YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pendampingan kepada komunitas difabel dari waktu ke waktu semakin membutuhkan kecakapan lebih. Para fasilitator membutuhkan ketrampilan khusus untuk mengupayakan akses bagi para difabel yang sesuai dengan kemampuan mereka. Guna mengupayakan akses yang setara, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah bersama Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah (LazisMu) PP Muhammadiyah berkolaborasi mengadakan program pelatihan fasilitator baca Al-Qur’an bagi difabel netra dan tuli yang diadakan di Wisma Sargede Yogyakarta, 18 -19 Desember 2021.
Ikhtiar tersebut selaras dengan agenda pembinaan Qaryah Thoyyibah yang menjadi salah satu konsep pembinaan masyarakat oleh persyarikatan. Dalam rangka itu, diupayakan akses yang merata bagi semua masayarakat, termasuk difabel. Program ini masuk ke dalam 6 pilar program Lazismu, yakni pilar dakwah, yang berfungsi menguatkan sisi ruhani dan pemenuhan kebutuhan untuk kegiatan dakwah. Merujuk assessment yang telah dilakukan, komunitas difabel netra dan tuli sangat membutuhkan pendampingan karena perbedaan kemampuan mereka dalam mendengar dan melihat. Tanpa itu, mereka kesulitan untuk melakukan ibadah harian.
Manajer Program Pendampingan Baca Al Qur’an Difabel Netra dan Tuli, Ahmad Rizal menuturkan bahwa pelatihan fasilitator pemberdayaan difabel ini adalah tahap pembekalan bagi para kader muda Muhammadiyah. Mereka nantinya akan mendampingi komunitas difabel netra dan tuli secara rutin dan bergantian. Melalui interaksi ini diharapkan komunitas difabel bukan lagi menjadi kelompok yang eksklusif.
“Tujuan Pelatihan fasilitator pemberdayaan difabel bertujuan untuk menyiapkan fasilitator yang mampu mendampingi pembelajaran membaca Al Quran bagi komunitas difabel netra dan tuli,” tutur Ahmad Rizal. Para fasilitator direkrut dari Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).
Ketua MPM PP Muhammadiyah, M. Nurul Yamien mengatakan bahwa membersamai kelompok difabel tidak bisa dilepaskan dari nilai dasar atau nilai basis gerakan jihad kemanusiaan. Jihad kemanusiaan ini didasari pada tiga nilai: Teologi Al-Ma’un, Fikih Al-Ma’un, dan Fikih DIfabel. Tiga nilai dasar ini juga harus ditransformasikan kepada kelompok-kelompok difabel. Maka, pemberdayaan kelompok difabel berada dalam satu kesatuan dengan implementasi tauhid, keadilan, dan kemaslahatan.
“Hidup ini adalah hidup yang berbasis tauhid, keadilan, dan memberikan kemanfaatan siapapun dia. Harapannya dengan nilai dasar ini akan menjadi daya ungkit dan daya angkat kelompok difabel kemudian bergerak untuk melakukan aktivitas-aktivitas kehidupan yang lebih baik,” terang Yamin.
Pendampingan baca Al-Qur’an kepada kelompok difabel netra dan tuli ini merupakan salah satu agenda MPM pada level mikro atau personal. Selama ini, strategi pemberdayaan difabel oleh MPM memiliki tiga level agenda, yakni level mikro (personal/individual), meso (keluarga dan masyarakat), dan makro (struktural kebijakan). Ketiga ranah ini perlu dikerjakan secara bersama dan berkelanjutan. (mpm/ribas)