Cerita Syekh Ibrahim dan kuburannya yang dikeramatkan masyarakat Sumpur Kudus, mengambil beberapa halaman saja dalam otobiografi Buya Syafii Maarif (Ahmad Syafii Maarif – Memoar Seorang Anak Kampung, 2013) yang menakjubkan. Sepintas, pembaca mungkin akan menganggap kisah itu sekedar sampiran dari perjalananan hidup dan pikiran-pikiran besar dalam buku itu. Namun apabila dicermati lebih mendalam, lewat kisah kecil itu justru kita dapat melihat minat total Buya Syafii pada sejarah dalam arti luas. Bukan hanya pada sejarah berbasis nalar dan teks tertulis, tetapi juga sejarah berbasis tutur dan etnografi. Khususnya nagari Sumpur Kudus, kampung leluhur dan tanah kelahirannya.
Sejarah tutur, apalagi dalam membaca kawasan masyarakat tanpa tradisi aksara seperti Minangkabau, telah lazim dipakai oleh para sarjana kontemporer sebagai salah satu sumber. Kedudukannya pada masa kini setara dengan sumber sejarah tertulis. Hanya saja dalam membaca sumber sejarah tutur, diperlukan pendekatan yang lebih , khususnya pengetahuan atas sifat-sifat dasar budaya tutur itu sendiri. Ini biasanya melibatkan pemeriksaan kritis atas tendensi politik, aspek bahasa, dan sifat sastra dan fiksi yang terkandung dalam tuturan itu. Sebab dalam sumber tutur, sebagaimana dikatakan Buya Syafii, antara “fakta dan legenda sering telah bercampur aduk” (hal.4).
Tantangannya bukan semata memilah mana yang benar dan mana yang tidak, melainkan untuk mendapatkan pengertian yang proporsional atas tujuan-tujuan, penerapan, serta kandungan-kandungan sosial budaya yang mungkin tersimpan di balik sejarah tutur itu. Tambo dan kaba misalnya, seorang pengkaji sejarah terlebih dulu wajib melihatnya sebagai tambo – sebagaimana penutur tambo memposisikan tambo itu melalui ungkapan “Kata orang yang kami katakan. Dusta orang kami tak serta”. Artinya, tambo itu sendiri tidak membawa klaim benar bagi suatu sejarah. Ia mungkin mengandung fakta, tapi jelas fakta yang sudah diperkaya.
Hoessein Djajadingrat menyebut sejarah tutur dengan istilah “tradisi lokal”. Ia mengatakan, tradisi lokal itu sangat berharga bagi pengkajian sejarah. Bila tak ada Hikayat Raja-Raja Pasai, katanya, tak ada yang bisa diketahui perihal Sultan Malik Al Saleh, raja pertama Kesultanan Pasai yang batu nisannya membuka jalan bagi penelusuran sejarah Islam di Asia Tenggara.
Soalnya jadi berbeda manakala teks tutur itu beroperasi dalam rangka kepentingan kuasa dan diubah statusnya menjadi dokumen suci yang tak dapat diganggugugat. Dapat dibuktikan, Hikayat Melayu, Babad Jawa dan Bali, dan narasi-narasi yang setipe dari berbagai tradisi tutur kita, memang mengandung kecenderungan tersebut. Yakni adanya suatu fenomena politik historiografi yang mewarnai sumber-sumber sejarah tutur kita secara laten.
Pendapat saya sendiri perihal politik historiografi ini telah pernah saya kemukakan dalam dua artikel yang dimuat harian Kompas yang dimuat dalam waktu berbeda. Pertama “Hoax Dalam Narasi Budaya Kita” (Kompas, Juni 2012) dengan penekanan pada keterlibatan kekuasaan dalam konflik narasi antara hikayat-hikayat atau babad sejarah kita. Kedua, pada artikel “Merek Bali Dan Perbudakan” yang juga dimuat di harian Kompas (September, 2017).
Tetapi pengoperasian teks lisan sebagai sumber sejarah untuk kepentingan kekuasaan bukanlah monopoli masa lampau saja. Pada era modern ini pun, hal itu terjadi – bahkan mungkin lebih manipulatif tanpa sejarawan dapat berbuat apa-apa. Itulah yang misalnya kita lihat pada sejarah-sejarah penting kita yang ditulis untuk kepentingan kekuasaan orde baru. Pada situasi ini yang diperlukan bukan saja peninjauan kritis, tetapi juga diperlukan kemauan politik untuk meluruskan fakta sejarah tertentu.
Galau Gelap
Sejarah Minangkabau yang disebut Buya Syafii sebagai sejarah yang gelap (ibid, hal.7) dapat juga membantu kita mengerti bagaimana politik historiografi itu bekerja dalam sejarah Minangkabau. Ini misalnya dapat dikesan dari catatan William Marsden F.R.S ketika menjelaskan “Sejarah Minangkabau Yang Belum Jelas” dalam buku Sejarah Sumatra (Indoliterasi,2016).
Setelah menjelaskan serba keunikan dan legenda-legenda tentang Minangkabau yang dipercaya oleh masyarakat di sektar Sumatra, Semenanjung dan Melayu umumnya pada masa itu, Marsden lalu menukil sebuah keterangan dari informannya tentang kerajaan Pagar Ruyung yang dikatakan didirikan seorang Syarif (ditulis Xerif) dari Makkah.
“Sultan pertama Minangkabau adalah seorang Xerif Mekah atau keturunan khalifahnya, bernama Paduka Sri Sultan Ibrahim…diterima di Sumatra oleh pangeran setempat, yaitu Perapati Si Batang dan saudara laki-lakinya serta memperoleh kekuasaan yang berdaulat.
Mereka menambahkan, bahwa Sultan yang sekarang bermukim di Pagar Ruyung dan Surawasa memiliki garis keturunan dari Xerif tersebut… ” (Sejarah Sumatra, hal.513).
Masih pada paragraf yang sama, Marsden kemudian mengatakan hal itu tidak mungkin. Karena jauh sebelum Islam, kerajaan Minangkabau telah benar-benar eksis. Keyakinannya itu didasarkan atas seluruh referensi yang ia pelajari, baik Eropa, Arab, China maupun keyakinan masyarakat setempat. Bahkan menurut Marsden, Raden Tumenggung (menantu keluarga Raja Indrapura,pen) yang sangat cerdas dan sangat menguasai topik ini, telah menegaskan padanya bantahan pada keterangan tersebut. Inilah kerajaan Sumatra yang asli, telah berdiri jauh sebelum diperkenalkan pada agama Arab…(ibid, hal.514).
Bila kita komparasi dengan keterangan Suma Oriental dari Tome Pires, sebagaimana dikutip oleh M.A.P Meilink Roelofsz dalam catatan kaki di bukunya “Persaingan Eropa & Asia di Nusantara ” (Komunitas Bambu, 2006), informasi soal Xerif Mekah pendiri Kerajaan Minangkabau itu makin terbantah lagi. Sebab menurut buku itu, Suma Oriental menyebut Minangkabau belum Islam di Zaman Perniagaan pada 1500-1630.
Rupa-rupanya, pada masa itu ada yang berupaya membelokkan sejarah dengan mencoba mengecoh seorang peneliti Eropa yang sangat cermat seperti Marsden. Mengingat, dalam Sejarah Sumatra juga diterangkan perihal penghormatan kepada keluarga raja Pagar Ruyung oleh rakyatnya layaknya keturunan Nabi, ada kemungkinan klaim keturunan Nabi itu telah dipercaya pula oleh sebagai rakyat Minangkabau pada masa itu.
Patut pula dicurigai, kemungkinan nuansa politik historiografi itu telah mengalami reorientasi pada masa kini, karena semakin sering saja beredar di medsos upaya ‘mengislamkan kembali Minang’ melalui sejarah Pagar Ruyung yang dikatakan sudah Islam sejak semula itu. Misalnya, ada ulama yang mengatakan bahwa Minangkabau itu berasal dari huruf Mim Nun Kaf dan stempel Pagar Ruyung adalah cap bertulis Arab. Pendapat saya, mengingat pendekatan sejarah semakin maju, upaya-upaya seperti itu bukan malah membuat orang Minang semakin terterangkan, malahan akan semakin gelap sejarah itu. Kalau demikian adanya, orang Minang akan semakin galau saja seperti diistilahkan Buya Syafii.
Berjamba di kubur
Pada tataran etnografi, usaha sebuah komunitas budaya untuk berinteraksi dengan masa lalu, telah mendorong tumbuhnya kebiasaan-kebiasaan unik dalam masyarakat kita. Salah satunya adalah pengkeramatan figur tetua tertentu. Di Minangkabau, tradisi ini mungkin dapat dianggap sebagai salah satu model pengekspresian budaya Islam untuk kepentingan memelihara silaturahmi komunitas, dan sekaligus cara untuk memelihara ingatan kolektif atas sejarah kampung dan warisan budaya.
Hal ini pun tak luput dari perhatian Buya Syafii dalam laman otobiografinya yang sedang kita bahas. Apa yang patut diapresiasi adalah caranya memberi nilai pada tradisi bajamba di kuburan Syekh Ibrahim dan soal Islam di kampung tersebut.
Ia menulis:”..minatku untuk mengenal siapa Syeh Ibrahim menjadi hilang. Ini adalah sikapku yang kurang dewasa, tidak bisa memisahkan mana yang sejarah, mana yang berbau syrik..”(hal.24).
Ada semacam sesal kecil dari susunan kalimat di atas, yang mungkin terdorong oleh latar belakang keilmuan yang dimilikinya. Walaupun dialamatkan kepada diri sendiri, kalimat itu sesungguhnya merupakan kritik sosial yang halus, khususnya terhadap sementara kalangan agama yang menabukan ziarah kubur sembari makan-makan dan yang tampaknya juga terdapat di kalangan Muhammadiyah sendiri.
Pendirian Buya Syafii terhadap soal ini cukup sederhana. Seperti kata-katanya..bukankah makan bersama anak-anak lain merupakan suatu kegembiraan?
Sungguh menarik, karena ia mengatakan tradisi bakaua ke kubur Syekh Ibrahim masih dilakukan masyarakat Sumpur Kudus sampai sekarang setelah masa panen. Artinya, selain sebagai ekspresi tradisi, kebiasaan itu juga mencerminkan masih ada kegembiraan kolektif yang terpelihara dalam diri masyarakat Sumpur Kudus. Setidaknya, karena pasti ada anak-anak yang mengikuti upacara itu, mengintai berbagai makanan di talam-talam jamba yang berbagai, yang kemudian memperebutkannya dengan tulus dan gembira. Berdasarkan substansi ini, cukup adil kiranya jika pertanyaan Buya Syafii di atas mengilhami kita untuk memperbaiki sudut pandang dalam menilai suatu ekspresi yang berhubungan dengan kehidupan beragama.
Apalagi jika kita mengingat sebait sajak Jalaludin Rumi yang mengatakan perlunya meliputi kehidupan spritual dengan gairah yang murni. Yakni gairah yang menerbitkan rasa gembira seperti musim semi menerbitkan bunga—bunga pepohonan/ yang tiba-tiba serasa dapat disentuh/ berkat rasa hangat yang ia hadirkan…(Matsnawi).
Rumi dengan ‘musim seminya’, Buya Syafii dengan kerinduan masa kanaknya, mungkin dapat menghangatkan kita dalam rasa dingin dan kebekuan pikiran yang timbul akibat arogansi, rasa benar sendiri, dan akibat keengganan untuk berdialog demi mencapai hal yang lebih substansial sifatnya. Suatu mentalitas yang menurut Buya Syafii telah meninabobokan agama terlalu lama.