YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Fenomena Pinjaman Online (Pinjol) menjadi bahan perbincangan mulai dari isu menyalahgunakan data peminjam sampai dengan sistematika akad yang tidak sesuai selalu menuai kontra. Terlebih aturan dan implementasi serta efek yang ditimbulkan pinjaman online di Indonesia mengundang banyak pertanyaan yang layak dijadikan sebagai bahan diskusi bagi para pemerhati hukum, ekonomi dan praktik ekonomi syariah. Hal tersebut menjadi bahasan Laboratorium Hukum UMY untuk adakan acara Diskusi Akademik dengan tajuk “Kontroversi Pinjaman Dana Tunai Berbasis Aplikasi Online (Pinjol) di Indonesia: Regulasi vs Implementasi”. Acara diskusi tersebut diselenggrakan secara daring pada hari Jum’at (17/12).
Muhammad Annas, S.H., M.H, Dosen Pakar Hukum Bisnis UMY menyampaikan bahwa terdapat berbagai macam jenis fintech (financial technology) dengan type peer to peer landing di Indonesia sejumlah 148 perusahaan peer to peer landing.”Fintech tipe peer to landing tersebut diantaranya 107 perusahaan yang teregistrasi oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sebagai financial support authority dan 41 diantaranya teregistrasi sebagai izin berbisnis. Namun, dengan banyaknya perusahaan fintech ini menimbulkan problematika baru yaitu fintech illegal dan non illegal. Secara umum, fintech non illegal tidak di bawah naungan OJK dan tidak ada akad yang jelas mengenai bunga, dan temponya dan inilah yang menyebabkan banyaknya permasalahan pinjaman online yang marak terjadi,” paparnya.
Menanggapi persoalan pinjaman online Prof. Dr. Siti Ismiyati Jenie, S.H., CN., Guru Besar Bidang Hukum Perdata UMY menyatakan dari sudut hukum perdata bahwa seharusnya fintech memiliki perjanjian yang mengatur peminjam dan pelaku pinjaman (masyarakat umum) yang bersifat independent.”Perjanjian dalam fintech seharusnya tidak ada campur tangan antara OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan pihak pemerintah, melainkan disusun oleh para pelaku fintech sehingga dapat dikatakan perjanjian dalam fintech adalah perjanjian di bawah tangan,”jelasnya.
Prof. Jenie menambahkan bahwa penyelesaian masalah pada praktik pinjaman online diselesaikan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh fintech.”Perjanjian yang dibuat oleh fintech secara hukum meliputi judul, penyebutan pihak-pihak dengan isi perjanjian fintech adalah definisi, pasal kedua mengenai jumlah pembiayaan, pasal tiga waktu, pasal keempat penarikan pembiayaan, pasal lima kesepakatan bunga, pasal enam pembayaran kembali dan ketujuh mitigasi resiko,” tambahnya.
Pada sesi penutup, Prof. Jenie tidak hanya menekankan pada perusahaan fintech untuk memperhatikan perjanjian hukum saat melakukan transaksi online namun juga menekankan pada masyarakat untuk lebih mawas dan lebih cermat dalam menanggapi pinjol yang semakin marak dan bermacam bentuknya di Indonesia. (Mil)