Krisis Politik dan Demoralisasi Pengurus Negara dalam Pengelolaan Tambang

Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah kembali membuka Diskusi Publik (9/12). Kali ini diskusinya bertajuk “Mitos Tambang dan Kesejahteraan: Bisakah Kita Menangkal Kutukan Sumber Daya Alam?” Para narasumber yang diundang berdiskusi siang itu ialah Bagus Hadi Kusuma dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hari Kurniawan dari Laskar Hijau, Muhammad Afandi perwakilan Jatam Jawa Timur, Agiel Laksamana P. sebagai Presedium Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), dan David Effendi dari LHKP sendiri.

Bersamanya, hadir pula Dr. Muhammad Busyro Muqoddas yang memberikan pengantar dalam acara diskusi siang itu. Disampaikan beliau bahwa saat ini negara ini tengah menghadapi krisis politik dan keilmuan. Semakin ke sini, semakin tampak saja watak asli para birokrat yang penuh ketidakjujuran dan mengalami demoralitas.

Maka dari itu, Pak Busyro mengajak kepada kita semua berkewajiban untuk tidak lelah menolong negara dan rakyat dengan cara yang terhormat. Sebagaimana tradisi di dalam Muhammadiyah, yakni “amal ilmiah, ilmu amaliah”.

Bergerak pada diskusi inti, Bagus memberi penekanan paparan materinya pada topik relasi tambang dan kontestasi politik Indonesia. Ditegaskannya bahwa masalah tata kelola tambang berasal hulu, negara. Pasalnya, sumber daya tambang ini tidak hanya dipandang sebagai komoditas ekonomi pasar, tetapi juga komoditas politik.

Hal ini bisa dilihat dari penunggang gelap yang memberi sponsor kepada kontestan pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden. Mereka adalah para penguasa korporasi tambang, lebih umum lagi adalah pemain industri berbasis lahan skala luas.

Penguatan datanya ditunjukkan lewat kenaikan jumlah izin pertambangan. Dari periode 2001-2005 sebanyak 1.134 izin tambang, kemudian melonjak sekitar 11.000 izin tambang pada 2011.  Kondisi ini dipicu oleh otonomi daerah dan kewenangan izin tambang di tingkat pemerintah daerah di dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Jika demikian, bukankah penerbitan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertambangan Minerba yang memusatkan izin tambang ke negara seharusnya menjadi solusi? Secara tegas, Bagus mengatakan tidak. Masalahnya bukan pada penerbitan izin tambang, tetapi lebih kepada fungsi-fungsi pengawasan, pengelolaan, dan penindakan.

Sebagai penutup, Bagus menegaskan lagi, “ini bukan kutukan sumber daya alam, tapi kutukan negara yang memberi izin serampangan”.

Menyikapi temuan carut marut tata kelola pertambangan dan politik elektoral, David mengajukan wacana perbaikan melalui upaya pembenahan sistem pemilu Indonesia. Tujuannya adalah memperkecil dan menghilangkan calon-calon pemimpin yang tersandra kepentingan ekonomi politik.

Upaya lain yang bisa dilakukan adalah menciptakan sarjanawan, secara khusus di lembaga pendidikan Muhammadiyah, yang tidak berjarak dengan kenyataan, “pendidikan yang lebih emansipatif”.

Pada kesempatannya, Hari juga mengiyakan pendapat Bagus mengenai, “kutukannya memang dari hulu, demoralisasi, dikuasai oleh oligarki.” Hari memberi tambahan perspektif mengenai kerakusan pengusaha tambang di wilayah bencana.

Diceritakan dalam pengalamannya di lereng Semeru hari ini yang sedang membantu tanggap darurat bencana erupsi, ia menemukan bahwa bersamaan dengan itu ada konsorsium penambang di sana. Pemain yang datang sebagiannya adalah korporasi tambang besar. Keperluan mereka di sana adalah membicarakan potensi penambangan hasil erupsi Gunung Semeru.

Jelaslah sudah bahwa arah pembangunan negara ini sama sekali tidak memperhatikan biosentrisme dan antroposentrisme masyarakat. Namun, apa yang menjadi pemahamannya adalah paradigma Developmentalisme. “Saya sepakat, harus ada moratorium pertambangan … saya juga meminta tegas Muhammadiyah, jangan bermain di wilayah tambang,” demikian penutup dari Hari.

Di bagian lain Agiel Laksamana juga mendorong agar para pemuka agama untuk merancang khotbah-khotbah yang berisi sosialisasi dan advokasi bahwa pertambangan merusak ruang hidup manusia dan lingkungan. Sebab, semua dari kita harus menyadari bahwa saat ini kita sedang terancam perampasan ruang hidup dan tidak ada kesejahteraan yang dihasilkan dari sektor pertambangan untuk masyarakat. Dalam bahasa lain, Hari mengistilahkannya sebagai “pengungsi ekologis”. (ykk)

Diskusinya bisa ditonton lewat link:

Exit mobile version