MALANG, Suara Muhammadiyah – Memperingati Hari Guru Nasional, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melangsungkan refleksi dengan mengenang Prof. H. Malik Fadjar, M.Sc., Sang Guru Bangsa. Diikuti oleh dosen dan karyawan secara daring dan luring, Kampus Putih turut menghadirkan pembicara yang merupakan kerabat dan saksi hidup kiprah Malik Fadjar pada Kamis (25/11) lalu. Menariknya, dalam gelaran tersebut juga ada pelucuran tiga buku yang membahas Malik Fadjar dan juga launching lagu ‘Ampunkanku Ya Rabbi’ karya warga binaan Lapas Perempuan Kota Malang.
Hadir dalam acara itu Ketua Badan Pembina Harian (BPH) UMM sekaligus Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P. Ia mengaku bahwa telah mengetahui Malik sejak kelas 3 SMP. Diceritakan Muhadjir, Malik sempat ingin pergi ke Jakarta namun diyakinkan untuk berkiprah di UMM.
“Bersama salah satu teman, kami berhasil meyakinkan Pak Malik bahwa dia bisa menjadi orang hebat meski berada di Malang, tepatnya berjuang membangun UMM,” tuturnya.
Sayangnya, Malik waktu itu belum memiliki kartu anggota Muhammadiyah. Sehingga tidak bisa mencalonkan diri menjadi rektor UMM. Muhadjir mengatakan bahwa ia sampai bersusah payah ke Yogyakarta untuk mengurusnya.
“Berbagai pengalaman yang telah dilalui oleh Pak Malik menjaid pengingat bagi kita untuk terus meneladani kehumanisan dan pandangan-pandangan yang luar biasa,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Rektor I UMM Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si. mengatakan bahwa pada agenda ini para peserta bisa memahami pemikiran Malik. Apalagi dengan hadirnya berbagai narasumber sehingga bisa memahami dengan beragam perspektif.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Imam Suprayogo, M.Si mengatakan bahwa agenda ini merupakan hal yang penting. Apalagi jika para peserta dan tamu ingin menjadi manusia yang sukses. Maka, Malik Fadjar adalah sosok yang tepat karena telah sukses dalam aspek keluarga, perjuangan politik, dan juga dalam dunia pendidikan
Imam menyampaikan hal menarik bagaimana Malik Fadjar sangat menghargai dan menghormati istrinya. Ia selalu berdiskusi terkait keputusan-keputusan yang ia buat. Bakan masalah-masalah pelik yang sedang Malik hadapi. “Kehidupan Pak Malik yang lapang dan lancar tentu salah satunya ditopang oleh doa-doa, puasa dan juga tahajud dari Bu Malik. Tidak seperti istri Abu Lahab yang malah mengompori, ketika Pak Malik pulang dengan kepenatan, Bu Malik hadir untuk mendinginkan,” tuturnya.
Ia juga mengenang bagaimana Malik tidak suka sama sekali dengan budaya ‘titip-menitip’. Mereka yang dititipkan adalah mereka yang bermasalah. Jika orang yang bermasalah dimasukkan ke universitas, maka tinggal menunggu waktu saja menjadi perguruan tinggi yang bermasalah.
“Dulu, Pak Malik juga berpesan bahwa dosen itu memberikan cahaya. Selalu terang di berbagai aspek seperti agama, ilmu dan lainnya. Jika seorang dosen gelap, maka akan melahirkan kegelapan. Sebaliknya, jika terang, akan menghasilkan cahaya terang,” tegasnya.
Dalam rangkaian peluncuran buku, Prof. Dr. Siti Zuhro, MA, peneliti BRIN mengungkapkan bahwa Malik sudah menjadi seseorang yang pentig dalam dunia pendidikan. Semua sepak terjang Malik ketika menjadi rektor hingga menteri senantiasa memberikan teladan. “Nanti mungkin bisa kita ajukan menjadi pahlawan yang concern dalam bidang pendidikan,” tuturnya.
Ia teringat tatkala Malik menghubunginya untuk mengajukan permintaan buku untuk rumah baca yang didirikan Malik. Saat ini, rumah baca itulah yang menjadi inspirasi Siti untuk menggalakkan Desa Cerdas di berbagai wilayah.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Setya Yuwana, M.A. menerangkan terkait kebijakan-kebijakan yang luar biasa ketika Malik menjadi Menteri. Ada tiga hal utama yang Malik inisiasi yakni otonomi pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi dan Human Investmen.
“Kebijakan otonomi pendidikan misalnya yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengembangkan. Pak Malik Fadjar sudah meletakkan dasar-dasar kuat bagi pendidikan di Indonesia,” ungkap Setya.
Kesan yang tak jauh berbeda disampaikan Prof. Dr. Franz Magnis Suseno. Bertemu sejak 30 tahun lalu, ia melihat Malik Fadjar sebagai sosok intelektual yang menyenangkan dengan senyuman. Malik Fadjar juga senantiasa mementingkan multikulturalisme dan menghadapi perbedaan dengan bijak.
“Terimakasih Malik Fadjar atas persahabatan yang telah kita rajut dan sudah mampir di kehidupan saya,” pungkas Franz. (diko)