Kucing itu umurnya delapan tahun, seusia dengan cucu saya yang di Malaysia. Ketika itu suami saya masih ada. Warnanya sama dengan induknya. Anak saya sengaja pulang untuk melahirkan, agar anaknya lahir di Indonesia dan dapat kewarganegaraan di sini. Waktu kami menyembelih dua ekor kambing, memotong rambut-bayi anak itu (suami saya masih ada), induk kucing itu melahirkan, lima ekor anaknya. Seekor mati pada hari itu juga, warnanya hitam, tiga lainnya menyusul. Kemudian diketahui bahwa anak-anak kucing itu mati tercekik waktu induknya memindahkannya dari kandang yang kami buatkan. Dasar binatang. Bagaimana hal itu bisa terjadi, saya tidak tahu. Anak kucing yang masih hidup kemudian saya pisahkan dari induknya, untuk menghindari kejadian serupa. Kemudian induknya pergi entah kemana dan tidak pernah kembali lagi, mungkin sakit hati, saya benar-benar tidak tahu. Jadilah kucing itu sebatang kara. Setelah orang-orang Malaysia itu kembali ke negaranya, juga anak-anak saya yang lain, mengurus kucing itulah kesibukan saya. Ketika suami saya meninggal, kucing itu sudah besar.
Rumah saya cukup besar, dua lantai, seluruhnya ada sembilan kamar, dua belas jika kamar pembantu dihitung. Dulunya penuh. Sekarang cuma saya dan dua orang pembantu, mereka boleh memilih kamar yang mana saja yang mereka sukai, yang ada kamar mandinya di dalam, asal tetap di lantai satu. Sebab kalau saya perlu apa-apa, mudah memanggilnya. Lantai atas biarlah kosong. Salah satu pembantu itu sudah tua, asal Wonogiri, janda juga, tetapi tidak punya anak. Dialah yang mengasuh anak-anak saya dahulu, nomor tiga sampai seterusnya. Pembantu yang satu lagi masih muda, ikut saya setelah suami saya meninggal, asal Banten, saya belum pernah kesana, di daerah yang disebutnya Padarincang, katanya di pegunungan selatan. Yang ini masih gadis, mungkin baru 15, atau sekitar itu, tetapi dia menjadi tulang punggung keluarganya. Dengan mereka berdualah saya hidup, ditambah kucing yang malang itu.
Seminggu sekali, kadang dua minggu, anak saya yang jadi wartawan di Jakarta, pulang ke rumah, mengaudit bengkel mobil peninggalan ayahnya, sehari saja, jarang sekali lebih, setelah itu kembali ke Jakarta. Dia satu-satunya yang belum kawin. Sering saya berharap dia bosan jadi wartawan, pulang mengurusi bengkel itu dan kawin dengan gadis tetangga, lalu tinggal di rumah besar ini. Bengkel mobil itu besar sekali tidak, tetapi kecil juga tidak. Gajinya sebagai wartawan sungguh tidak seberapa dibanding pemasukan bengkel mobil itu. Tetapi dia bangga sebagai wartawan, ada sesuatu yang diperjuangkan, katanya. Bagi saya, bagaimanapun dia cuma karyawan, buruh juga, dan menurut saya masih bagus buruh di bengkel, jam kerjanya jelas, wartawan ini… seperti kamu tahu… jam kerjanya tidak menentu. Wartawan itu petualangan Mah, katanya suatu waktu, setiap hari menghadapi sesuatu yang baru.
Kucing yang sudah mati itu… yang hendak saya ceritakan, kucing seumumnya (kucing Indon, kata cucu saya)… ISTIMEWA karena saya tahu lahirnya, saya memberinya susu, merawatnya, dan mengajarinya hal-hal yang kucing lain tidak bisa. Prosesnya lama, bertahap dan perlahan-lahan, dan dia tidak makan makanan kecuali yang sudah dimasak. Mula-mula saya ajari dia untuk mengerti beberapa kata sederhana, seperti “berbaring, duduk, berdiri,” dan yang semacam itu, kemudian dia bisa mengerti perintah-perintah yang lebih kompleks. Dan sebaliknya saya berusaha mengerti nada eongannya, saya tahu apa yang dimauinya, misalnya kalau lapar, atau sedang ingin bermalas-malasan di pangkuan saya, saya tahu bagaimana nadanya. Dengan cara itu kami belajar saling mengerti. Kalau saya bilang “ambilkan koran di depan pintu,” dia akan mengambilkannya. Sampai kemudian dia bisa belanja barang-barang kecil di kios sebelah.
Saya membuatkan dompet kecil yang bisa dikalungkan ke lehernya. Dalam dompet itu saya taruh uang dan tulisan, kemudian saya antar kucing itu ke halaman, “ke Mang Deli,” sambil saya menunjuk ke kiri. Nanti dia akan mengeong pada Mang Deli, kemudian Mang Deli akan membuka dompet di leher kucing itu, membaca pesanan saya, lalu mengikatkan barang-barang di tali dompet itu, bersama uang kembalian. Sipus namanya. Tapi dia tidak bisa membawa barang lebih berat dari sekotak lilin. Jadi untuk barang-barang kecil seperti sebungkus rokok (saya merokok sejak masih gadis, waktu kuliah), segulung benang, atau sebungkus kacang atom, dia bisa, dan tampaknya dia senang bisa melakukan pekerjaan itu. Dan kalau sedang belanja, kucing itu jadi tontonan orang, tetapi orang sudah tahu bahwa itu kucing saya. Orang terkagum-kagum, atau malah heran, bagaimana seekor kucing bisa disuruh belanja.
Tetapi sekarang kucing itu sudah mati. Kuburannya di halaman rumah, tepat di bawah rumpun melati, sebelah kanan pintu gerbang. Lima hari setelah Idul Fitri kejadiannya. Kebanyakan anak-anak dan cucu-cucu sudah berkumpul sejak malam lebaran, kecuali anak saya yang di Bandung itu, karena ada tugas… tidak pernah dijelaskan ke saya tugas apa. Jadi ketika yang lainnya sudah pulang, dia baru datang. Ini anak saya yang nomor dua. Dulu sekolah di Magelang, dan sekarang sudah Mayor (Angkatan Darat). Datang dengan mobil bagus warna hijau, bersama istrinya yang cantik, asal Menado, dua anak lelakinya (kembar), yang masih berumur enam tahun, dan sopirnya (juga tentara). Mereka menginap tiga hari.
Dua anak kembar itu gembira sekali bermain-main dengan Sipus, kucing cerdas itu (sudah mati). Mereka berkejar-kejaran di halaman, Sipus yang kelelahan bersembunyi di bawah mobil, dan kemudian tertidur di sana. Menjelang malam, saya suruh anak itu memasukkan mobilnya ke garasi, saya tidak mau kelihatan ada mobil tentara di halaman rumah saya pada malam hari, sebab saya tahu tidak semua orang suka… maksud saya, pada tentara. Sopirnya sedang mandi, jadi anak itu menghidupkan mobil dan memundurkannya. Dan saya lihat betul kejadiannya, kucing itu berlari kencang sekali tanpa suara dari bawah mobil, kemudian terkapar di bawah pagar, terkejang-kejang sebentar kemudian diam. Dari mulut dan telinganya keluar darah.
Beberapa hari setelah mereka pulang, sopirnya itu datang lagi, dengan mobil yang berbeda, sendiri saja. Dia disuruh anak itu menyampaikan kotak… berisi seekor kucing, bulunya tebal warna abu-abu dan matanya biru. Ini kucing terlatih Bu, asli Eropa. Memang terbukti kucing itu terlatih, tetapi hanya mengerti perintah-perintah dalam bahasa Inggris, dan mungkin beberapa hari saja di sini dia akan mati kepanasan. Bawa kembali ke Bandung! Seminggu kemudian Si Sopir datang lagi, membawa kotak yang berbeda, berisi kucing kampung, warna kuning keemasan, belang putih, jantan, gemuk, dan kepalanya besar. Mirip sekali dengan Sipus, tetapi yang ini matanya garang. Mohon jangan Ibu menolak, jika Ibu tidak ingin saya ditempeleng sama Komandan.
Baiklah, akhirnya kucing itu saya terima. Kucing Indon, kata cucu saya yang di Kuala Lumpur, tetapi kucing ini sedikitpun tidak bisa menggantikan Sipus.
Agus Fahri Husein lahir di Singaraja (Bali), 28 Februari 1964. Menyelesaikan studi di Fakultas Sastra UGM 1995. Menulis cerpen sejak 1981. Sekarang ia tinggal di Cilegon Banten