JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Salah satu kader terbaik Muhammadiyah yang juga tokoh pendidikan nasional Prof Yahya A Muhaimin PhD meninggal dunia pada 9 Februari 2022 di Rumah Sakit Geriatri, Purwokerto, Jawa Tengah. Kepulangan pria kelahiran 17 Mei 1943 di Bumiayu ini menyisakan duka mendalam bagi keluarga besar Muhammadiyah dan bangsa Indonesia.
Semasa hidupnya, guru besar Fisipol Universitas Gadjah Mada ini pernah menjadi Ketua Majelis Dikti PP Muhammadiyah periode 1990-1995, Anggota PP Muhammadiyah 2000- 2005, dan Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah 2005-2010. Di era Presiden Gus Dur, ia menjadi Menteri Pendidikan Nasional 1999-2001 yang menyiapkan draft naskah UU Sisdiknas.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengenang almarhum sebagai peribadi yang penuh dedikasi. “Pak Yahya adalah pribadi yang bersahaja dan melaksanakan amanah dengan penuh tanggung jawab. Demi melaksanakan amanah itu, selama lebih dari lima tahun, Pak Yahya harus hidup di tiga kota (Yogyakarta, Jakarta, Bumiayu),” tutur Mu’ti dalam takziyah virtual yang diadakan Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah (11/2/2022)..
Di Yogyakarta, beliau mengajar sebagai dosen di UGM, di Jakarta sebagai Ketua Majelis Dikdasmen dan mengajar di Universitas al-Azhar, dan Bumiayu beliau menjadi rektor di Universitas Peradaban. “Sungguh berat, tapi Pak Yahya menjalani dengan ikhlas, gembira, dan tidak pernah mengeluh,” ujar Prof Abdul Mu’ti.
Saat Prof Yahya menjadi ketua Majelis Dikdasmen, Mu’ti diamanahi menjadi sekretaris. “Sebagai sekretaris, saya kadang-kadang ‘melangkahi’ wewenang Pak Yahya sebagai ketua. Tapi beliau tidak pernah merasa tersinggung, apalagi marah. Pak Yahya hanya minta diberitahu hal-hal yang saya lakukan di luar keputusan Majelis. Dan, sebagai orang tua dan guru, Pak Yahya selalu tut wuri handayani. Sebuah keteladanan yang tidak pernah saya lupakan,” katanya.
Lulusan doktor politik Massachusetts Institute of Technology Amerika Serikat ini dikenang baik oleh para sahabatnya, misalnya oleh Prof Suyanto, mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Di mata Suyanto, beliau sangat menghargai sahabat. Bahkan pernah, “Mobil Menteri digunakan untuk menjemput saya yang orang desa,” kenangnya. Beliau mendesakralisasi jababatan. “Beliau pribadi yang sangat sabar, santun, istiqamah,” ujarnya.
Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Sungkowo Mujiono memiliki kisah menarik tentang almarhum. Ketika di Dikdasmen Kemendikbud, beliau tahu stafnya yang kompeten di bidang apa, beliau tahu kemampuan stafnya. “Beliau sangat rendah hati. Saya hanya staf, tapi diperlakukan sangat luar biasa. Saya disuguhi makan dan dilayani langsung oleh Pak Yahya. Pemimpin yang sangat melayani.”
Di Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Sungkowo mengenang cara almarhum memimpin. “Beliau sering meminta saya memimpin rapat meskipun beliau datang, saya hanya wakil ketua, tapi beliau mempersilahkan saya memimpin rapat.” Kepada semua orang, kata Sungkowo, almarhum memanggil dengan sebutan “mas” sehingga terkesan tidak berjarak dan terasa akrab.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti merasa sangat kehilangan. Sebelum meninggal, ia sudah berencana mengunjungi Prof Yahya, namun rencana ini belum terwujud dan beliau telah mendahului. Ghufron juga mengenang beliau ketika menghadapi polemik terkait hasil disertasinya yang dibukukan oleh LP3ES dan menuai protes dari banyak pengusaha, yang sedikit kontroversi, tapi beliau tidak goyah dan tidak arogan.
Direktur Utama Kelompok Mizan, Haidar Bagir menyampaikan duka mendalam. “Semoga Allah yang maha rahman dan maha rahim melimpahkan rahmahnya kepada beliau. Kita hanya berupaya, meskipun tidak bisa menyamai sepenuhnya akhlak dan konstribusi beliau. Semoga kita bisa meniru sebagian akhlak dan konstribusinya bagi bangsa dan dunia pendidikan.”
Wakil Ketua Majelis Dikdasmen yang juga mantan Rektor UAD Kasiyarno mengenang almarhum sangat rendah hati. “Beliau co-promotor saya saat S3 di UGM. Setiap bimbingan selalu di rumahnya. Beliau selalu mendengarkan. Punya kerendahan hati meskipun kepada muridnya. Ketika mau mendirikan pendidikan di bumi ayu, beliau tanya banyak hal ke saya. Padahal beliau mantan Menteri. Beliau sebenarnya tahu, tapi masih mau meminta pendapat saya tentang cara mengurus perguruan tinggi.”
Mantan Duta Besar RI untuk Spanyol Yuli Mumpuni Widarso menyebut Prof Yahya sebagai dosen yang sangat mengayomi. Setelah pulang dari Amerika Serikat, almarhum membawa banyak buku. “Saya senang baca karena beliau. Saya tidak lulus tanpa buku-buku beliau. Beliau selalu meminjamkan buku-bukunya kepada kami.” Yuli Mumpuni juga merasakan sentuhan beliau saat menyelesaikan tugas akhir di jurusan Hubungan Internasional UGM. “Saya skripsi dalam keadaan hamil.” Prof Yahya sangat memaklumi dan mendorongnya untuk segera menyelesaikan, meskipun pembimbing skripsinya adalah Prof Amien Rais. “Prof Yahya dan Prof Amien menunggui bayi saya,” katanya sambil terisak. (Ribas)