Doyan Selfie, Hati-Hati Selfitis

Doyan Selfie, Hati-Hati Selfitis

Oleh: Oktaviadina Dwi Geminastiti*

Jika kita membahas suatu topik di era digital pada hari ini, maka media sosial dan selfie lah yang langsung terbesit dalam benak kita. Media sosial dan selfie seakan-akan telah menjadi dua aspek yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang kita ketahui, Instagram telah menjadi salah satu media sosial yang populer dan begitu digandrungi oleh banyak remaja di Indonesia. Instagram sendiri memungkinkan penggunanya untuk membagikan segala aktifitas dalam bentuk foto maupun video dengan tingkat visualisasi yang dapat diatur sedemikian rupa.

Zaman sekarang, siapa sih yang tidak pernah selfie? Saat ini fenomena selfie telah merebak dan menjadi sesuatu yang biasa untuk dilakukan oleh remaja sebagai pengguna aktif media sosial Instagram. Melalui Instagram, remaja dapat dengan bebas mengekspresikan diri mereka di depan ruang maya. Namun apabila selfie ini dilakukan secara berlebihan sampai tidak terkendali, maka itu bisa jadi gejala dari gangguan mental yang disebut dengan selfitis.

Kenali Ancaman Selfitis

Selfie merupakan foto hasil memotret diri sendiri, baik itu dari bagian wajah hingga seluruh tubuh dengan menggunakan smartphone, kamera, ataupun webcam. Tetapi lebih dari itu, selfie juga meliputi kegiatan editing, seperti penyesuaian warna, kontras, background, maupun efek agar foto terlihat lebih menarik saat diunggah dan mendapatkan banyak “like” dari pengguna Instagram lainnya. Mayoritas remaja cenderung tidak tahan dalam mengunggah citra diri mereka di media sosial Instagram. Kegiatan mengunggah foto diri sendiri secara berlebihan ini dapat dikategorikan sebagai selfitis.

Istilah selfitis dipakai untuk menggambarkan kondisi seseorang yang terobsesi untuk melakukan selfie secara terus menerus, yang dimana hal tersebut tidak boleh dianggap remeh. Menurut psikolog, selfitis adalah sebuah kondisi mental yang membuat individu terdorong untuk terus-terusan selfie dan mengunggahnya di media sosial. Remaja yang mengalami selfitis umumnya disebabkan karena merasa kurang percaya diri dan selalu berusaha mencari cara agar bisa diterima oleh lingkungan sekitar. Oleh karena itu, mereka melakukan selfie guna mendongkrak rasa percaya diri, eksistensi, serta memperoleh pengakuan dari orang lain.

Gangguan kepribadian pada penderita selfitis biasanya ditandai dengan keyakinan bahwa dirinya jauh lebih baik daripada orang lain, haus akan pujian, dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Tidak hanya itu, seseorang dengan gangguan selfitis juga lebih rentan mengalami stres dan depresi dengan hal-hal yang terbilang sepele, seperti saat melihat jumlah “like” yang sedikit ataupun “komentar” yang tidak menyenangkan dari unggahan foto selfienya di media sosial Instagram. Lebih parahnya lagi, gangguan mental tersebut bisa menyebabkan seseorang memiliki ide untuk mengambil jalan bunuh diri karena ketidakmampuannya mengontrol emosi atau tekanan batin yang datang dari dalam dirinya.

Selfie dari Kacamata Dramaturgi

Penggunaan media sosial Instagram oleh pelaku selfie dapat dikatakan sebagai sebuah kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi diri dihadapan orang lain. Keinginan untuk mendapatkan respon ataupun pujian dari khalayak umum menjadi salah satu alasan utama bagi remaja dalam mengunggah foto selfie di media sosial Instagram. Sejalan dengan hal ini, Erving Goffman dalam Teori Dramaturgi mengungkapkan bahwasannya kehidupan sosial dibagi menjadi wilayah depan (front region) dan wilayah belakang (back region).

Wilayah depan ibarat panggung sandiwara yang ditonton oleh khalayak penonton, sedangkan wilayah belakang ibarat kamar rias bagi seorang aktor untuk bersantai dan berlatih memainkan perannya di panggung depan. Goffman memperkenalkan Dramaturgi dalam kajian psikologis dan sosiologi melalui bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in Everyday Life”. Buku itu menggali interaksi yang kita lakukan dalam pertunjukkan kehidupan sehari-hari, yang menampilkan diri kita dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakternya dihadapan orang lain dalam sebuah seni pertujukkan sandiwara.

Pada dasarnya setiap orang akan berusaha menampilkan citra diri yang baik untuk ditampilkan kepada orang-orang di panggung depan, yang terkadang hal ini sangat berbanding terbalik dengan kehidupannya di panggung belakang. Media sosial Instagram secara tidak langsung telah memberikan kita ruang virtual untuk memainkan peran dengan sebaik-baiknya di hadapan publik demi mendapatkan citra yang positif. Jumlah “like” pada postingan Instagram seakan-akan menjadi sebuah alat ukur baru dalam menilai seseorang, hingga melupakan jati diri kita sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan.

Perilaku remaja saat berselancar di media sosial ini pun berkaitan erat dengan Teori Dramaturgi yang diungkapkan oleh Sosiolog Erving Goffman. Jika diperhatikan dengan seksama, media sosial Instagram dapat dikatakan sebagai panggung sandiwara bagian depan (front stage) untuk penggunanya berperan sesuai ekspektasi orang lain. Sedangkan diluar media sosial Instragram (back stage), penggunanya dapat berperan dengan bebas tanpa harus mewujudkan ekspektasi orang lain.

Solusi Bagi Penderita Selfitis

Ya, penderita selfitis perlu mendapatkan penanganan khusus dari orang lain, seperti psikiater. Mulai saat ini, remaja harus lebih peka dengan kesehatan mentalnya sendiri. Bukan tanpa alasan, fenomena selfie di kalangan remaja nyatanya dapat menular kepada siapa saja dan bisa berubah menjadi selfitis apabila seseorang itu tidak mampu mengontrol diri dengan baik. Membangun eksistensi dan citra diri di Instagram tentu boleh, asalkan tetap tahu batasannya. Selalu ingat lah bahwa selfitis bisa menyerang siapa pun, terutama generasi muda yang masih cenderung labil. Ada baiknya kita yang memanfaatkan kehadiran media sosial Instagram untuk kegiatan positif, bukan hanya melulu soal membangun citra positif sampai mejadi seseorang yang bukan kita. Mari kendalikan segala aktivitas yang kita lakukan di ruang maya dengan bijak mulai detik ini.

 

*Mahasiswi Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, Reporter Koran Kampus Bestari UMM

Exit mobile version