Di Depan Imam, Cerpen Erwito Wibowo

Imam

Foto Ilustrasi

Sastro strok. Kenapa strok? Ia sudah tidak mampu mengingat lagi. Ia tidak hanya kehilangan daya ingat, tapi juga daya gerak. Ia tidak bisa apa-apa. Ia hanya berbaring di tempat tidur. Sehari-harinya Istrinya yang merawat. Melayani segala keperluannya. Termasuk yang menjelaskan kalau ada yang bertanya kenapa Sastra strok. Istrinya sampai bosan menjadi juru bicara setiap orang yang kenal, sekedar menengok dan kepengin tahu lebih banyak kenapa Sastra strok. Sampai jengkel berulang kali menjelaskan penyebab suaminya strok. Semula, gara gara adiknya Sastra kepingin tanah hak warisannya dijual untuk biaya membiayai anaknya kuliah. Masih terbayang di kepala istrinya, bagaimana dulu suaminya bersitegang dengan adiknya masalah rumah warisan itu.

“Rumah ini tetap akan saya pertahankan bentuk aslinya sebagai kenang-kenangan peninggalan rumah orang tua,” ucap Sastra sebelum stroke.

“Apa hanya cara seperti itu  mengenang orang tua ? Ada kan cara lainnya,” bantah adiknya.

“Kalau kamu minta bagi waris boleh. Tapi biarkan saya susuki hak bagianmu itu ? ”

“Mana uangnya ?’Saya butuh segera. Ini tidak bisa ditunda lagi ?”

“Ya, sabar. Menunggu bisnis saya berhasil.”

“Bisnis apa coba ?”

“Saya sedang mengejar sebuah proyek.”

“Itu sesuatu yang belum pasti, kemungkinan berhasilnya.”

Paling tidak saya bisa mengerjakan DED nya, bisa nyusuki kamu.”

“Pokoknya saya butuh uang segera. Saya tunggu sampai satu bulan tidak ada kabar menggembirakan. Akan saya jual.” ujar adiknya.

“Kepada siapa hak rumahmu akan dijual ?”

“Kamu tidak perlu tahu.”

“Lho, saya perlu dan penting tahu.”

“Kalau kamu tahu, saya curiga kamu akan campur tangan berusaha menggagalkan. Saya tahu karaktermu.”

“Ya jangan bersikap seperti itu. saya perlu tahu karena pembelinya akan menjadi tetanggaku.”

“Tetanggamu berupa bangunan. Kemungkinan bukan ditempati orang.”

“Maksudmu ?”

“Jangan banyak tanya, nanti kamu semakin heran dan bengong saja.”

“Wah…….

 

Istri Sastra selanjutnya lupa apa perdebatan selanjutnya antara suaminya dengan adiknya.

 

Rumah limasan akhirnya dipotong, dibeli seseorang yang namanya pak Latief. Oleh pak Latief tanah yang di atasnya ada potongan bangunan itu diwakafkan ke mushola kecil tidak jauh dari rumah Sastra strok. Sesungguhnya, Sastra stroke minta waktu pada adiknya bahwa hak warisan rumahnya akan disusuki. Istilah disusuki itu lucu atau memang sengaja dibuat lucu, agar tidak jelas. Bagaimana istilahnya disusuki, sedangkan adiknya tidak dalam rangka membeli. Istilah disusuki, mestinya terbit ketika muncul akad transaksi jual beli. Bagaimana mau menjelaskan bahwa tidak ada kegiatan jual beli, kenapa muncul istilah disusuki. Sastro stroke berniat hendak menyusuki hak tanah dan bangunan rumah warisan itu. Ia berharap dengan menyusuki, rumah warisan orang tuanya masih utuh bentuk aslinya, baik tata ruang maupun tata letaknya. Tapi adiknya Sastra stroke tidak bisa menunggu terlalu lama. Bagian tata administrasi lembaga pendidikan perguruan tidak mau pembayaran uang masuk perguruan tinggi ditunda. Pelunasan pembayaran sebagai salah satu syarat penting yang harus diselesaikan. Sementara, Sastra stroke menunggu pencarian uang dari pengajuan proposal program suatu proyek yang tidak memilik tingkat kepastian. Dan, Sastra stroke yakin betul bahwa proposal sudah di acc, tinggal di SK kan oleh pejabat pembuat komitmen. Keyakinan yang belum memiliki kepastian mengganggu kepentingan dan kelancaran pihak lainnya. Akhirnya, adik Sastra stroke memang harus tega terhadap kakaknya. Adiknya mendatangkan notaris, langsung tegas dan jelas. Ketegasan dan kejelasan itu menyebabkan Sastra langsung stroke. Rumah yang sudah terbeli langsung terbelah dipotong. Parabot rumah dan benda benda yang berada di bawah atap ditempatkan di ruang yang sudah sempit sehingga semakin sempit menyesakkan dada dan suasana hati serta perasaan menjadi runyam.

Pak Latief tersenyum, panitia pembangunan dan perluasan masjid melaporkan telah selesai dikerjakan. Tempat ibadah berupa mushola kecil berubah menjadi Masjid yang lapang dan.longgar. Para jamaah hatinya bersuasana baru, nampak riang gembira. Semakin rajin. Datang lebih awal setiap menjelang waktu waktu sholat.

Berdirinya masjid baru menghadirkan ruang baru. Muncul sudut baru. Hadir batas baru. Muncul tepi-tepi dan pinggiran. Memahami batas dan sudut dengan mengembalikan ke ruang intensinya, agar batas tidak menyudutkan lainnya. Dan sudut tidak mematikan batas.

Terhadap keadaan pengelolaan ruang baru yang membentuk lingkungan, kemudian kawasan, Sastra stroke tidak mengerti sama sekali. Kamar Sastra stroke yang merupakan bagian wilayah rumah limasan yang terpotong, persis letaknya berada di depan ruang tempat imam memimpin sholat jamaah. Kamar Sastra stroke nampak sengsara, dan terlihat muram. Antara bangunan tempat ruang imam dan kamar Sastra stroke menjadi titik pandang baru. Dan sama sekali tidak memiliki hubungan relasi, proporsi, apalagi tampilan corak ragam desainnya.

Sastro stroke yang tergolek tidak bisa kemana-mana. Ia tidak mengerti sama sekali setiap berlangsung sholat jamaah lima waktu sehari. Telinga tidak bisa bekerja untuk mendengar. Istrinya merawatnya setiap hari mendengar segala kegiatan yang berlangsung di dalam masjid. Hati istrinya seperti terbasuh mendengar segala kebaikan yang.suaranya datang dari masjid. Ia ingin datang juga hadir ke masjid, tapi belum bisa meninggalkan suaminya. Akhirnya, secara diam-diam ia punya cara mengatasinya. Ia bersama suaminya belajar sholat di kamarnya dengan mengikuti suara sebagai aba-aba yang menggerakkan gerakan sholat jamaah yang berlangsung di dalam masjid.  Setiap waktu sholat didirikan, Sastra stroke dibimbing istrinya mengikuti sholat yang sedang berlangsung yang dipimpin imam di belakang kamarnya.

Sastro stroke menjadi makmun di kamar rumahnya yang berada di depan imam masjid.

Niat istrinya, agar Sastra stroke memiliki pahala amal mumpung masih punya kesempatan.

Istri Sastra stroke tidak perlu mempertimbangkan sah tidaknya mengikuti sholat jamaah dari rumahnya. Sejak dulu kala ketika masih sehat juga tidak paham tuntutan sholat, hukum sholat.

Ia hanya ingin melakukan, begitu saja. Ia juga tidak ingin memiliki buku tipis tuntutan tata cara sholat. Apalagi mengenai datangnya hidayah. Ia sama sekali belum pernah mendengar hal itu, berbeda dengan orang-orang yang rajin menghadiri pengajian sering mendengar istilah hidayah.Tetapi tidak terasakan kapan datangnya sentuhan hidayah itu. Sesungguhnya istri Sastra stroke tengah memperoleh hidayah. Ia terus mengikuti kegiatan yang berlangsung di dalam masjid yang bisa diikuti dan didengarkan dari rumah.

Sama sekali istrinya tidak membayangkan Sastra stroke akan sembuh. Melihat kondisi suasana suaminya yang parah tidak mungkin bisa sembuh, istrinya tidak pernah berdoa memohon kesembuhan. Ia hanya berdoa agar suaminya memiliki amal. Terutama amalan sholat yang tidak hanya lama ditinggalkan, tetapi barangkali sudah dilupakan.

Berangsur angsur ada perubahan pada bola mata Sastra stroke. Bola mata yang semula hanya bisa melotot, mulai digenangi air mata. Sastro stroke bisa menitikkan air mata, istrinya bisa tersenyum. Air mata penyesalan, istrinya menganggap begitu. Beberapa bulan kemudian ruas jari tangan mulai bergerak. Beberapa bulan berikutnya, bisa digerakkan. Istri Sastra stroke makin semangat membimbingnya sholat jamaah di depan imam.

“Alhamdulillahirrobbil alamin. Tunjukkanlah kepada suamiku jalan yang benar.” Begitu ucap istri Sastra stroke.

Exit mobile version