“Jalan kelahiran dan kematian sama banyaknya, sejumlah manusia di muka bumi ini,” demikian ujar Mbah Sastro tiba-tiba saat saya berkunjung ke kediamannya. Tidak biasanya beliau membuka perbincangan dengan pernyataan serius semacam itu. Belum juga saya duduk dan melepas tas dari punggung, Mbah Sastro sudah membuat saya bingung.
“Engkau tahu siapa Sentot Ali Basha?” tanya Mbah Sastro.
Saya mengangguk.
“Ya. Ialah panglima Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Kira-kira mengapa Sentot Ali Basha mau membantu Pangeran Diponegoro?”
“Karena… Karena ingin berjuang melawan Belanda,” Jawab saya.
“Mengapa?” Mbah Sastro masih mengejar jawaban.
“Balas dendam. Ayahnya terbunuh saat melawan Bel…”
“Ahh… itu kan kata buku sejarah…” Mbah Sastro memotong jawaban saya.
Sore itu, waktu seperti kembali dalam kemelut tragedi perang yang mengorbankan 200.000 jiwa penduduk Jawa juga 7.000 serdadu pribumi juga 8.000 tentara Belanda. Dan, seperti kata Mbah Sastro, itu menurut yang ditulis dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Tapi, pernahkah sejarah mencatat kebenaran? Pernahkah sejarah menelisik yang abu-abu? Kali ini lelaki tua itu mengajak saya bertualang ke tengah medan perang memaknai kelahiran, kehidupan, dan kematian.
“Engkau pernah dengar atau membaca nama Sambangjati?” tanya Mbah Sastro.
Saya menggeleng.
“Konon menurut dongeng, ia adalah saudara seperguruan Sentot Ali Basha. Ia berasal dari Dungus, Madiun. Ia tidak menyetujui Perang Jawa. Ia menyayangkan keterlibatan saudara seperguruan sekaligus sahabat masa kecilnya itu. Karena, Pangeran Diponegoro dan pasukannya pasti kalah. Karena banyak penduduk yang tidak tahu menahu pasti jadi korban sia-sia,” dengan mata menerawang jauh seperti menatap desau angin, Mbah Sastro berkisah.
“Sambangjati…” saya menyebut nama itu pelan.
“Seseorang yang namanya tidak pernah tercatat dalam buku sejarah!” kalimat itu keluar dari mulut Mbah Sastro pendek saja, tapi tegas dan bernada keras.
“Tapi, Mbah, pertanyaan tadi belum terjawab. Mengapa Sentot Ali Basha ikut berperang?”
Sengaja saya mengembalikan pertanyaan itu. Saya tahu dan hapal, setiap pertanyaan yang disampaikan oleh Mbah Sastro bukanlah pertanyaan untuk mencari jawaban yang tepat. Beliau sedang meminta tamunya untuk berpendapat. Hal itu pasti berkaitan dengan pernyataan yang diungkapkan di awal tadi.
Angin mendesau sesekali. Burung di dahan pohon sawo tiada henti berkicau. Tak segan mereka turun ke latar, mematuk-matuk buah sawo matang yang dijatuhkan kelelawar semalam.
Bibir Mbah Sastro yang ungu kehitaman mengatup rapat. Dahinya yang keriput mengernyit. Di dalam pikirannya peristiwa-peristiwa seperti tengah diputar kembali. Beliau tampak sangat serius. Saya menduga, peristiwa yang diceritakan dan dipikirkan itu memiliki hubungan dengan hidup beliau.
“Sambangjati mempertanyakan, kenapa Sentot turut berperang. Apa tidak ada bakti lain yang bisa dilakukan? Hal itu juga yang disesali rekan-rekan seperguruan dan teman-teman masa kecilnya. Sesungguhnya, tanpa bertanya pun Sambangjati sangat mengerti alasannya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah seperti itu kesatria? Tapi, nyatanya langkah saudaranya itu tak bisa dihentikan. Ia benar-benar menyesalkan hal itu.”
“Tapi, Sambangjati toh tidak tahan juga. Ia cari keberadaan saudara seperguruannya itu. Dalam perjalanan pencarian itu, ia kembali mempertanyakan, di dalam Perang Jawa ini siapa sesungguhnya yang dibela? Perang ini seharusnya sudah berakhir, bahkan tidak pernah terjadi. Demikian pikir Sambangjati melihat sisa-sisa perang. Rumah-rumah penduduk rusak. Anak-anak kecil dan para perempuan menangis dalam hidup yang serba sulit. Mereka kelaparan, juga kehilangan ayah dan suaminya. Engkau bisa membayangkan, laki-laki di Jawa habis oleh karena perang itu.”
“Krisis laki-laki, Mbah?”
“Iya. Jawa mengalami krisis laki-laki dalam beberapa waktu. Karena yang tersisa dari perang itu hanyalah anak-anak dan para perempuan. Jika ada laki-laki yang masih hidup, mereka pasti cacat akibat perang.”
“Akhirnya ke mana perginya Sambangjati?”
“Ia mencari Sentot Ali Basha. Tapi tidak ketemu. Sentot sudah di Sumatra Barat membantu Imam Bonjol dalam Perang Padri ketika Sambangjati mencarinya. Ujung-ujungnya, ia pun meninggal dalam pengasingan di Bengkulu. Pangeran Diponegoro yang dibelanya dalam Perang Jawa akhirnya juga bertekuk lutut, diasingkan, dan meninggal. Tidak ada kemenangan dalam perang itu. Sambangjati menyaksikan semua itu sebagai gambaran kejahatan dan malapetaka. ”
“Akhirnya ke mana perginya Sambangjati?”
Saya benar-benar penasaran. Saya sengaja mengulangi sekali lagi pertanyaan itu.
“Legenda-legenda yang tidak tercatat dalam sejarah besar, jika itu dikumpulkan barangkali banyaknya akan melebihi sejarah besar itu sendiri. Atau kisah-kisah itu akan melengkapi. Meskipun biasanya akan bertolak belakang. Bahwa ada kejadian yang ditutup, ditinggalkan, dilupakan, padahal itu berpengaruh.”
Selalu seperti itu. Mbah Sastro tidak pernah memberi jawaban yang jelas.
“Sebenarya Sambangjati itu ada atau tidak, Mbah? Jangan-jangan itu hanya karangan Mbah Sastro!?”
“Anggap saja demikian.”
Beliau lantas terdiam. Dan saya pun juga terdiam. Berpikir. Mengapa senantiasa yang dicatat sejarah yang mesti dijadikan pedoman utama? Padahal sejarah selalu digambarkan hitam putih. Ada yang dijadikan hitam dan ada yang dijadikan putih. Demikian pula kecenderungan yang terjadi di seluruh dunia. Sejarah adalah tokoh, yang bukan tokoh apakah bukan sejarah? Apakah sejarah dunia tak lain tak bukan hanyalah biografi orang-orang besar saja?
“Yang dijadikan tokoh dan yang tidak pernah disebut-sebut sebagai tokoh itu pun pada akhirnya akan mati. Aku dan engkau pun akan mati. Cerita tadi adalah riwayat hidup orang-orang yang kini juga sudah mati.”
Mbah Sastro seperti menjawab apa yang saya pikirkan. Mbah Sastro, semoga beliau dikaruniai kesehatan dan usia yang panjang. Karena hingga saya memutuskan untuk pamit, saya masih bertanya-tanya, siapa Sambangjati? Esok hari saya mesti berkunjung lagi.
Yogyakarta, 7 Januari 2021
LATIEF S. NUGRAHA, lahir di Kulon Progo, 6 September 1989. Alumnus Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Ahmad Dahlan dan Program Pascasarjana Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada. Buku puisinya Menoreh Rumah Terpendam (Interlude, 2016) dan Pada Suatu Hari yang Mungkin Tak Sebenarnya Terjadi (Interlude, 2020). Bukunya yang lain Sepotong Dunia Emha (Shira Media, 2020). Carik di Studio Pertunjukan Sastra.