga kita, teman kita, saudara kita, atau bahkan kita sendiri yang akan dijemput ambulance. Tapi suara sirene itu mengaum-aum bagai memanggil setiap nama agar segera bersiap dan berkemas dengan cepat. Para petugas medis dengan pakaian APD lengkap siap membawa kami jika terdeteksi reaktif atau kawan kami yang positif. Luar biasa. Kita tak tahu kondisi kawan kita. Kita tidak tahu, kawan kita dari mana. Kita tak tahu, angin Ini datang dari mana. Udara yang kita hirup atau makanan yang kita santap. Amankah?
Ibu masih duduk termenung menatap jendela yang tersibak korden nya. Kami tidak berani keluar rumah, karena aku sedang menjalani isolasi mandiri sehabis perjalanan dari Jakarta. Sedang ibu sudah bersinggungan dengan diriku, karena itu ibu pun ikut mengisolasi diri. Agar covid bisa terkendali.
Berdiam diri #di rumah saja selama 14 hari bukanlah pekerjaan yang menyenangkan, apalagi dengan stok makanan yang mulai menipis. Ingin makan ini tapi tidak ada ini, adanya itu yang tidak kami inginkan. Kami chatting via washap hp salah satu tetangga untuk barangkali bisa membantu membelikan yang kami butuhkan pun tidak dijawab. Mungkin mereka pada khawatir dengan kondisi covid yang tdk menentu ini, aku pun memberanikan chatting washap di grup RT. Barangkali ada salah satu dari tetangga kami yang masih punya hati untuk bisa berbagi dimasa pandemic ini.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi, Bapak-Ibu. Adakah yang bisa membantu kami untuk membelikan barang kebutuhan kami yang saat ini sedang menjalani isolasi mandiri ini (kami keluarga Mahmud F3),” begitu chatt kami di grup RT.
“waalaikumsalam. Iya, ibu.” Aku merasa lega. Tak perlu menunggu lama keluhanku di grup RT sudah ada yang merespon. “Barang kebutuhan apa yang perlu kami siapkan,” tanya dari grup washap. Aku pun buru-buru membalas chatt washap. Aku tulis semua yang aku butuhkan, sedang uang kusiapkan secukupnya dan kumasukkan di dalam plastik lalu kuletakkan di dekat pintu pagar rumah.
Ibu masih duduk menunggu di depan jendela dengan tirai yang terbuka. Ibu melihat seseorang telah mengambil bungkusan yang berisi uang yang kuletakkan di pagar rumah dan orang itu menggantinya dengan beberapa kebutuhan kami; sayur, lauk dan lain-lainnya, seperti yang kutulis di washap.
“Ratri, ada orang telah mengambil bungkusan kita,” kata ibu terus mengamati orang yang mengambil dan mengganti bungkusan yang kuletakkan di pagar rumah.
“Iya, Bu.” Aku membuka pintu setelah orang yang meletakkan bungkusan itu menjauh. Dan aku membuka pesananku di dapur, semua lengkap sesuai yang kupesan. Aku tidak terlalu paham dengan penghuni RT, karena aku jarang mengikuti pertemuan. Apalagi di musim pandemi ini nyaris semua kegiatan kampung terhenti. Begitu juga para karyawan kantor, pengajar semua dilakukan dengan work from home (WFH). Tapi, bagaimana untuk para kuli atau pekerja penjaga toko seperti aku. Pekerja kuli dan penjaga toko seperti aku tidak akan mendapat gaji kalau tak bekerja. Dari mana kami makan kalau tak ada uang. Menunggu bantuan hanya akan menambah beban, belum lagi harus mengantri dan otomatis berkerumun. Karena begitu banyak masyarakat yang mengantri menunggu bantuan. Bukankah itu akan menambah klaster baru penyebaran virus.
Ibu masih saja menatap jendela, menatap bunga-bunga kertas di taman yang sudah hampir seminggu tak tersentuh tanganku. Daunnya mulai melayu. Seminggu sudah ibu dan aku berada di rumah melakukan isolasi mandiri, seminggu lagi kami harus melakukan uji tes reaktif (rapid tes). Semoga saja hasilnya tetap nonreaktif.
“Ratri, ada suara sirene lagi,” kata ibu dengan nada bergetar. Suara sirene itu mematahkan lamunan ibu. “Ratri, ada sirene lagi.” Ulang ibu dengan suara gemetar.
“Iya, Ibu.” Aku menghampiri ibu yang sejak tadi berada di depan jendela dengan tirai yang terbuka. Aku mencoba menenangkan hati ibu yang gelisah dengan memeluknya meski sebetulnya dadaku pun bergetar, rasa degdegan tak bisa kutolak. Tapi di hadapan ibu aku harus sebisa mungkin bersikap tenang.
“Iya, Ibu.” Kuulangi juga jawabanku pada panggilan ibu. “Ibu yang tenang. Tidak akan terjadi apa-apa pada kita.” Ibu mengangguk. Aku menyodorkan segelas air putih kepada ibu untuk mengurangi rasa gelisahnya mendengar suara sirene covid.
“Sirene, Ratri,”
“Iya, Ibu.” Aku menggenggam tangan ibu yang dingin.
“Kenapa sirene itu seperti mendekat,” kata Ibu. Dadaku pun ikut bergetar mendengar sirene ambulance covid semakin dekat. Aku pun gelisah, hatiku bertanya-tanya, siapa yang akan dijemputnya. Ataukah kita?
Sirene ambulance covid semakin keras terdengar ditelinga. Ibu mencoba melongok lebih dekat dipinggir jendela yang berkaca. Beberapa petugas covid nampak jelas menggunakan baju APD seadanya, barangkali yang dikenakan mereka itu lebih mirip dengan mantel hujan. Yah, para petugas itu mengenakan mantel hujan dengan mengacungkan suatu alat penyemprot hama yang terus mengeluarkan cairan disinfektan dan suara sirene itu masih mengaum bagai suatu isyarat untuk segera berangkat dengan cepat.