YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengadakan Webinar Akhir Tahun 2021 dengan tema “Menahan Laju Regresi Demokrasi dan Kegagalan Politik Desentralisasi di Indonesia” melalui Zoom (28/12/2021). Webinar ini mempertajam Survey Nasional Demokrasi yang diketuai oleh David Effendi, untuk mengetahui sejauh mana perkembangan serta praktik demokrasi di Indonesia. Hadir sebagai pembicara Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, cendekiawan muslim Azyumardi Azra, pengamat dari Universitas Sidney Thomas Power, Bupati Trenggalek M. Nur Arifin, dan Bachtiar Dwi Kurniawan.
Busyro Muqoddas memaparkan tentang hasil temuannya selama berkiprah di dunia akademik dan pengalaman di birokrasi sebagai ketua Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi, bahwa ada banyak masalah demokrasi dan masalah politik-ekonomi-hukum yang terjadi di Indonesia. “Rakyat diposisikan sebagai ‘sapi perah’ sekaligus korban perenggutan virginitas moralnya melalui praktek suap terhadap konstituen,” ujarnya.
Menurut Busyro, terjadi “sekarat demokrasi” dengan beberapa indikasi: upaya melumpuhkan KPK oleh eksekutif dan legislatif; korupsi semakin massif dan demokrasi memburuk di saat pandemi Covid-19; kekuatan masyarakat sipil menghadapi banyak kekerasan, peretasan, dan pelemahan; tewasnya mahasiswa pendemo sebagai korban radikalitas politik; penegakan hukum dalam pemberantasan teroris yang intransparan serta komodifikasi isu intolerasi, radikalisme, moderasi beragama; ketidakadilan tata kelola sumber daya alam.
Azyumardi Azra menyebut bahwa gejala kemunduran demokrasi memang terjadi. Ada kecemasan di kalangan ahli demokrasi. “Ada tantangan serius mengenai sistem politik yang menghadang demokrasi,” ujarnya. Pertama, demokrasi tidak terlalu efektif dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, kesejahteraan, dan seterusnya, karena birokrasi demokrasi yang berbelit-belit, tidak efektif. Kedua, muncul alternatif sistem lain, yaitu totalitarianism seperti dipraktekkan dalam model Cina dan model Singapura.
Tantangan untuk membendung kemerosotan demokrasi cukup berat. Azra mengakui bahwa tidak ada sistem demokrasi yang sempurna. “Tidak ada one single model demokrasi,” katanya. Sebab itu, penting untuk mengembangkan demokrasi yang berkelanjutan dan terus memperbaiki kualitas demokrasi yang substansial, bukan hanya demokrasi prosedural. “Pemerintah kita terlalu banyak gimmick dan trick dalam pemberantasan korupsi, tidak serius. Jadi, tidak akan berhasil,” ujarnya.
Thomas Power menyebut bahwa regresi demokrasi di Indonesia salah satu sebabnya karena terjadi penumpukan kekuasaan di tangan kekuasaan eksekutif. Regresi demokrasi merupakan fenomena global, baik di negara demokrasi muda seperti Indonesia maupun di negara demokrasi tua seperti Amerika Serikat.
Perspektif internasional pada tahun 2000-an, Indonesia sebagai pengecualian. Saat itu, Indonesia pernah dijadikan contoh keberhasilan demokratisasi pada masa suram demokrasi global. “Indonesia pernah dianggap sebagai contoh demokrasi makin kuat dan makin terkonsolidasi dari gelombang ketiga demokrasi yang paling di luar dugaan para pengamat karena keberhasilannya,” tuturnya. Tetapi dalam satu dekade terakhir, narasi itu telah berubah. Indonesia sekarang menjadi studi kasus tentang regresi demokrasi.
Di mata penulis buku Democracy In Indonesia From Stagnation To Regression itu, Indonesia tidak mengalami kegagalan dalam demokrasi dibanding negara lainnya di ASEAN. Alasannya: Indonesia tetap memiliki pemilu yang kompetitif, media belum sepenuhnya dijinakkan oleh pemerintah, masyarakat sipil yang aktif mengkritik. Peran Muhammadiyah yang berada di luar pemerintahan juga dinilai penting dalam menjaga keseimbangan demokrasi.
Thomas Power menyebut faktor pendorong regresi demokrasi di Indonesia, antara lain: kekurangan struktural dari konsolidasi demokrasi; regresi demokrasi dari bawah atau dari masyarakat seperti dalam fenomena gerakan politik Islam yang dianggap tidak pluralis atau ormas yang meminta ormas lain dibubarkan; regresi demokrasi dari atas seperti dalam hal pelemahan akuntabilitas pemerintahan. “Institusi akuntabilitas pemerintahan dilemahkan secara sistematis sehingga kurang efektif dalam membatasi kesewenang-wenangan pemimpin politik,” tukasnya. (ribas)