Ladang, Cerpen Indrian Koto

Ladang, Cerpen Indrian Koto

“Kalau ladangmu mau dijual, Pak Sabir katanya siap membeli.”

“Ladangmu itu sudah ditawar Pak Sabir, lo. Kapan saja kau mau menjual.” Omongan seperti itu berloncatan dari mulut banyak orang kepadaku. Awalnya aku tak begitu menanggapinya. Biasanya aku cuma tersenyum dan menggelengkan kepala sebagai jawaban perkataan mereka. Lama-lama aku merasa jengah juga. Apa maksud mereka dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu? Padahal sebagian mereka hanyalah orang-orang yang berpapasan belaka denganku.

Saya tidak tahu, kenapa nyaris semua pembicaraan selalu diarahkan ke sana. Apa dunia begitu sempitnya, hingga persoalan ladangku yang kecil itu saja menjadi pembicaraan banyak orang?

“Dari pada ladangmu dibiarkan terlantar. Lebih baik dijual saja…”

Sebenarnya apa sih, urusan mereka, kalau ladangku menjadi belantara sekali pun?

“Pak Sabir sudah membeli semua ladang yang ada di sekeliling lahan kita. Semua bukit di sekitar sudah menjadi atas nama dia.” Demikian ibuku berkata ketika aku bertanya soal ini kepadanya.

“Saya ndak kenal Pak Sabir. Dan kenapa dia ngotot hendak membeli ladang kita?” Tanyaku pula.

“Dia itu tentara. Tentu banyak duitnya. Jadi semua ladang yang ada di sana mau ditanami jati dan nilam.”

“Tentara kek, apa kek, apa urusannya mengurusi lahan kita?”

Ibuku diam sebentar. Mata tuanya tampak berkaca-kaca diterpa cahaya lampu. “Itulah. Dia orang berduit, orang berpangkat..”

Aku benar-benar naik darah mendengar itu. “Apa jabatan bisa membeli segalanya? Mentang-mentang dia tentara dengan seenaknya dia mengukur lahan orang? Memang kita hidup di zaman apa?”

Ibu memilih diam dan beranjak ke kamar.

***

            Ini bukan kali pertama aku berhadapan dengan omongan semacam ini. Sudah lama Pak Sabir mengincar ladang kami ini. Bahkan jauh sebelum kami meninggalkan ladang tersebut.

“Kalau kalian sudah tinggal di kampung, ladang itu pasti akan menganggur.” Demikian salah satu desakan dari kaki-tangan laki-laki yang bernama Sabir itu. Tapi ayah bersikeras menolaknya.

“Kalau pun kami pulang ke kampung, ladang itu masih akan kami jelang sesekali. Tempat aku menghabiskan masa tua dan warisan untuk anak-anak.” Begitu beliau dulu beralasan.

Tetapi kemudian ladang kami benar-benar terlantar.

Jika dilihat dari posisi dan fungsinya, ladang kami memang sangat strategis. Dari jalan, sekitar lima ratus meter, menghampar persawahan. Dan ladang kami, pintu masuk menuju ladang yang lain. Hampir setiap ladang di sekitar berhubungan dengan ladang kami. Itulah sebabnya dulu ayah memutuskan tinggal di ladang, membawa anak-istrinya—aku dan dua adiku, juga ibu. Setidaknya komunikasi kami dengan orang banyak masih tetap terjaga.

Posisi ladang kami pun tak menempati tempat yang tinggi. Benar-benar pintu masuk bagi mereka yang hendak menuju ladangnya. Dari tempat kami pun, jalan raya tak begitu jauh. Aku dan dua adikku tak pernah mengeluh jika berangkat sekolah, meski pun harus melewati pematang sawah, menghindari lumpur dan batang padi.

Bertahun kami seperti itu. Sampai aku menjelang besar dan dua adik perempuanku telah pula beranjak dewasa, kami kembali pindah ke kampung.

***

            Bukan hanya masalah uang kalau kemudian aku merasa tersingung dengan sikap orang-orang yang membicarakan soal ladang kami tersebut. Ini lebih kepada kenangan yang sengaja aku pertahankan. Kenangan! Tidak semua bisa dihargai dengan uang!

Sembilan tahun kami menempati tempat itu. Dulu ketika aku kanak, sepanjang petak ladang kami dan ladang tetangga yang kini telah ditanami gambir dan nilam, aku menghabiskan waktu di sana. Itu adalah waktu yang panjang untuk sebuah kenangan.

Telah banyak masa yang kami habiskan di sana dan itu tak bisa dihargai dengan apa pun. Apalagi setelah aku dan ibu kehilangan ayah yang tangguh merambah semak belukar. Sejak itu ladang kami terbengkalai. Semak dan perdu tumbuh. Aku pergi dan ibu tak akan sanggup sendirian menggarap ladang dan melewati ingatan.

Semula ladang hanyalah tempat tinggal kami sementara di teratak. Karena jaraknya dengan rumah kami di koto agak jauh, ayah memilih menetap di sana. Apalagi setelah kami—anak-anaknya lahir—ibu memilih menyusul. Di kampung, kami hanya memiliki rumah yang kecil. Rumah sedehana yang terdiri dari satu kamar saja. Sementara dua orang adikku adalah perempuan. Otomatis, ayah punya tambahan beban—membikin atau merenovasi rumah—untuk kedua anak perempuannya. Kalau aku yang laki-laki, tak terlalu banyak menjadi beban. toh, nanti akan tetap tinggal di rumah istri juga.

            ***

            “Kata Pak Sabir berapa pun ladangmu dijual dia mau beli.” Kalimat itu mengagetkan kupingku. Begitu saja, seseorang yang tak begitu kukenal menyapaku.

Apa maksudnya? Begitu saja, sekembali aku dari ladang; menyaksikan akar membalut pohon, perdu yang mengungkung ladang kami, sapaan semacam ini yang aku dapatkan. Seberapa banyak laki-laki ini memiliki kaki tangan untuk mengatur perihal orang lain? Beginikah cara berbahasa mereka? Makhluk sejenis apa orang yang bernama Sabir ini?

“Dari pada dibiarkan lebih baik dijual saja pada Pak Sabir.” Katanya lagi.

Aku tahu, di sekitar ladangku memang telah rapi dan ditanami sesuatu. Aku tak terlalu tahu di sana mereka menaman apa saja. Kenapa oang-orang terlalu berambisi memiliki milik orang lain.

“Sudah lama dia mau membeli ladangmu. Kenapa sih tidak mau menjual. Padahal sudah ditawar dengan harga tingi. Memangnya kalian mau menunggu harga berapa? Masih untung ada yang berniat membeli ladangmu itu.”

Kali ini aku tak tahan untuk tidak bicara. Bukan hanya cara dia bicara yang membuatku tersinggung, aku juga merasa marah dengan sikap semacam ini. Semua orang yang aku temui seolah-olah telah menjadi perpanjangan tangan laki-laki itu. Beginikah cara uang memperlakukan orang? Seolah-olah semua mau dikuasai.

“Sekarang begini saja. Tolong katakan pada Pak Sabir. Kalau dia mau jual semua ladangnya, saya akan beli berapa pun harganya..” Ucapku gemetar. Lama saua menyimpan kalimat ini agar tidak benar-benar keluar.

Aku tahu, genderang perang sedang ditabuh. Dan saat ini aku tak perlu lagi mencemaskannya.

 

Indrian Koto lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Taratak, kampung kecil di Pesisir Selatan sumatera Barat. Menyukai sastra dan terus belajar mendalaminya. Bukunya yang telah terbit berupa kumpulan puisi Pleidoi Malin Kundang.

Exit mobile version