Mbah Kaseri Memusuhi Muhammadiyah, Cerpen Diko Ahmad

Mbah Kaseri Memusuhi Muhammadiyah, Cerpen Diko Ahmad

“Mbah Putri, kenapa di hari kematian dan pemakaman Mbah Kung tidak banyak orang yang datang melayat,” tanyaku pada kesempatan libur cuti kerja tahun lalu. Kecuali hanya keempat anaknya, dua orang guru PNS, salah satunya adalah ayahku, satu orang TNI AU berpangkat Capten, dan satu lagi si bungsu, seorang pekerja serabutan, yang saat ini menemani Mbah Putri yang telah ditinggal oleh suaminya sepuluh tahun silam.

Sore itu, Mbah Putri melontarkan sebuah kalimat yang tidak dapat aku pahami sampai aku menyelesaikan studi strata satuku di salah satu universitas swasta di Kota Malang. Antara penyataan dan jawaban, “Mbah Kungmu itu orang yang baik le,” sembari memegang remot TV mencari channel acara kesukaannya, dangdut atau senetron.

Dengan secangkir kopi panas yang berada di atas kursi kayu samping kiri kasur, Mbah Putri mencoba meluruskan kedua kakinya di atas kasur yang terletak tepat di depan TV jadulnya. Tempat ku biasa tidur jika menginap di rumah Mbah Putri.

Seperti kebiasaannya sejak kepergian Mbah Kung, TV dibiarkan menyala sepanjang hari, agar rumah tak terlihat sepi, walau di rumah masih ada anak dan seorang cucu yang menemaninya, Gastan. Ia adalah anak kelas enam Sekolah Dasar yang tumbuh dengan baik walaupun tanpa kasih sayang ibu yang tak lagi mempedulikannya. Ia juga anak yang memiliki rasa sosial yang tinggi. Kerap kali ia membantu Mbah Putri mengangkat dan menggendong berkarung-karung jagung, cabai, dan apa saja yang bisa dimakan saat musim panen tiba, di pekarangan belakang rumah.

Berbeda dengan diriku, aku adalah cucu tertua dari mbah Kaseri, bapak dari ayahku yang terkenal dengan sikapnya yang keras dan kaku. Namun tidak demikian kepada cucu-cucunya.

Suatu waktu, Mbah Kung, sapaan akrabku kepada Mbah Kaseri. Beliau pernah memarahi ayahku perihal berpindah aliran menjadi orang Muhammadiyah. Menurut orang desa seperti Mbah Kung yang tak pernah belajar agama secara intens dan hanya mendengar dari mulut ke mulut. “Muhammadiyah hanya sekedar aliran yang tak ada hubungannya dengan Islam, alias aliran sesat”. Inilah kebenaran yang diyakini oleh orang-orang kampung kolot seperti Mbah Kung. Atau orang sekarang biasa menyebutnya sebagai orang abangan. Orang-orang seperti ini masih memegang teguh tradisi sesaji sebagai persembahan, guna mengundang datangnya keberkahan dan rezeki yang melimpah. Yang oleh orang Muhammadiyah sendiri sangat ditentang.

Tidak hanya orang Muhammadiyah yang diserang dengan perkataan yang pedas, NU yang terkenal lebih bisa membaur dengan budaya desa atau tradisi setempat juga tidak lepas dari cibiran Mbah Kung. Beliau adalah orang yang keras kepala. Segala sesuatu akan selalu salah di matanya, jika tidak sesuai dengan pengetahuan yang diyakini Mbah Kung. Tidak ada tempat konsolidasi di hatinya, dan tidak berlaku musyawarah mencapai mufakat di dalam kamus besar wawasannya. Begitulah watak manusia, selalu memusuhi apa-apa yang tidak diketahuinya.

Namun anehnya, pernah ada sebuah momen di mana Mbah Kung sangat santai dan tidak mempermasalahkan perbedaan, Muhammadiyah atau NU atau kedua-duanya atau tidak kedua-duanya, semuanya berhak hidup bahagia dan damai. Pada saat Mbah Kung bertemu dengan anaknya di rumahnya. Mbah Kung memberikan pertanyaan kepada ayah dan sekaligus dijawab sendiri pertanyaannya.

“Kenapa kamu pindah menjadi orang Muhammadiyah? Muhammadiyah itu bukan Islam,” ujarnya dengan logat Bahasa Jawa yang kental sembil menghisap rokok lintingnya panjang-panjang. Cukup santai dan tidak menegangkan.

Selaku anak tertua dan waktu itu baru menjadi anggota Muhammadiyah, tentu ayah hanya memberikan alasan sebisanya, “Muhammadiyah adalah organisasi atau gerakan Islam modern yang membawa misi tajdid dan pencerahan”.

Kemudian pembicaraan tidak berlanjut karena ayah bergegas ke belakang rumah mencari daun pisang untuk acara pengajian rutin mingguan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Sutojayan. Setelah selesai, ayah langsung pamit tanpa banyak kata.

Dengan segala kekakuan Mbah Kung, tidak hanya orang Muhammadiyah atau NU yang dimusuhinya. Guru anaknya pun pernah diancam untuk dibunuh dan sekolahnya hendak dibakar, ketika tangan anaknya patah karena terjatuh saat bermain bola di halaman sekolah. “Kalau tidak bisa mengurus anakku dengan baik, aku bakar saja sekolah ini,” teriaknya kepada para guru yang tak satu pun berani mendekat atau melawan. Sebelum pada akhirnya banyak orang yang menenangkan suasana.

Mungkin itulah alasan kenapa banyak orang tidak simpati kepada Mbah Kung, dan justru menjauhinya. Dan di akhir hayatnya, tidak ada satu pun orang yang melayat atau menangisi kepergiannya, kecuali anak-anak dan cucunya.

Aku menyesal, pada saat itu tidak dapat mengantarkan Mbah Kung ke peristirahatan terakhirnya, karena saat itu juga aku berada di pondok. Ibu ku hanya bisa mengabariku lewat telp saat Mbah Kung telah pergi dipanggil Sang Kuasa.

Menurutku, tidak sepenuhnya ini murni kesalahan Mbah Kung. Mungkin pada saat itu tidak ada seorang pun kecuali keluarga dan anak-anaknya yang mau memahami dan mengerti perasaan Mbah Kung. Jadilah Mbah Kung merasa sepi dan sendiri, hingga harus memusuhi semuanya.

Seandainya sewaktu Mbah Kung masih hidup aku sudah cukup dewasa dan sudah bekerja seperti saat ini. Akan aku ajak Mbah Kung menjadi warga Muhammadiyah yang menggembirakan. Setiap pulang dari Jogja akan aku bawakan oleh-oleh kaos yang bertuliskan “Bangga Menjadi Warga Persyarikatan” dengan gambar KH. Ahmad Dahlan di atasnya.

Jogja, 11 Januari 2021

Exit mobile version