Ngimpi Perumahan Muhammadiyah
Oleh: Aditya Pratama
Pada 1872 terbitlah “The Housing Question,” yang merupakan buah renungan filsuf Jerman, Friedrich Engels, perihal krisis hunian bagi kaum buruh di urban. Adapun yang dimaksudkan Engels sebagai krisis hunian adalah “kian buruknya kondisi perumahan bagi kelas buruh sebagai akibat dari melonjaknya jumlah penduduk di kawasan urban, meroketnya biaya sewa rumah kontrakan, yang diperparah oleh terlampau padat dan berjejalnya rumah-rumah individu, serta, ada pula buruh yang bahkan tak memiliki tempat tinggal sama sekali”.
Artikel yang dimuat dalam surat kabar Der Volkstaat ini juga menyoroti bahwasannya persoalan krisis hunian sudah ada sejak lama, dan jamaknya menjadi “hak istimewa” kelas-kelas tertindas—dan, dalam derajat tertentu, juga para borjuis kecil. Menurutnya, krisis hunian di kota-kota besar modern ini adalah salah satu kejahatan sekunder (secondary evil) yang dilahirkan oleh mode produksi kapitalis yang bergelora di zamannya.
Tentu saja, jalan yang ditawarkannya cukup revolusioner lagi spektakuler, yakni dengan “menghancurleburkan pengisapan dan penindasan kaum buruh oleh penguasa,” suatu hal yang disebutnya kejahatan pokok (basic evil). Pun demikian, dia menolak menyamakan hubungan antara penyewa kontrakan-tuan tanah dengan buruh-kapitalis yang bernuansa pengisapan.
Sekitar empat puluh tahun selepas Engels menuangkan kegundahannya, pada 1912 di Indonesia lahirlah Muhammadiyah yang pertama kalinya menunjukkan tajinya di lingkungan urban pula. Meski awalnya Persyarikatan ini hanya bertujuan “menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada bumiputra di dalam Residensi Yogyakarta (sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 ayat 1 “Statuten Reglement dan Extract der Besluit dari Perhimpoenan Muhammadijah), mulai dekade kedua abad XX Muhammadiyah mulai bergiat mengurusi hajat masyarakat urban di Yogyakarta, khususnya yang menyangkut perkara agama, pendidikan, dan pelayanan sosial.
Seabad kemudian, pada abad XXI, persyarikatan yang awalnya hanya bermaksud menyebarkan Islam di kawasan perkotaan (urban) Yogyakarta itu sudah memiliki ribuan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sosial di seluruh negeri, serta bahkan ternyata mampu membentangkan sayap ke berbagai negeri.
Akan tetapi, di abad keduanya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat urban-suburban pun berevolusi menjadi semakin pelik seiring dengan semakin trengginasnya laju urbanisasi dan membengkaknya penduduk perkotaan. Rupanya, hantu krisis hunian dulu pernah diungkit Engels kembali menggentayangi.
Pasalnya, kini sekitar 67% penduduk Indonesia hidup di kawasan urban (“Urbanisasi Melejit…,” Kompas, 6/11/2017), sedangkan kegiatan ekonomi yang dulunya lebih kental terasa di kawasan urban kini pertumbuhannya kian mekar hingga ke kawasan suburban. Di samping itu, banyak dari masyarakat urban-suburban yang tak hanya menghendaki kehadiran rumah ibadah, sekolah, dan rumah sakit yang berkualitas di kawasan urban, melainkan juga tempat tinggal yang layak, khususnya dengan harga terjangkau (“Menteri PUPR menyebut…,” Kontan, 12/7/2019).
Hunian Terjangkau adalah Hak Semua Orang
Kenyataan tersebut tentu tidak mengherankan, sebab hunian memang merupakan salah satu kebutuhan primer manusia—sebagaimana diamini oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan dokumen “Agenda 21” yang merupakan hasil dari United Nations Conference on Environment & Development di Rio de Janerio, Brazil pada 1992.
Nahasnya, bukannya semakin mudah dijangkau oleh khalayak banyak, harga hunian di kawasan urban-suburban di Indonesia, cenderung naik dari tahun ke tahun (Wendy Haryanto, CNBCIndonesia, 20/9/2019), hal demikian jelas mempersulit masyarakat urban-suburban untuk memperoleh hunian yang layak dengan harga terjangkau, khususnya mereka yang datang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Padahal, kurangnya akses pada hunian adalah salah satu persoalan yang paling serius dan memiliki konsekuensi luas, sekaligus menjadi penyebab kemiskinan di kota-kota Asia (Belinda Yuen, 2007).
Oleh karena itu, tak jarang orang-orang dari kalangan ekonomi menengah ke bawah justru “terbuang” ke dalam berbagai titik kumuh di kawasan urban-suburban. Umumnya dihuni oleh para pekerja pendatang dari kawasan perdesaan, titik kumuh urban-suburban tak jarang diselimuti oleh berbagai macam problema sosial, mulai dari pengangguran, kemiskinan, penyalahgunaan obat terlarang, kebangkrutan akhlak, maupun ketidakmampuan mengakses air bersih dan makanan yang layak.
Keadaan menyedihkan semacam itu bukannya tak mungkin melahirkan problema lain yang lebih besar, seperti rasa frustasi, perilaku seks bebas yang mengakibatkan kehamilan yang tak diinginkan yang biasanya diikuti oleh aborsi, penelantaran anak, eksploitasi anak, atau keberadaan anak jalanan, tindak kekerasan dan kriminal, hingga lenyapnya akidah Islamiyah dalam sanubari manusia (Hilman Latief, 2016). Mereka itulah sebetulnya korban utama dari pesatnya laju urbanisasi, dan merupakan salah satu segmen masyarakat yang paling tidak diuntungkan oleh pembangunan ekonomi.
Sebetulnya, signifikansi hunian bagi manusia sudah tertuang dalam UU No. 1 Th. 2011. Dalam UU No. 1 Th. 2011 disebutkan “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.”
Kemudian hal tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 50 ayat 1 UU itu, yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah.” Di samping itu, dalam Pasal 7 dokumen “Agenda 21” diakui pula bahwa tujuan keberadaan hunian di antaranya adalah mendongkrak kualitas sosial, ekonomi, lingkungan, kehidupan, dan kerja setiap umat manusia, khususnya orang-orang miskin yang hidup di kawasan perkotaan dan perdesaan.
Dari penjelasan di atas, terang benderang bahwasannya keberadaan hunian yang layak amat sangat terkait dengan perkembangan sumber daya manusia, sampai-sampai dalam penyediaan hunian yang layak—artinya juga berkualitas—menjadi tujuan ke-11 dalam Sustainable Development Goals-nya Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga sudah sepatutnya ditangani secara serius.
Akan tetapi, sayangnya, penyediaan hunian layak dan terjangkau—yang khusus diperuntukkan oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah—tidak selalu dapat ditangani dengan baik oleh pemerintah, meski itu sebetulnya telah tertuang dalam Pasal 19 ayat 2 UU No. 1 Th. 2011. Alhasil, organisasi masyarakat pun perlu turut bahu-membahu menyelesaikannya.
Hunian Sementara sebagai Ladang Amal dan Dakwah Muhammadiyah
Memang, cita-cita dan komitmen Muhammadiyah sebagian sudah terwujud dengan sejibun rumah miskin dan panti asuhan yatim, yang dapat memberi naungan sementara. Dalam Rapat Anggota Istimewa yang dihelat pada 17 Juni 1920, Kiai Dahlan pernah menanyai Kiai Sudja’—yang kala itu memikul amanah sebagai Ketua Bahagian Penolong Kesengsaraan Umum—soal pertolongan apa yang hendak diberikannya kepada umum. Kiai Sudja’ menjawab hendak mendirikan rumah sakit, rumah miskin (armhuis), dan rumah yatim (weeshuis).
Meski programnya yang disampaikan dalam kesempatan itu disambut dengan gelak tawa para peserta (kecuali Kiai Dahlan) yang menganggap programnya terlalu bermuluk-muluk, pada 1921 berdirilah rumah miskin Muhammadiyah. Pada 1922, rumah miskin ini sudah mempunyai 16 kamar dan menelan biaya sebesar 15.000 gulden (Soewara Moehammadijah, 1/2/1922). Keberhasilan itu disusul dengan berdirinya 1923 klinik-poliklinik Muhammadiyah. Klinik-poliklinik ini kelak disulap lagi pada 1938 menjadi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut sejarawan Ghifari Yuristiadhi dahulu rumah miskin Muhammadiyah bertempat di Serangan, Kota Yogyakarta, yang kini disulap menjadi TK ABA Nuraini. Selain itu, menurut catatan Kiai Sudja’, Muhammadiyah pernah pula memiliki rumah miskin lain di daerah Tambakbayan (2018:227).
Rasa-rasanya kini sudah saatnya Muhammadiyah merekontekstualisasikan impian Kiai Sudja’ seabad yang lalu dan menginjak filantropi Islam baru dengan mendirikan sebuah hunian sementara bagi masyarakat urban-suburban ekonomi menengah ke bawah sebagai intinya.
Hunian ini bertempat di dalam lingkungan (compound) perumahan yang terintegrasi, terletak di kawasan urban-suburban. Diharapkan di dalam lingkungan perumahan ini berdiri juga pelbagai fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan biologis, spiritual, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya penghuninya, sebab di dalamnya terdapat rumah ibadah, sekolah, perpustakaan, sanggar, toko sembako-minimarket.
Perumahan ini adalah lembaga amal-usaha, dibiayai oleh dan dimiliki pula oleh Muhammadiyah, untuk kemudian dikelola oleh Persyarikatan, baik melalui pimpinan cabang/daerah/wilayah maupun majelis. Adapun sasaran penghuninya—mengingat statusnya sebagai lembaga amal-usaha—hendaknya adalah berbagai elemen masyarakat urban-suburban, termasuk di antaranya adalah (1) keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah yang tidak memiliki hunian tetap; (2) keluarga baru dari kalangan ekonomi menengah ke bawah; (3) “lulusan” panti asuhan Muhammadiyah/’Aisyiyah yang baru mulai berkarier atau membina rumah tangga namun belum memiliki modal untuk membeli hunian baru; (4) para pelajar kurang mampu penerima beasiswa Persyarikatan yang berasal dari daerah 3T; (5) para pensiunan pegawai Persyarikatan yang masih belum mampu membeli hunian layak; (6) kaum difabel yang berkeluarga tetapi kesulitan mendapatkan hunian; (7) elemen-elemen lain yang membutuhkan hunian yang layak, termasuk non-Muslim.
Hunian yang dimaksudkan di sini sifatnya adalah hunian sementara, bukan tetap, dengan LazisMu dan para donatur Muhammadiyah lainnya yang siap menyubsidi biaya sewa hunian. Tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak untuk mengeluarkan biaya kontrak hunian (yang belakangan juga semakin tinggi), niscaya para penghuni dapat banyak terbantu dalam penyiapan dana (menabung) untuk membeli hunian yang layak bagi keluarga mereka kelak, tanpa harus berlama-lama “ditolong” bank tetapi harus membayarkan spiral cicilan yang rasanya tak berkesudahan.
Jangan salah, hunian ini bukan hanya perkara kebangsaan melainkan juga menyangkut urusan akhirat. Itu lantaran masih banyak saudara sebangsa kita yang sudah berkeluarga tetapi belum memiliki hunian tetap, kabarnya jumlahnya mencapai 14 juta keluarga, yang mewakili 20% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia (“14 Juta Orang…,” Kompas, 28/12/20).
Penyediaan hunian sementara ini juga menyangkut urusan akhirat, mengingat ada hadis berbunyi “Barang siapa menikah, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan separuh iman….” Maka tentulah pihak yang memudahkan suatu keluarga dalam berumah tangga turut andil dalam menyempurnakan separuh iman keluarga itu, termasuk pula anak-anaknya.
Melalui keberadaan rumah ibadah dan fasilitas pendidikan yang menyertai hunian Muhammadiyah (semuanya masih dalam satu komplek perumahan), Persyarikatan dapat dengan lebih mudah mendakwahkan Islam dan ideologinya, khususnya yang berkaitan dengan fikih keluarga sakinah. Aktivitas keagamaan-sosial-ekonomi yang bernafas kemuhammadiyahan diadakan pula setiap harinya untuk para penghuni, sehingga selain mendapatkan bantuan, para penghuni pun juga dikader secara langsung oleh mubaligh-mubalighat Persyarikatan di perumahan dakwah itu.
Prinsip di atas, sebetulnya amatlah sesuai dengan konsep gerakan jamaah dan dakwah jamaah yang mensyaratkan adanya aktivitas dinamis yang mengajak orang untuk menjalankan hidup berjamaah.
Dalam skema ini, mubaligh/mubalighat Muhammadiyah langsung diterjunkan di perumahan dakwah Muhammadiyah dan difungsikan sebagai pamong yang bertujuan “menyulap” penghuni perumahan dakwah Muhammadiyah menjadi jamaah Muhammadiyah yang hidup bersama dalam keimanan, mau saling menasihati satu dengan yang lain, saling menolong dalam kebaikan, saling peduli, dan saling menanggung. Sementara tujuan dari kehidupan berjamaah ini tak lain ialah memenuhi perintah Allah SWT agar terwujud kehidupan yang sejahtera lahir dan batin di dunia dan akhirat (LPCR PPM, 2017:20–29).
Jikalau dapat diasumsikan bahwa sebuah keluarga boleh tinggal di perumahan dakwah Muhammadiyah ini selama sepuluh tahun—dan di waktu yang bersamaan mereka menabung hingga akhirnya kemudian membeli hunian yang layak—maka selama sepuluh tahun pula Muhammadiyah dapat turut menyejahterakan perikehidupan khalayak banyak dan menyakinahkan banyak keluarga penghuni perumahan dakwah itu (lebih lengkapnya, baca: Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah oleh MTT PPM).
Dalam sepuluh tahun itu Muhammadiyah juga mengakrabkan berbagai orang dari berbagai latar belakang dengan ideologi dan “gaya hidup” Muhammadiyah, artinya, dalam sepuluh tahun itu Persyarikatan berhasil sekaligus mencetak banyak kader (yang tidak lain adalah para penghuni perumahan dakwah itu sendiri) yang tentu merupakan investasi untuk mengarungi masa depan.
Selain itu, kehadiran hunian sementara ini juga terasa relevan mengingat bahwa dalam kitab Manhaj Gerakan Muhammadiyah disebutkan perlunya membentuk dan membimbing keluarga Muhammadiyah dalam mengarungi pelbagai persoalan, kesulitan, penghidupan dan pencarian nafkah, sehingga keluarga Muhammadiyah dapat melaju ke arah kesempurnaan (2018:365, 381, 382).
Masalah hunian bagi ekonomi menengah ke bawah tentu harus dipecahkan oleh Muhammadiyah, khususnya ketika ia bertekad untuk menunjukkan komitmen kuat untuk menjadi bagian dari penyelesai berbagai persoalan dan masalah yang dihadapi umat dengan mengambil prakarsa, partisipasi, dan langkah-langkah proaktif dan strategis dalam melakukan pencerahan bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan—sebagaimana tertulis dalam “Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua”.
Menuai Hikmah dari Negeri Seberang
Bolehlah di sini disinggung pengalaman Singapura. Sebagai negara dengan luas yang sangat terbatas, Singapura boleh dikatakan sangat berhasil dalam menyediakan hunian yang layak—meski sifat huniannya bukan amal, melainkan komersil—bagi penduduknya yang kini jumlahnya mencapai sekitar 5,6 juta jiwa itu.
Akan tetapi, keadaannya berbeda sangat pada 1947, lantaran Komisi Perumahan Britania Raya pernah menyebutkan bahwa di Singapura terdapat “salah satu kawasan paling kumuh di dunia—aib bagi komunitas beradab” (Belinda Yuen, 2007). Hatta, pada 1959 Partai Tindakan Rakyat (PTR), partai berkuasa di Singapura, merasa perlu mencurahkan lebih banyak perhatian kepada hunian berbiaya rendah yang dikhususkan untuk kalangan ekonomi lemah.
Selanjutnya, mulai 1960 dirumuskanlah proyek pembangunan-pengembangan perumahan umum (public housing—dalam kasus Singapura ini berupa rumah susun) dan perbaikan kualitas lingkungan tempat tinggal para penduduknya. Usaha itu bukan hanya digalang oleh pemerintah saja, melainkan juga oleh pihak swasta.
Usaha itu sungguh berhasil; pada 2007 dilaporkan bahwa 85% penduduk Singapura tinggal di rumah susun yang dibangun mulai 1960-an itu (Belinda Yuen, 2007). Bahkan, banyak orang paling miskin di Singapura pun mendapatkan akses tempat tinggal.
Satu hal yang membahagiakan, proyek pembangunan-pengembangan perumahan umum ini sangatlah berhasil, bahkan pada 2019 hanya ada sekitar 1.000 orang tuna wisma di Singapura (Jalelah Abu Baker, CNA, 8/11/2019) atau hanya sekitar 0,02% dari jumlah keseluruhan penduduknya.
Berbeda dari kebijakan negara-negara lainnya, barangkali termasuk Indonesia, yang cenderung menjadikan hunian sebagai isu sekunder dan hanya akan ditanggapi ketika negara sudah mencapai kejayaan ekonomi, Singapura menganggap hunian dan perkembangan ekonomi sebagai dua isu yang setara dan simbiosis.
Dan jika “Agenda 21” menyebutkan bahwa keberadaan hunian yang baik turut mendongkrak kualitas sosial, ekonomi, lingkungan, kehidupan, dan kerja setiap umat manusia, maka itu dibuktikan oleh Human Development Index Singapura, yang sangat tinggi itu (pada 2019 tertinggi ke-11 di dunia).
Sekali lagi, perlu diingat bahwa dalam banyak kasus penyediaan rumah susun di Singapura sifatnya komersial, meski dengan harga yang terjangkau, bukanlah kegiatan amal berlandaskan yang asas keagamaan, melainkan berlandaskan pada asas sekuler-kemanusiaan. Sekadar memperbaiki kualitas lingkungan tempat tinggal penduduk Singapura saja.
Terkait pemandangan demikian, berikut kata Kiai Sudja’ seabad lepas: “Banyak orang-orang di luar Islam (bukan orang Islam) yang sudah berbuat menyelenggarakan rumah-rumah panti asuhan untuk memelihara mereka si fakir miskin dan kanak-kanak yatim yang terlantar dengan cara sebaik-baiknya hanya karena terdorong dari rasa kemanusiaan saja…. Kalau mereka dapat berbuat karena berdasarkan kemanusiaan saja, maka saya heran sekali kalau umat Islam tidak dapat berbuat. Padahal agama Islam adalah agama untuk manusia bukan untuk khalayak yang lain. Apakah kita bukan manusia? Kalau mereka dapat berbuat kena apakah kita tidak dapat berbuat? Hum rijalu wa nahnu rijal (mereka manusia kitapun manusia)” (2018:153).
Meski dahulu impian dan tuturan Kiai Sudja’ malah disambut gelak tawa, senyatanya kelak Muhammadiyah berhasil menyelenggarakan aksi sosialnya di seantero negeri, dalam bentuk rumah sakit, klinik, dan panti asuhan. Artinya, bukannya tidak mungkin Muhammadiyah berhasil menyelenggarakan amal-usaha berupa hunian sementara untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah di kawasan urban-suburban.
Semogalah impian Kiai Sudja’ soal rumah/hunian bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah di kawasan urban-suburban dapat terwujud dalam konteks yang lebih mutakhir dan volume yang lebih besar, apalagi mengingat perbaikan kualitas lingkungan tempat tinggal itu bisa bermuara pada perbaikan kesejahteraan secara umum, mendongkrak semangat beragama mereka, dan mendekatkan mereka kepada Penciptanya. Wallahu a’lam.