Judul : Hamka dan Islam, Reformasi Kosmopolitan di Dunia Melayu
Judul asli : Hamka and Islam: Cosmopolitan Reform in the Malay World
Penulis : Khairudin Aljuneid
Penerjemah : Aditya Pratama
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, November 2021
Tebal, ukuran : xvi + 238 hlm, 15 x 23 cm
ISBN : 978-602-6268-94-5
Apa yang belum ditulis tentang Buya Hamka? Ratusan orang telah mengulas kepelbagaian sosok Hamka dan pemikirannya. Hamka merupakan tokoh yang pemikirannya terentang dari bidang tasawuf, tafsir, sejarah, filsafat, hingga sastra. Buku ini menjabarkan cara Hamka memandang dunia dengan kata kunci: akal, kesederhanaan, keadilan sosial, perempuan, spiritualitas Islam atau tasawuf, dan rekonstruksi sejarah atau historiografi Islam.
Khairudin Aljuneid menemukan celah yang belum banyak dikaji, yaitu tentang bagaimana Hamka mereformasi alam pikiran umat Islam. Ia menggunakan istilah reformasi kosmopolitan, karena Hamka dinilai telah merekonstruksi Islam di tanah Melayu dengan cara menyelaraskan dan mengambil saripati terbaik dari banyak aliran pemahaman dan sudut pandang. Dari hasil saringannya atas berbagai corak pemikiran Islam, Hamka melahirkan suatu wawasan Islam yang segar (hlm 8).
Reformasi kosmopolitan ini menuntut sikap terbuka dan kesungguhan umat Islam untuk mempelajari semua bidang ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban. Dalam pengantar Tafsir Al-Azhar, Hamka mengingatkan supaya umat Islam tidak bermental inferior dengan semisal latah mendaku bahwa semua temuan sains telah ada di Al-Qur’an. Semestinya, kata Hamka, Al-Qur’an memerintahkan kita mempelajari semua bidang ilmu. Islam sebagai solusi yang sesuai perkembangan sains tidak dimaknai secara klise dan politis.
Aljuneid menjabarkan argumentasi tentang Hamka sebagai pemikir dan peramu gagasan yang handal. Modernisasi dan globalisasi sering menjadi persimpangan yang membuat banyak agamawan tergagap. Hamka datang sebagai panasea yang berupaya menjadikan Islam tetap relevan dan kontekstual (shalih likulli zaman wa makan). Reformasi kosmopolitan ini diawali dengan mendudukkan kembali posisi akal secara proporsional. Hamka mendialogkan khazanah intelektual Islam yang kaya, menjembataninya dengan modernitas dan implikasi masalah yang ditimbulkannya sejak Dunia Melayu memasuki abad ke-20.
Beberapa tokoh reformis seperti Moenawar Chalil, Ahmad Hassan, Syeikh Al-Hadi, dan Haji Rasul menyebut bahwa krisis akal telah melanda umat Islam di dunia Melayu. Hamka menengahi pergulatan wacana di kalangan reformis yang menekankan akal (rasionalis-empiris), dengan kaum tradisionalis yang cenderung taklid kepada adat dan otoritas klasik. Hamka tidak menuduh tradisi dan intuisi mistik sebagai penyebab kemunduran Islam. Hamka tidak mengulang domain perdebatan aliran kalam dan teologi Islam tentang akal dan wahyu.
Menurut Hamka, ketergantungan pada adat dan otoritas temporal secara kaku, telah menjadi penyebab kejumudan umat Islam di tanah Melayu dalam setiap fase perubahan. Tanpa menyalahkan tradisi dan adat, Hamka menawarkan tambahan “tradisi rasional dalam Islam”, berupa penggunaan akal sebagai perangkat penting untuk memahami hal sakral dan profan. Hamka memposisikan akal tidak seperti kalangan sekuler-muktazilah yang menyejajarkan akal dan wahyu, atau bahkan malah meletakkan akal di atas wahyu. Bagi Hamka, meskipun akal pikiran itu merupakan perkara penting, tetapi akal punya keterbatasan. Sebab itu, akal harus dipandu oleh wahyu, akhlak karimah, konteks, dan pemahaman baru, supaya fungsional menjawab persoalan kontemporer.
Hamka juga menawarkan spiritualitas (tasawuf) untuk mengimbangi perasaan alienasi dan goncangan batin yang kerap menimpa kaum urban modernis. Hamka meruntuhkan kesalahpahaman: reformisme Islam yang diperlawankan dengan tradisionalisme dan doktrin tasawuf (hlm 146). Hamka tidak menafikan jika ada aliran tasawuf tertentu yang dinilai “menyimpang”, tetapi tasawuf juga telah memberi konstribusi positif dalam sejarah Islam. (Muhammad Ridha Basri)