YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyelenggarakan Diskusi Publik terbarunya siang ini (02/12). Bersamanya, LHKP juga berkolaborasi dengan Sajogyo Institute dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Selain itu, hadir pula di sana perwakilan masyarakat Dukuh Jomboran, Kab. Sleman, dan Desa Wadas, Kab. Purworejo. Masing-masing dari LHKP, Sajogyo, dan Walhi direpresentasikan oleh King Kaishal, Eko Cahyono, dan Himawan Kurniadi sebagai pembicara.
“Omnibuslaw: Gemah Pirah Oligarki (?),” demikian Eko Cahyono memberi judul paparannya. Di sini ia banyak menyoroti logika dasar pembuatan produk-produk hukum Omnibuslaw, khususnya UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang disahkan tahun lalu.
Logika dan kacamata yang dipakai pemerintah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam tidak banyak berubah sejak masa kolonialisme. Semuanya masih didasarkan atas kepentingan pasar. Produk-produk dibuat semata-mata untuk menjadi “kunci pembuka” investor agar berbondong-bondong masuk ke dalam negeri dan mengeruk sumber daya secara eksploitatif.
Pemikiran Eko diamini oleh King Faishal, “memang logika hukum kita mengikuti logika kekuasaan [oligarki], dan ini terbalik.” Lebih lanjut, King Faishal memberi beberapa catatan pada aspek formil UU Minerba 2020 yang bermasalah. Salah satunya adalah UU Minerba yang tidak berubah secara substantif. Sembilan puluh persen isi UU Minerba 2020 sesungguhnya hanya menyalin dari produk hukum yang lama, sedangkan sisanya adalah politik legislasi untuk oligarki.
Di lain sisi, perubahan dalam UU Minerba terbaru justru malah menyalahi prinsip desentralisasi dalam pemerintahan. Sebab, kapasitas pemerintah daerah menjadi minus dan digantikan dengan wewenang dominan dari pemerintah pusat.
Berkaitan dengan iktikad pelestarian lingkungan hidup. Undang-Undang Minerba 2020 juga membuka celah bagi pengusaha tambang untuk mengabaikan kewajiban terhadap lingkungan dan masyarakat. Dokumen amdal tidak diwajibkan, misalnya, dan hanya diposisikan komplementer saja, sedangkan izin lingkungan berada di tangan pemerintah pusat. Maka, praktiknya akan tergantung sekali pada iktikad pemerintah pusat dan sangat mungkin untuk “dimainkan”.
Kemudian, cerita dari lapangan terkait implementasi UU Minerba 2020 ini dibicarakan oleh Sandi, Azim Muhammad, dan Siswanto dari Jomboran dan Wadas. Dampak sentralisasi wewenang pertambangan dirasakan warga Jomboran. Akibatnya, warga tidak bisa mendapatkan informasi transparan mengenai izin perusahaan di daerah mereka. Berulang kali juga inspektur tambang justru berdalih dan membenturkan tuntutan warga ke pemerintah pusat, “semua wewenang ada di pusat,” begitu Sandi menirukan.
Pernyataan senada dinyatakan Azmi dari Wadas yang tidak tahu ke mana menyuarakan keberatannya, “…sudah nggak melewati camat, lurah, bupati … hadirnya Omnibus, seolah kita cuma numpang.”
Alih-alih melakukan perjuangan lingkungan hidup melalui jalur legal, warga Wadas sigap untuk mengambil jalan aksi terbuka. “Kalau mereka datang, ya dihadang saja. kalau dalam penghadangan bersikukuh, ya kita lawan. Kalau adanya cangkul, ya cangkullah itu kepala orang yang mau datang,” sergah Azim.
Ketidakpercayaan warga Wadas pada lembaga hukum tercipta setelah mereka sebelumnya kalah dalam banding di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang. Baginya, apa yang mereka butuhkan saat ini adalah stamina panjang supaya mampu bertahan kala ditekan pemerintah.
Pada kesempatannya, Himawan memberi argumen penguat bahwa kasus di Wadas ini sudah cacat pengelolaan tata ruang. Dikatakannya, 23 jenis pembangunan infrastruktur Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti di Wadas, seharusnya tidak ada memasukkan kegiatan pertambangan. Wadas sendiri yang tengah dibangun infrastruktur bendungan malah turut didirikan proyek pertambangan andesit yang alasannya untuk menyuplai bahan baku.
Artinya, ini sudah merampas ruang hidup masyarakat dan akan bisa terjadi di wilayah lainnya. Sebagaimana disambung Hari Kurniawan yang juga menceritakan pembangunan bendungan di Banyuwangi. Bukan diperuntukkan bagi intensifikasi pertanian warga, melainkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) guna operasional pertambangan.
Terakhir, David Efendi melemparkan bahan diskusi mengenai peran masyarakat sipil dalam merespons kondisi ini. Bagi Eko, langkah pertama yang perlu lakukan adalah menyadari bahwa pihak yang akan kita lawan ini adalah raksasa.
Maka dari itu, kita harus berkolaborasi dalam melakukan perlawanan. Termasuk harus ada yang “melototi” kebijakan tata ruang di tingkat daerah agar tidak kecolongan. “Kalau kita nggak bisa merobohkan gurita [pemerintahan oligarki], potong kakinya,” demikian Eko Cahyono mengakhiri kalimatnya. (ykk)