Hidup Beragama dan Bernegara

Judul               : Agama, Demokrasi, dan Politik Kekerasan

Penulis             : Prof Dr Haedar Nashir, MSi

Penerbit           : Republika Penerbit bekerjasama dengan Suara Muhammadiyah

Cetakan           : 1, Oktober 2021

Tebal, ukuran  : xii + 228 hlm., 13,5 x 20,5 cm

ISBN               : 978-602-7595-95-8

 

Buku ini sangat menarik sejak di halaman judul, dengan menyematkan variabel kunci yang tampak tidak saling berhubungan: agama, demokrasi, politik, kekerasan. Bagaimana menjelaskan variabel yang tampak terpisah itu menjadi suatu jabaran argumen yang padu dan utuh? Di situlah peran sosiolog untuk membaca dan menafsirkan realita sosial di masyarakat secara kritis, objektif, dan sistematis. Buku ini berisi pemikiran guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Haedar Nashir, tentang sengkarut keagamaan dan realitas politik dalam konteks keindonesiaan.

Haedar Nashir berangkat dari pikiran bahwa manusia harus dan butuh kepada agama. Agama merupakan sistem nilai yang berbasis pada ajaran dari Tuhan yang diekspresikan oleh penganutnya dalam kehidupan sehari-hari. Agama, katanya mengutip Peter Berger, berfungsi sebagai the sacred canopy (kanopi pelindung yang suci) atau nomos (menciptakan keteraturan hidup) yang menjadikan manusia terbebas dari situasi chaos dan anomie atau segala sesuatu yang kacau dan ketidakteraturan hidup. Menurut Durkheim, agama semestinya menjadi penguat solidaritas sosial.

Agama tentu bukan sekadar urusan ritual ibadah dan doktrin, tetapi agama semestinya menjadi sumber nilai utama yang fundamental, sebagai pemberi inspirasi, sebagai landasan moral, yang manifestasinya tercermin dalam tindakan nyata yang mendorong penganutnya memiliki karakter akhlak mulia. Lebih dari itu, esensi agama semestinya menjadi sumber nilai yang mendorong umatnya untuk maju dan membangun peradaban utama di muka bumi. Supaya agama memberi peranan positif, maka agama harus diamalkan dengan benar dan baik oleh pemeluknya (hlm 4-6).

Agama senantiasa berkelindan dengan realitas ekonomi dan politik. Di sinilah peran agama sering dipertanyakan. Max Weber dalam The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism berhasil membuktikan bagaimana agama dapat membangun kehidupan yang positif dalam bidang ekonomi. Etika dan etos hidup Calvinis di kalangan umat Protestan memberi pengaruh pada cara hidup: bekerja sebagai panggilan suci untuk melipatgandakan kekayaan. Kesuksesan dunia diyakini terkait dengan kesuksesan akhirat.

Tantangan agama yang terberat adalah dalam bidang politik kekuasaan. Agama mengajarkan tentang nilai-nilai moral, sementara politik merupakan suatu dunia yang serba abu-abu, yang dipenuhi saling silang kepentingan. Sepanjang sejarah, manusia saling memangsa dan bahkan saling meniadakan demi meraih kekuasaan. Ada banyak bukti tentang persoalan kekuasaan yang sering berlumur darah dan kumuh. Ayat-ayat dan pesan-pesan agama sering dikutip demi memihak dirinya dan kelompoknya. Sentimen agama sering dipergunakan untuk menguatkan kekuasaannya dan mengalahkan pihak lain.

Bagaimana formula ideal mengatur negara untuk menghasilkan kemaslahatan bersama? Sejarah peradaban manusia mengenal satu sistem yang dinilai paling sedikit kemudaratannya: demokrasi, dengan segala turunan variasinya. Sistem demokrasi dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat; terdapat regulasi pembatasan waktu jabatan; tersedia mekanisme pemilihan pimpinan secara setara; mengakui suara rakyat untuk memutuskan pilihan secara bebas dan rahasia; terdapat lembaga pengawasan; terdapat pembagian wewenang lembaga negara; dan seterusnya. Memang, demokrasi punya banyak kelemahan dan perlu dikritik, tetapi peradaban manusia belum menemukan sistem alternatif yang sempurna, dan masih terus membutuhkan ijtihad.

Dua dekade lalu, Indonesia menyambut gembira fase keluar dari rezim otoritarian dan masuk ke fase demokrasi. Tetapi demokrasi tidak berjalan mulus, dalam beberapa aspek justru menjadi ancaman (hlm 67) dan membawa paradoks (hlm 75). Sebab itu, perlu penyesuaian tentang misalnya bagaimana posisi ideal agama dalam ruang publik masyarakat madani, yang dilandasi oleh semangat kebajikan bersama (bonum commune)? (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version