Dosen Sosiologi Bahas Dampak Film Layangan Putus

Dosen Sosiologi Bahas Dampak Film Layangan Putus

MALANG, Suara Muhammadiyah – Layangan Putus merupakan salah satu web seri Indonesia yang sedang ramai diperbincangkan belakangan ini. Mengangkat kisah mengenai perselingkuhan, serial film ini sukses menjadi viral di berbagai media sosial. Dosen sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos, . M.Si, mengatakan bahwa viralnya series layangan putus ini membawa beberapa dampak dalam kehidupan masyarakat.

Luluk, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa viralnya serial ini tak hanya mempengaruhi kalangan dewasa tetapi juga anak-anak. Terpaparnya anak-anak terhadap konten layangan putus ini dapat berdampak negatif bagi pola pikir mereka. Anak-anak jadi mengenal perselingkuhan, perceraian, dan ketidakharmonisan pada keluarga di usia yang masih sangat muda.

“Sebenarnya series ini sudah dibatasi dari anak kecil melalui sarana konten berbayar dan himbauan tentang penonton berusia 17 tahun ke atas. Namun viralnya cuplikan film Layangan Putus di beberapa media sosial seperti Tiktok dan Instagram membuka akses bagi anak-anak untuk menonton. Melihat hal tersebut, kita sebagai orang tua harus memberikan pemahaman lebih kepada anak terkait perselingkuhan maupun perceraian. Selain itu, orang tua juga bisa turut melakukan pembatasan konten dengan menggunakan fitur Tiktok kids,” ungkap Kepala Program Studi (Prodi) Sosiologi tersebut.

Dampak lain yang menerpa setelah viralnya layangan putus adalah kekhawatiran bahwa pasangan akan melakukan perselingkuhan seperti yang diceritakan dalam film. Luluk menambahkan bahwa realitas mengenai perselingkuhan dan perceraian adalah fenomena lama yang sudah sering terjadi. Hal ini juga berbanding lurus dengan budaya patriarki yang ada di Indonesia. Di mana ketika telah memiliki banyak uang dan kekuasaan, maka laki-laki cenderung lebih merasa berkuasa dan leluasa untuk mengelola, mengatur serta memainkan sistem. Hal tersebut juga termasuk sistem keluarga, sehingga salah satu hal yang mungkin dilakukan adalah dengan bermain wanita.

“Untuk meredam kekhawatiran tersebut, masing-masing pasangan harus menyadari hak dan kewajiban di rumah tangga. Saya percaya jika masing-masing pasangan telah melakukan hak dan kewajibannya secara benar maka kekhawatiran dan potensi untuk berselingkuh akan menghilang. Selain itu menumbuhkan kepercayaan antar pasangan juga dapat melawan kekhawatiran,” kata dosen kelahiran Jombang itu.

Namun selain dampak negatif yang datang, film ini juga memberikan pembelajaran yang bagus bagi pasangan suami istri. Salah satunya adalah mengenali tanda-tanda perselingkuhan dan cara menghadapinya. Selama ini, beberapa wanita tidak ingin melakukan perceraian ketika mengalami kasus perselingkuhan atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal itu tidak lepas akan penyematan status janda yang dianggap buruk oleh masyarakat sekitar.

“Saya paham bahwa alasan bercerai atau tidak itu sangat personal, entah karena anak ataupun karena percaya bahwa pasangan akan berubah. Namun ketika alasannya adalah karena janda merupakan sesuatu buruk, film layangan putus telah mematahkan pendapat tersebut,” pungkasnya. (diko)

Exit mobile version