JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Di akhir abad ke-19, pada tahun 1847, salah seorang bapak bangsa Ukraina, Taras Hryhorovych Shevchenko dipenjarakan oleh Kaisar Nicholas II dari Dinasti Rumanov. Ia dipenjara karena menyuarakan kemerdekaan Ukraina. Simbol dari perlawanan tersebut dituliskan dalam bukunya berjudul Kobzar yang terbit pada tahun 1844. Buku tersebut berisi beberapa rangkaian puisi dan prosa yang menggelorakan semangat untuk merdeka dari Kekaisaran Rusia. Hingga sampai akhir hanyatnya, Taras Hryhorovych Shevchenko diasingkan ke Siberia dan akhirnya meninggal di Sankt-Peterburg pada 10 Maret 1861, sehari setelah ulang tahunnya ke-47.
Pertama kali jenazah Shevchenko dimakamkan di Pemakaman Smolensky, Sankt-Peterburg. Namun, untuk memenuhi keinginan Shevchenko yang disampaikan dalam puisinya berjudul Wasiat agar dapat dimakamkan di Ukraina, teman-temannya pun mengatur pemindahan jenazahnya dengan menggunakan kereta api ke Moskow dan kemudian dibawa kembali ke Ukraina dengan gerobak. Jenazah Shevchenko dikuburkan kembali pada 8 Mei di Bukit Chernecha dekat Kaniv.
Yuddy Chrisnandi mengatakan, pada saat Revolusi Proletar tahun 1916, sebelum terjadinya Revolusi Bolshevik (1917), Ukraina telah memploklamirkan kemerdekaannya. Dan pada Februari 1918, Ukraina juga tak bosan-bosan menyatakan diri sebagai negara demokrasi yang merdeka. Tidak hanya ingin melepaskan diri dari Kekaisaran Rusia, namun juga menolak bergabung dengan federasi baru yang dibentuk oleh Vladimir Ilyich Ulyanov, yang dikenal dengan julukan Lenin.
Ketika tahun 1922 Lenin didapuk sebagai pemimpin tertinggi Uni Soviet, Ukraina terpaksa harus bergabung dengan gerakan Bolshevik karena pengaruh dari gerakan komunis yang sangat kuat pada saat itu. Sehingga Ukraina menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani pembentukan Federasi Uni Soviet bersama Rusia dan Belarusia.
Di tahun 1931 hingga 1932, terjadi peristiwa holodomor (genosida Ukraina) di Ukraina pada saat Rusia dipimpin oleh Josef Stalin yang terkenal kejam. Rusia mengeksploitasi seluruh sumber daya pangan Ukraina untuk kepentingan tentara-tentara Rusia, sehingga menyebabkan banyak rakyat Ukraina mati akibat kelaparan.
Saat invansi Jerman menaklukkan Polandia dan sedang bergerak menuju Moskow pada tahun 1941 sampai 1945, Ukraina dihadapkan pada dua front dan keadaan yang dilematis. Meski harus berperang melawan tentara Jerman, di sebagian wilayah Ukraina menjadi lintasan bagi mesin-mesin perang tentara Jerman. Di sisi yang lain Ukraina juga enggan bergabung dengan tentara Rusia untuk mempertahankan Moskow karena keinginannya untuk merdeka. “Namun hal itu gagal dan justru Ukraina menjadi korban dari kekejaman keduanya,” ujar Duta Besar RI untuk Ukraina periode 2017-2021 tersebut.
Barulah di era Nikita Sergeyevich Khrushchev, pemimpin ketiga Uni Soviet yang berasal dari Ukraina, rakyat Ukraina merasa sedikit lega karena pemimpin Uni Soviet tersebut turut andil dalam memperbaiki infrastruktur di Ukraina, memberikan konsesi pengelolaan Semenanjung Krimea kepada Ukraina, dan juga membangun infrastruktur industri pertanian serta mengembangkan industri senjata di sana.
Setelah kepemimpinan Uni Soviet yang dipegang oleh Nikita Khrushchev beralih kepada Leonid Ilyich Brezhnev, dari Brezhnev berpindah ke Yuri Vladimirovich Andropov, dan kemudian berganti kepada Konstantin Ustinovich Chernenko. Pada tahun 1985, saat Rusia berada di bawah kepemimpinan Mikhail Sergeyevich Gorbachev, Ukraina menginginkan kemerdekaan secara penuh. Hal ini dikarenakan rakyat Ukraina merasa terjajah dan menderita lebih dari satu abad di bawah rezim Uni Soviet. Sehingga sebelum Uni Soviet resmi bubar pada 26 Desember 1990, pada tangga 1 Desember 1990, Ukraina mendeklarasikan dirinya sebagai negara merdeka. Namun baru diakui secara resmi pada tanggal 24 Agustus 1991 setelah Ukraina menandatangani pembubaran Uni Soviet bersama Rusia dan Belarusia pada 26 Desember 1990.
“Jadi, dalam konteks hubungan internasional dan diplomasi modern, Ukraina, Rusia, Belarusia, Kazakhstan, Kirgistan, Lituania, dan lain sebagainya. Ke-15 negara pecahan Uni Soviet tersebut relatif baru dikenal pasca Uni Soviet bubar. Sehingga mereka menjadi negara yang merdeka dan memiliki hak untuk menentukan nasibnya masing-masing,” ujarnya dalam agenda Pengajian Umum PP Muhammadiyah dengan tema Perang Rusia–Ukraina: Mengapa? Bagaimana Sikap Kita? (11/3).
Politik di Ukraina
Singkat cerita, Presiden keempat Ukraina, Viktor Fedorovych Yanukovych, pada tahun 2013 pernah diminta oleh rakyatnya sendiri untuk tidak bergabung dengan masyarakat ekonomi yang dipimpin Rusia. Namun Yanukovych memilih mendekat kepada Rusia karena ia yakin bahwa mayoritas rakyatnya lebih menghendaki bergabung dengan masyarakat ekonomi yang dipimpin Rusia.
Di luar dugaan, referendum tersebut menghasilkan lebih dari 80% rakyat Ukraina menginginkan bergabung bersama masyarakat ekonomi Eropa. Peristiwa inilah yang kemudian tidak disukai Rusia, sehingga membuat Yanukovych membatalkan secara sepihak referendum tersebut. “Hal inilah kemudian yang memicu rakyat Ukraina melakukan pemberontakan yang kita kenal dengan revolusi Maidan. Rakyat Ukraina yang turun ke jalan melakukan demostrasi mendesak Presiden Yanukovych untuk mengesahkan hasil referendum tersebut,” ungkapnya.
Demostrasi yang semula berjalan damai berubah menjadi demontrasi besar di seluruh Ukraina, yang akhirnya menumbangkan Yanukovych pada Januari 2014. Saat terjadi kekosongan kepemimpinan di Ukraina pasca jatuhnya Yanukovych, rakyat Ukraina yang masih menginginkan bergabung dengan masyarakat ekonomi Eropa mengharuskan dirinya menyelenggarakan pemilihan presiden secara demokratis. Maka terpilihlah Oleksandr Valentynovych Turchynov sebagai Presiden kelima Ukraina. Belum selesai melakukan konsolidasi di pemerintahannya yang baru, Rusia berulah dengan melakukan jejak pendapat di semenanjung Krimea. Dalam waktu yang sangat singkat, tanpa melalui proses di PBB, Rusia mengklaim bahwa Krimea bukan lagi menjadi bagian dari Ukraina.
“Di saat yang bersamaan, para pendukung presiden Ukraina sebelumnya (Viktor Yanukovych) yang berasal dari wilayah Donbas memberontak. Mereka tidak mengakui hasil pemilihan umum yang memenangkan Valentynovych Turchynov. Sehingga mereka memilih melepaskan diri dari Ukraina,” ujarnya.
Karena proses untuk bergabung dengan masyarakat ekonomi Eropa yang tak kunjung terwujud dan cenderung berlarut-larut. Hal inilah yang menyebabkan Valentynovych Turchynov tidak terpilih kembali sebagai presiden pada pemilihan umum berikutnya.
Terpilihlah Volodymyr Zelensky sebagai Presiden ke-6 Ukraina pada pemilu tahun 2019 menandai babak baru dengan intensitas konflik yang lebih tinggi. Setelah terpilih sebagai Presiden Ukraina, Zelensky melakukan berbagai kebijakan yang seolah menantang Rusia, tidak hanya mendorong Ukraina bergabung dengan masyarakat ekonomi Eropa namun juga mendaftarkan diri sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Inilah yang akhirnya menjadi alasan Rusia menginvansi Ukraina karena dianggap dapat mengancam kedaulatan Rusia. (diko)