KARANTINA, Cerpen Papi Sadewa

KARANTINA, Cerpen Papi Sadewa

Aku tak pernah berhenti berharap, sekalipun pada Idul Fitri kemaren anakku tak bisa pulang, karena merebaknya Covid-19. Begitu pula di akhir tahun ini, pemerintah telah menetapkan ada cuti bersama. Harapanku, anak satu-satunya bisa pulang kampung. Terbayanglah keindahan liburan akhir tahun bersama anakku.

“Pak, saya kena PHK”, sepotong kalimat dari Latifah lewat telepon.

“Ya gak papa, Tifah”, jawabku dengan nada menghibur.

Padahal sebenarnya kepalaku seperti disambar petir, tensi langsung naik, detak jantungku terasa lebih cepat berdetak. Kemudian aku memegang sandaran terus duduk di kursi.

“Astaghfirullahal’adzim”, gumamku lirih.

***

Setibanya di rumah karantina yang disediakan pihak desa, aku mengamati situasi lingkungan. Dari depan, bangunan masih kelihatan bagus dengan cat yang masih baru, berwarna hijau muda. Di ruang tamu masih ada sisa tulisan administrasi tertanggal 2016 di whiteboard kecil yang tertempel di dinding. Sampai di ruang belakang aku cukup kaget, dindingnya yang menggunakan eternit sudah pada rusak, sebagian jebol, sebagian retak. Pintu belakang sudah reot dan tak ada kunci. Aku hanya membayangkan gimana kalau ada binatang masuk dari belakang yang masih lebat pohon-pohonnya.

“Yang sabar ya nduk. Bapak akan menemanimu disini sampai waktu selesai”, kataku.

“Ya pak”, jawab Latifah.

“Kamu tidur di ruang timur, bapak di ruang barat. Nggak usah takut!”, saranku.

“Ya pak”, kata Latifah sambil berjalan menuju kamarnya.

***

Alhamdulillah pada malam ketiga ada pemuda yang bertamu menjenguk kami, sekalipun tetap duduk diatas motor, dengan jarak sekitar 3 meter dari kursi tempat saya duduk.

“Bapak sudah pernah ditemui?”. Kata Agus, pemuda sebelah.

“Ditemui siapa mas?”, jawabku.

“Yang nungguin rumah ini”, kata Agus.

“Saya ajak berteman kok mas, tidak saling mengganggu”, timpalku sekalipun sebenarnya hatiku merinding juga. Tapi karena tekad yang kuat untuk menjaga anak semata wayang apapun harus kuhadapi.

***

Tidak terasa beberapa hari telah berlalu. Kejenuhan makin menumpuk di dada kami. Apalagi kalau melihat beberapa tamu dengan tingkah polah yang memuakkan. Terasa sekali bahwa kami telah distatuskan sebagai penderita Covid-19. Tenggang rasa itu benar-benar sudah tak ada.

Sampailah pada subuh hari menjelang cek kesehatan di puskesmas. Aku hampir tak sanggup melihat anakku yang batuk-batuk dan sesak napas, dengan wajah yang nampak panik.

Duh, anakku Corona nih, batinku tak bisa kubohongi lagi.

“Nggak papa, sepertinya asam lambungku kambuh, pak”, jelas anakku sambil minum obat.

“Ya nduk”, aku mencoba menenangkan, sekalipun kejadian ini sangat terserap masuk dalam pikir dan hatiku.

***

Setibanya di puskesmas, kami diperiksa di ruang yang berbeda. Petugas kaget ketika memeriksa tensiku 180/110. Selanjutnya diambil darah dan lendir pada dahakku.

Sambil menunggu hasil lab kami duduk berdua, disudut ruang tunggu, tanpa banyak percakapan. Kepalaku semakin pusing mungkin tensi makin tinggi.

“Pak Hasan dan Mbak Latifah”, petugas memanggil kami untuk menghadap dokter di ruang sebelah dalam.

“Gimana kabarmu, Tifah? Lama banget kita nggak ketemu”.

“Alhamdulillah baik, ya beginilah dokter”, sambut anakku.

Aku semakin bengong dengan dialog dokter dengan anakku. Dokter menutupi wajahnya dengan masker dan faceshield. Sama sekali aku tak mengenalnya.

“Gimana hasil labnya, dok?” tanyaku.

“Bapak pangling dengan saya?”, dokter balik bertanya. “Selamat ya pak”, sambung dokter sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Ternyata dokter Nana, teman SD anakku.

Alhamdulillah kami dinyatakan sehat oleh dokter. Liburan akhir tahun yang telah saya agendakan semoga tak ada aral lagi untuk mewujudkannya, bersama anakku.

Aku harus mensyukuri semua kejadian yang menimpa kami, dengan ikhlas.

***

Sangsisaku, Desember 2020

Exit mobile version