Catatan Hari Anti Korupsi: Pandemi, Korupsi dan Demokrasi

kpk

Ilustrasi KPK

Oleh: Muh Taufq Firdaus (Ketua Bidang Hikmah DPD IMM DIY)

Terhitung mulai awal tahun 2020 hingga menjelang pergantian tahun 2022, pandemi masih belum benar-benar bisa ditangani oleh pemerintah secara maksimal. Pandemi Covid-19 masih menjadi momok yang mematikan buat masyarakat. Meskipun terbilang sudah melandai berkat program vaksinasi yang didorong oleh beberapa pihak, namun tetap saja pandemi masih menghantui masyarakat. Belum lagi rentetan bencana yang akhir-akhir ini terjadi di beberapa titik daerah di Indonesia, juga menambah daftar tragedi yang terjadi. Meskipun demikian, nampaknya bencana pandemi dan bencana alam lainnya, menjadi peluang besar buat beberapa oknum pejabat pemerintah untuk melakukan agenda terselubung.

Pandemi dan bencana lainnya justru membuka tabir pemerintah secara terang. Di Indonesia, pandemi justru dijadikan sebagai kamuflase untuk melakukan praktik korupsi dan menanggalkan esensi demokrasi dalam penyelenggaraan negara. Terbukti dalam masa pandemi, Indeks Demokrasi Indonesia berada di titik nadir, bahkan hilang dari titik kebangsaan. Hal tersebut semakin mengkonfirmasi bahwa pemerintahan Presiden Jokowi khususnya di masa pandemi, sama sekali tidak memperhatikan kualitas demokrasi berjalan, bahkan beberapa kasus memperlihatkan pemerintahan Presiden Jokowi mengekang kebebasan sipil, hal ini tentu bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin hak warga negaranya, termasuk kebebasan berpendapat.

Pandemi dan Korupsi-Demokrasi

Beberapa kali pemerintah menunjukkan arogansinya terhadap masyarakat di masa pandemi, demi meloloskan berbagai Undang-Undang yang tidak berpihak di masyarakat dan melakukan praktik korupsi. Masih tergambar jelas diingatan masyarakat, bagaimana RUU Omnibus Law Cipta Kerja dikebut di masa pandemi kemudian pada gilirannya disahkan secara kontroversial, revisi UU Minerba juga ikut dikebut hingga masyarakat tidak mampu mengakses perubahan dalam UU Minerba. Tidak hanya berhenti pada tataran kebijakan, oknum pejabat pemerintah juga menjadikan bencana pandemi sebagai momentum untuk melakukan korupsi.

Alih-Alih fokus pada penanganan bencana pandemi yang memukul roda ekonomi masyarakat, Menteri Sosial RI justru melakukan korupsi dana bantuan sosial, buat masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Di masa pandemi, setidaknya sudah ada dua Menteri RI yang telah ditangkap oleh KPK karena melakukan tindak pidana korupsi. Sebagaimana yang telah dirilis oleh Transparansi Internasional (TI), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2020, mengalami kemerosotan. Indonesia hanya meraih 37 poin di posisi 102 dari 180 negara, hal ini sudah cukup menegasakan bahwa agenda pemberantasan korupsi mengalami kemunduran, mengingat tahun 2019, posisi Indonesia terbilang cukup baik diurutan 85 dari 180 negara. Bahkan menjelang akhir tahun 2021, mungkin tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan dari agenda pemberantasan korupsi.

Kebijakan pemerintahan Jokowi untuk melemahkan peran KPK sebagai lembaga anti rasuah, dimulai sejak pembahasan Revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 yang digodok dan disahkan oleh pemerintah dan DPR. Apa yang dikhawatirkan jauh hari dari Revisi UU tersebut, secara perlahan mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia terhadap keberadaan KPK. Misalnya saja, adanya pasal yang mengatur kebijakan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan ( SP3 ) yang selama ini tidak dikenal di dalam institusi KPK. Sehingga seorang koruptor kelas kakap, seperti Sjamsul Nursalim beserta istrinya yang sudah merampok uang negara (BLBI) sebesar 4.58 Triliun bisa bebas kembali, setelah mendapat kebijakan baru, yaitu SP3.

Belum tuntas urusan Sjamsul Nursalim, kini KPK dihadapkan dengan aturan baru dari Revisi UU KPK yang sudah disahkan sebelumnya, terkait perubahan atau alih status kepegawaian KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Untuk proses alih status ini, pegawai KPK diwajibkan mengikuti tes wawasan kebangsaan. Bagi yang lolos bisa diproses sebagai ASN di lembaga KPK. Dari proses tes kebangsaan ini, ternyata hasilnya ada 75 pegawai KPK yang selama ini bekerja sangat baik, kredibel dan sangat berani, ternyata tidak lolos. Diantaranya adalah Novel Baswedan.

Paradoks tes wawasan kebangsaan menjadi lebih kontradiktif, tatkala beberapa pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan, justru diangkat menjadi ASN Polri. Terakhir sinyal pelemahan agenda pemberantasan korupsi kembali terekam di benak publik, tatkala Mahkamah Agung mencabut PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi koruptor.

Pejabat Publik dan Bisnis PCR

Luhut Binsar Panjaitan menjadi nama yang paling disorot. Sebagai Wakil Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) dan Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut justru menjadikan test PCR sebagai ladang bisnis perusahaannya. Sebagaimana temuan yang didalami oleh TEMPO, perusahaan yang dimiliki oleh LBP yaitu PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtera, mempunyai saham di PT GSI sebagai penyedia jasa test PCR. Kedua perusahaan LBP tercatat memiliki masing-masing 242 lembar saham PT GSI senilai Rp 242 juta.

Selain nama LBP, Menteri Erick Thohir juga ikut terseret dalam penyediaan jasa test PCR. Melalui Yayasan Adaro Bangun yang merupakan organisasi dibawah PT Adarao Energy Tbk, perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan. PT Adaro Energy sendiri merupakan bisnis keluarga dari Erick Thohir. Saudara Erick Thohir, Garibaldi Thohir merupakan presiden direktur dan mengantongi 6,18 persen saham di PT Adaro Energy. Pada PT GSI, Yayasan Adaro Bangun tercatat memiliki 485 lembar saham.

Nama lainnya yang tercatat dalam bisnis PCR, ialah Arsjad Rasjid Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Keterkaitannya pada Yayasan Indika sebagai pemegang saham mayoritas Genomik. Yayasan tersebut milik dari PT Indika Energy Tbk, perusahaan yang dipimpin oleh Arjad Rasjid. Yayasan ini memiliki 932 lembar saham senilai Rp. 932 juta. Sementara yayasan terakhir yang memiliki 242 lembar saham senilai Rp 242 juta, ialah Yayasan Northstar Bhakti Persada. Organisasi ini dimiliki oleh Northstar Group yang didirikan oleh Patrick Walujo dan Glenn Sugita. Dalam dokumen PT GSI, diketahui dalam pembukuan pendapatan pada tahun 2020 sebesar USD 232,454 atau setara dengan Rp 3,29 milliar. Padahal GSI Lab baru berjalan pada pertengahan tahun lalu, tepatnya bulan Agustus 2020.

Mendulang Untung di Balik Pandemi

Sangsi untuk mengatakan bahwa para pejabat publik seperi LBP dan Erick Thohir tidak terlibat dalam bisnis test PCR. Kebijakan tarif PCR yang berubah-ubah, ditengarai akibat alat tes virus tersebut, pada akhir tahun sudah kadaluwarsa. Meskipun telah disangkal oleh LBP dan Erick Thohir untuk mencari keuntungan, kenyataan mereka mempunyai saham di PT GSI adalah fakta yang tak terhindarkan. Keduanya merupakan pejabat publik yang harus terhindar dari benturan kepentingan pribadi. Sejumlah kebijakan yang mengharuskan penumpang untuk melakukan test PCR, disinyalir menjadi bagian untuk memuluskan bisnis PCR dari pejabat publik tersebut.

Berdasarkan temuan TEMPO, ongkos per sampel tidaklah setinggi harga test PCR jika diawal pandemi, test PCR sebesar Rp 1,5 juta, sebenarnya ongkos per sampelnya hanya Rp 600 ribu. Meski biaya test PCR berangsur turun hingga terakhir Rp 275.000, pegusaha tes PCR tak henti mendapat untung. Setidaknya tarif Rp 275.000, pengusaha akan mendapatkan kekayan sebesar Rp. 60.000 per sekali test. Riset Indonesia Corruption Watch menyebutkan keuntungan penyedia jasa tes PCR sejak Oktober 2020 hingga 2021 mencapai Rp 10,46 triliun.

Sebagai pejabat publik, LPB dan Erick Thohir terikat pada prinsip etika publik dan beberapa aturan yang menghindari adanya benturan kepentingan. Semua orang berhak untuk menjalankan bisnis, namun tidak bagi pejabat publik. Dengan kekuasaan dan kewenangan yang dipegang akan berpotensi untuk membuka kran tindakan korupsi. Aplagi dalam konteks bisni PCR, LBP dan Erick Thohir, mempunyai perusahaan keluarga yang terafiliasi dengan PT GSI sebagai penyedia test PCR. Artinya setiap masyarakat yang melakukan pengambilan sampel pada lab GSI, paling tidak LBP dan Erick Thohir mendapatkan keuntungan.

Hal semacam ini merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi politik, LBP dan Erick Thohir merupakan pejabat publik yang ditunjuk Presiden sebagai tim satgas penaganan pandemi, yang dapat mengeluarkan kebijakan kewajiban pemakaian test PCR. Benturan kepentngan yang dilakukan oleh LBP dan Erick Thohir merupakan tindakan yang menodai prinsip good governance yang terikat pada aturan dan etika. Genap dua tahun Pemerintahan Jokowi da Ma’ruf Amin, terbukti tidak ada penguatan terhadap agenda pemberantasan korupsi. Hingga menjelang pergantian tahun 2022, nampaknya masa depan agenda pemberantasan korupsi semakin mendapatkan hambatan dan tantangan yang cukup serius, mengingat tidak adanya political will pemerintah yang berpihak pada pemberantasan korupsi secara jelas.

 

Exit mobile version