MANCANEGARA – Para kader dan aktivis Muhammadiyah yang tersebar di mancanegara selain belajar tentang ilmu pengetahuan yang digelutinya, juga tak lupa bersosialisasi serta mempelajari khazanah budaya negeri setempat. Sehingga membentuk sebuah kerangka pengetahuan komparatif yang menarik serta saling memperkaya dan memajukan, khususnya bagi keberlangsungan syiar dakwah Muhammadiyah di mancanegara.
Di Jerman, Diyah Nahdiyati mengkisahkan pengalamannya dalam bermuhammadiyah di negara yang terkanal menjunjung tinggi rasionalitas itu. Jerman menurutnya merupakan negara sekuler yang maju dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun mayoritas masyarakatnya beragama Kristen, namun yang pergi ke gereja atau tempat ibadah sangatlah sedikit. Inilah tantangan Muhammadiyah di Jerman, bagaimana mendakwahkan Islam rahmatan lil alamin yang bisa diterima dan berintegrasi dengan nilai-nilai lokal masyarakat Jerman.
“Faktor inilah yang membuat kita bersemangat untuk terus mengembangkan diri. Jerman adalah negara sekuler, namun setelah hadirnya para pengungsi dari negara-negara Arab karena dilanda konflik berkepanjangan di negerinya, menjadikan masyarakat Jerman lebih terbuka terhadap nilai-nilai Islam. Meski sebelumnya mereka memandang Islam sebagai agama yang radikal dan terbelakang. Hal ini sedikit demi sedikit sirna karena banyaknya umat Islam yang berpendidikan tinggi di Jerman,” ujarnya dalam Pengajian Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan tema “Bermuhammadiyah di Mancanegara” (14/1).
Keterbukaan masyarakat Jerman terhadap Islam dan penganutnya tak datang dengan sendirinya. Selain faktor terus bertambahnya umat Islam yang mengeyam pendidikan tinggi di sana. Warga Muslim di Jerman juga mampu berintegrasi dengan budaya lokal dengan menjadi tenaga handal dan terampil. Hal inilah yang mendorong pemerintah Jerman untuk merangkul dan melibatkan kalangan Muslim dalam membangun negara, seiring dengan terus berkurangnya populasi genenerasi produktif di Jerman. “Sampai-sampai mantan Perdana Menteri dan Presiden Jerman selalu mengatakan bahwa Islam adalah bagian dari Jerman,” ungkap perempuan yang telah menetap di Jerman selama 16 tahun tersebut.
Ia menambahkan, Muhammadiyah Jerman terus berupaya mempromosikan ilmu pengetahuan dan penelitian, menunjukkan sikap internasional, serta mengedepankan toleransi di seluruh bidang dan budaya. Selain itu mempromosikan integrasi dan orientasi masyarakat Islam yang menganut nilai-nilai perdamaian, kemajuan, keadilan, dan kemanusiaan. “Poin-poin inilah yang harus kita jaga serta baharui agar kita tetap diakui,” tutur Diyah yang aktif di PCIM Jerman.
Berbeda dengan dinamika bermuhammadiyah di Jerman, Perwakilan dari PCIM Mesir Amastasya Dhyaz Pratiwi menyampaikan, ada beberapa capaian PCIM Mesir yang patut diapresiasi dan disyukuri. Di antaranya TK ABA Kairo yang berada di bawah naungan PCIM Mesir. Berdiri sejak 2007, TK ABA Kairo telah berhasil meluluskan 11 generasi. Kedua, Lazismu Mesir. Latar belakang berdirinya Lazismu Mesir pada 2018 ini menurutnya berangkat dari kekhawatiran terhadap mahasiswa Muhammadiyah di Mesir yang secara finansial masih membutuhkan bantuan. Hingga saat ini Lazismu Mesir terus berkembang dan mendapat kepercaan besar di Mesir. Ketiga, internasionalisasi Muhammadiyah melalui kegiatan Tapak Suci Putera Muhammadiyah yang berdiri pada tahun 2003. Melalui kegiatan ini Muhammadiyah Mesir dapat diterima oleh berbagai pihak. Di mana lebih dari 80 persen anggota Tapak Suci Mesir adalah warga asli Mesir.
“Dengan seringnya mengadakan kejuaraan baik di tingkat lokal hingga nasional, Tapak Suci semakin dikenal luas di Mesir,” ungkap Amastasya. (diko)