Menggali Ideologi, Menemukan Jati Diri

Menggali Ideologi, Menemukan Jati Diri

Judul               : Ideologi Kaum Reformis, Melacak Wawasan Keagamaan Generasi Awal Muhammadiyah

Penulis             : Achmad Jainuri

Penerbit           : Suara Muhammadiyah

Cetakan           : 1, Desember 2021

Tebal, ukuran  : xii + 228 hlm, 15 x 23 cm

ISBN               : 978-602-6268-93-8

 

Pada abad ke-19 dan ke-20, jaringan keagamaan Nusantara dan Timur Tengah terjalin erat. Muhammadiyah lahir dari jaringan keagamaan kosmopolitan ini, sehingga memberi corak pemikiran yang khas pada ideologi organisasi. Para tokohnya merupakan haji yang pernah menetap dan mendalami pengetahuan agama di Mekkah dan Madinah, kemudian ke Kairo.

Michael Laffan dalam “An Indonesian Community in Cairo: Continuity and Change in a Cosmopolitan Islamic Milieu” menyebut daya tarik Kairo saat itu: (1) satu-satunya kota di Timur Tengah yang telah memiliki mesin percetakan; (2) pusat modernitas Arab dan Dunia Islam, yang menjadi tempat bergulirnya wacana pembaruan pemikiran Islam, dengan tokohnya seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha. Jaringan Haramain yang kemudian ke Kairo memiliki keluasan wawasan tentang diskursus global yang menyebar dari Eropa dan Amerika.

Muhammadiyah memadukan gagasan keagamaan, pandangan dunia, dan sistem nilai etika yang khas. Orientasi dan pola gerakan ini segera identik dengan nilai etika keterbukaan, toleransi, pluralitas, kerja keras, kalkulasi rasional, dan semangat kebebasan berpikir. Agenda reformisme Muhammadiyah diarahkan untuk pemecahan praksis atas masalah sosial-keagamaan. Ide-ide keagamaan yang mengajak maju yang ditawarkan generasi awal Muhammadiyah ini segera memikat anggota kelas pedagang dan kaum terdidik di Nusantara.

Muhammadiyah menyakini bahwa pengetahuan dan kebahagiaan merupakan elemen sosial yang penting. Muslim berhak mencapai kebahagiaan material dan menghindari kemiskinan. Untuk mencapainya, setiap Muslim harus menguasai ilmu-ilmu dunia seperti halnya menguasai ilmu agama (hlm 80-83).

Buku hasil disertasi di McGill University pada 1997 berjudul “The Formation of the Muhammadiyah’s Ideology, 1912-1942” ini menemukan karakter Muhammadiyah yang sangat terbuka dan menekankan ijtihad. Akal diposisikan sebagai elemen penting yang memungkinkan individu memahami perintah Tuhan dan menangkap berbagai fenomena dunia. Dalam Falsafah Ajaran, Kiai Dahlan menekankan penggunaan akal untuk memperbaiki keyakinan, usaha, dan tujuan kehidupan, serta untuk memahami kebenaran. Dalam Kesatuan Hidup Manusia, Kiai Dahlan menyebut akal seperti biji yang terbenam di bumi, yang harus disiram dengan pengetahuan. Dengan keyakinan ini, Muhammadiyah menyelenggarakan pendidikan (hlm 89-94). Tentang keterbukaan, misalnya dikemukakan Kiai Mas Mansur dalam Langkah Muhammadiyah 1938-1940 tentang anjuran “memperluas faham agama”. Bahwa kebenaran dapat diperoleh dari mana saja (hlm 105).

Achmad Jainuri menyebut peran Muhammadiyah dalam merekonstruksi pandangan dasar keagamaan. Pertama, Islam menyediakan landasan teologi bagi misi pembaruan sosial. Islam dipahami sebagai suatu agama yang menempatkan akal budi dan ijtihad di posisi penting. Akal membebaskan belenggu taklid dan memberi justifikasi rasional bagi pelaksanaan ajaran agama. Kedua, prinsip dasar iman dan ibadah ketika diletakkan dalam konteks sosial, punya implikasi lebih luas, melampaui keyakinan dan ritual per se. Tanggung jawab sosial dipahami sebagai bagian dari pengamalan iman dan ibadah. Ketiga, sebagai agama yang diyakini kebenarannya, Islam menjadi sempurna hanya dalam tindakan nyata. Islam dilihat sebagai kebenaran doktrinal dan praksis. Komitmen keislaman diukur dari implementasi ajaran Islam dalam kerja nyata untuk memecahkan masalah sosial serta mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian umat manusia.

Dalam membangun suatu kebudayaan baru yang sesuai dengan tuntutan kemajuan, Muhammadiyah percaya bahwa pembaruan terus berproses melalui pengambilalihan ide-ide modern dan aspek tertentu dari kebudayaan Barat. Namun, usaha ini kadang tidak hanya dihalangi oleh kaum tradisional, “tetapi juga oleh pengikutnya sendiri pada generasi belakangan yang tidak sepenuhnya memelihara atau memahami semangat dan pandangan-pandangan para pendahulunya” (hlm 194). (Muhammad Ridha Basri)

Exit mobile version