Tantangan Moderasi Islam di Tengah Keberagaman

Moderasi Islam

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ada dua persoalan sekaligus tantangan yang mengancam persatuan bangsa, yaitu isu persoalan pembenturan agama dengan negara, dan pengamalan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam perdebatan isu sosial politik di Indonesia, seringkali dibenturkannya isu ideologi negara dengan agama menghadirkan polarisasi yang ekstrim di tengah masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, agama seharusnya tidak menjadi kambing hitam atas pembenturan isu itu sendiri, namun hubungan antara agama dan negara seharusnya dapat bersifat simbiotik. Berkenaan dengan masalah tersebut, agama harus dihadirkan dengan narasi yang tepat agar mampu saling mengisi hingga terjalin sinergis yang harmonis. Sejatinya tanpa menjadikan agama sebagai landasan hukum formal, agama telah menjadi falsafah landasan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam merespon hal tersebut, Pusat Studi Muhammadiyah (PSM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyelenggarakan Diskusi Kebangsaan dengan tajuk “Moderasi Indonesia: Islam Tengah dan Tantangan Persatuan Bangsa”. Diskusi Kebangsaan ini dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) pada Kamis (10/2/2022) bertempat di Amphiteater Gedung Pascasarjana UMY dan disiarkan secara daring melalui saluran Youtube Pusat Studi Muhammadiyah.

Diskusi Kebangsaan ini dibuka langsung oleh Bachtiar Dwi Kurniawan, Selaku ketua PSM UMY. Dalam kata pengantarnya, Bachtiar mengutarakan pentingnya keseimbangan ummat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita sebagai umat dalam mengarungi kehidupan yang beragam ini, harapannya kita tidak berlebihan; baik ektrem kanan maupun ekstrem kiri,” terang Bachtiar.

Ia kemudian menambahkan bahwa saat ini dalam mempelajari agama, kita disunguhkan menu kajian yang sangat banyak dan mudah diakses. Sehingga, jangan sampai kita terjebak dalam hal tersebut dan menjadi penghancur persatuan bangsa dan negara ini.

Acara ini menghadirkan beberapa pembicara di antaranya Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hendra Darmawan, Pakar Hukum Nasional Muh. Alfian Jafar, dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini.

Selain pembicara, diskusi ini juga menghadirkan pembicara penanggap di antaranya Ibnu Mahmud Bilalludin yang merupakan anggota DPR RI dan Arif Noor Hartanto yang merupakan ketua Dewan Perwakilan Daerah Partai Amanat Nasional (DPD PAN) Kota Yogyakarta.

Jalan Panjang Moderasi

Dalam kesempatannnya Diyah Puspitarini mengutarakan bahwa saat ini dalam menjalankan moderasi keagamaan di kehidupan berbangsa dan bernegara masih memiliki banyak tantangan. Tantangan tersebut diantaranya adalah kasus intoleransi yang masih menyentuh angka 50% (Sumber: Maarif Institute, Wahid Institute dan Setara Institute). Juga terkait dengan Radikalisme yang masih menjadi isu sentral di negara ini.

“Moderasi masih menjadi jalan panjang Islam berkemajuan Muhammadiyah, pekerjaan yang tidak mudah dan terkadang melelahkan,” Ucap Dyah. Ia kemudian menambahkan bahwa menyikapi hal tesebut diperlukan kontribusi dan kolaborasi dengan berbagai pihak dalam memasifkan gerakan moderasi.

Hal senada diungkapkan oleh Ir. Ibnu Mahmud Bilalludin selaku pembicara penanggap. Ia mengungkapkan bahwa tiap generasi punya tugas sejarah yang berbeda-beda di dalam ruang dan waktu masing-masing.

“Kita semua punya tantangan untuk memperjuangkan moderasi beragama atau Islam Tengah ini sendiri agar menjadi gerakan kita bersama,” terang Ibnu.

Muhammadiyah dan Moderasi

Muhammadiyah turut mengambil peran dalam menarasikan moderasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dari awal berdiri hingga saat ini. Dalam kiprahnya, Moderasi Muhammadiyah diimplementasikan dalam beberapa ranah seperti sosial politik, pendidikan, kesehatan, kemanusiaan dan lain sebagainya.

Hendra Darmawan juga mengungkapkan bahwa Muhammadiyah konsisten untuk bersikap terbuka terhadap perubahan dan memandang perbedanaan sebagai sunnatullah. “Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman adalah sunnatullah, rahmat dan khazanah intelektual yang dapat memperluas wawasan dan mendorong kemajuan,” ujar Hendra.

Dalam menjalankan konsep moderasi, Muh. Alfian Jafar, memaparkan tiga syarat utama diantaranya: 1) Pengetahuan yang Cukup, 2) Jangan terbawa emosi dalam menjalankan agama, dan 3) bersikap selalu hati-hati.

“Selain 3 syarat tersebut, kewajiban kita sebagai persyarikatan (Muhammadiyah) lalu apa? Yaitu adanya pengamalan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Pancasila itu sendiri,” Tambah Alfian.

Sementara itu, Arif Noor Hartanto menerangkan bahwa diskursus terkait Islam Tengah atau Moderasi Islam harus terus dihadirkan. Hadirnya diskusi-diskusi yang mengangkat tema Moderasi Islam menandakan adanya problematika terkait dengan persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam cara pandang Islam.

Ia juga mengutarakan bahwa dalam membincang moderasi islam, tidak lagi kita sibuk dalam perdebatan yang membenturkan Islam dan Negara. Namun, bagaimana moderasi islam ini dapat menjadi solusi permasalahan tersebut.

“Islam tengah dalam sistem kenegaraan harus memiliki kekuatan gaya sentripental, sehingga mampu menarik dan memusatkan kekuatan di sekitarnya. Juga harus memiliki karakter yang dapat membawa manfaat, menghadirkan kedamaian, mendorong kemajuan, dan memberikan pengayoman,” Tambah Arif.

Melalui diskusi ini, harapannya dapat terbangun diskursus Islam Tengah dalam Moderasi Keindonesiaan. Selain itu, juga dapat memberikan konsep terukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjawab tantangan persatuan bangsa. (diko)

 

 

 

 

 

Exit mobile version