Mengenang Dua Tahun Kepergian Inventor Kalender Hijriah Global Tunggal (3)

bgoan ketiga dari tiga tulisan

Mengenang Dua Tahun Kepergian Inventor Kalender Hijriah Global Tunggal (3)

Mengenang Dua Tahun Kepergian Inventor Kalender Hijriah Global Tunggal

Oleh: Syamsul Anwar

Kalender global tunggal dengan parameter seperti di atas ditetapkan sebagai kalender dunia Islam dalam Konferensi Penyatuan Awal Bulan Hijriah tahun 2016 di Istanbul. Tetapi dalam konferensi tersebut muncul konsep kalender bizonal yang membagi dua dunia di mana pada masing-masing zona berlaku jadwal kalender yang bisa berbeda pada sejumlah bulan. Namun konsep kalender ini ditolak karena tidak dapat menyatukan penanggalan Islam sedunia dan menyebabkan terjadinya perbedaan jatuhnya hari Arafah pada tahun tertentu. Hasil konferensi Istanbul ini, yang diikuti oleh 127 ulama dan astronom yang mewakili 60 negara, merupakan kesepakatan paling akhir  umat Islam tentang kalender pemersatu dunia Islam. Tentu tidak ada lagi alasan untuk menolaknya, dan seyogyanya diterima oleh umat Islam guna mengakhiri ketidakpastian penanggalan yang terjadi di kalangan umat. Keputusan Istanbul ini merefleksikan kehendak umat untuk menyatukan sistem tata waktu mereka yang tidak pernah terwujud meski usia peradaban Islam sudah hampair 1,5 milenium.

Tahun 2017 diadakan konferensi internasional tentang kalender global Islam yang diselenggarakan oleh Kemenag RI, dan menghasilkan Rekomendasi Jakarta 2017. Rekomendasi ini merumuskan apa yang diklaim sebagai kalender global. Ini dapat difahami dari beberapa pernyataan dalam Rekomendasi tersebut, yakni (1) bahwa Rekomendasi ini merupakan “upaya untuk mewujudkan kesatuan umat dengan kalender unifikatif secara global”, (2) “Bahwa Rekomendasi Jakarta 2017 ini pada prinsipnya merupakan perbaikan, dan/atau penyempurnaan serta pelengkap terhadap kalender Turki 2016”, dan (3) “Bahwa Rekomendasi Jakarta 2017 ini dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan penentuan awal bulan hijriyah baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional.” Statemen Rekomendasi ini jelas mengklaim kalender yang dimaksudkan adalah kalender global unifikatif. Kriterianya adalah tinggi minimal hilal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat (3+6,4) dengan titik acu (markaz) kawasan barat Asia Tenggara.

Tampaknya para perumus Rekomendasi ini tidak menyadari adanya kontrakdiksi dalam rumusannya antara pernyataan tentang kalender global unifikatif dengan rumusan kriteria yang dibuat. Dengan menetapkan markaz pada lokasi tertentu, seperti kawasan barat Asia Tenggara (kawasan paling barat Asteng adalah Sabang) berarti dengan sendirinya menegasikan sifat global unifikatif dari kalender dan menjadikannya lokal atau regional, yaitu hanya berlaku bagi lokal atau kawasan itu saja. Kalender global unifikatif itu titik acunya (markaznya) adalah di tempat mana pun di seluruh muka bumi. Artinya tidak mengacukan perhitungannya kepada tempat/lokasi tertentu. Jika kriteria 3+6,4 diberlakukan ke seluruh dunia (markaz dihilangkan), kriteria itu akan berakibat memaksa kawasan timur bumi pada bulan tertentu masuk bulan baru sebelum terjadi ijtimak. Ini pelanggaran terhadap syarat utama kalender Islam. Apabila titik acu (markaz) dipertahankan dan kalendernya diberlakukan ke seluruh dunia, maka akan terjadi  menahan suatu kawasan dunia sehingga tidak masuk bulan baru pada hal hilal sudah terpampang jelas di ufuknya. Ini merupakan pelanggaran terhadap sabda Nabi saw, “Berpuasalah kamu apabila melihat hilal dan beridulfitrilah apabila melihatnya pula.” Apabila titik acunya dipertahankan dan kalender diberlakukan pada kawasan titik acu dan sebelah timurnya, maka akan terjadi perbedaan jatuhnya tanggal dan karenanya tidak dapat menyatukan hari Arafah. Ini artinya kriteria 3+6,4 itu tidak valid sama sekali sebagai kriteria kalender global unifikatif.

Sebagai contoh Zulhijah 1443 H, di mana tinggi hilal di Sabang (kawasan Asteng paling barat) pada hari ijtimak (Rabu, 29 Juni 2022 M) adalah 03° 49’ 51” dan elongasinya 05° 41’ 21”. Jadi belum memenuhi kriteria Rekomendasi Jakarta 2017. Ini berarti 1 Zulhijah 1443 H jatuh Jumat, 1 Juli 2022 M. Sementara di Mekah pada hari itu tinggi hilal 05° 45’ 59” dan elongasinya 07° 15’ 31” (sudah imkanu rukyat). Dengan demikian 1 Zulhijah di Arab Saudi jatuh pada hari Kamis, 30 Juni 2022 M, sehingga terjadi perbedaan dengan Kalender Rekomendasi Jakarta 2017. Di sini terlihat bahwa kalender Rekomendasi Jakarta 2017 tidak dapat menyatukan jatuhnya hari Arafah.

Apabila Arab Saudi dipaksa untuk masuk bulan Zulhijah mengikuti kalender Jakarta 2017, berarti ia dipaksa melanggar sunnah Nabi saw yang memerintahkan mulai bulan baru bilamana telah melihat hilal. Kasus yang sama terjadi juga dengan bulan Syawal 1447 H (2039 M), di mana dengan kriteria Jakarta 2017 Arab Saudi mendahului Asteng. Apabila ia dipaksa menunggun Asteng, berarti ia melanggar sunah Nabi saw yang memeritahkan supaya beridul fitri ketika melihat hilal. Sebaliknya apabila marjak kawasan barat Asteng dihilangkan dari kriteria Jakarta 2017, maka akan berakibat kawasan timur bumi (Selandia Baru) pada bulan Syawal 1467 H dipaksa memulai bulan itu pada hari Ahad 13 Agustus 2045 M, pada hal ia baru mengalami ijtimak pukul 05:39 Waktu setempat (setelah lewat fajar). Lalu bagaimana para perumus kalender Jakarta 2017 mengklaimnya sebagai kalender global unifikatif dan perbaikan terhadap kalender Isntanbul 2016?

Kalender Istanbul 2016 adalah hasil kesepakatan dari sejumlah ulama dan astronom yang mewakili 60 negara. Kiranya kesepakatan itu dapat menjadi pegangan bersama dan tidak perlu membuat kesepakatan baru yang juga tidak mudah, dan selama keputusan yang ada itu tidak mengandung kontradiksi dan kesalahan fatal. Kalender global yang akurat sangat diperlukan guna menyatukan sistem tata waktu kita, termasuk dalam masalah puasa, Idulfitri dan Iduladha. Dalam hadis diriwayatkan,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ [رواه الترمذي].

Dari Abu Hurairah [diriwayatkan] bahwa Nabi saw bersabda, “Puasa itu adalah pada hari semua kamu berpuasa, idulfitri itu adalah pada hari semua kamu beridulfitri, dan Iduladha itu adalah pada hari semua kamu beriduladha” [HR at-Tirmiżī].

Kita akan dapat menyatukan puasa, idulfitri, dan iduladha, serta hari Arafah dengan menggunakan kalender global unifikatif tunggal. Muhammadiyah melalui Keputusan Muktamar Ke-47 di Makasar tahun 2015 telah memutuskan perlunya mengusahakan berlakunya kalender global itu dalam rangka menyatukan sistem penandaan waktu (hari) kita.

Prof Dr Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah  

Exit mobile version