KHARTUM-YOGYAKARTA-Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menjadi pemateri Baitul Arqom Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Sudan (24/3/2022). Haedar Nashir mendorong para warga Muhammadiyah di Sudan supaya memiliki semangat yang tinggi untuk menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah sesuai dengan kapasitas dan daya jelajah pergaulan.
Haedar mengingatkan pentingnya semangat dan ghirah yang memberi makna bagi proses bermuhammadiyah. “Ketika nanti pulang ke tanah air atau ada yang mau terus disana, itu nanti proses bermuhammadiyah membekas dalam jiwa, dalam pikiran, dan orientasi tindakan, itu semuanya membawa misi Muhammadiyah, menjalankan misi dakwah dan tajdid sebagai al-haraqah al-islamiyah,” tuturnya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menaruh harapan dan apresiasi kepada setiap PCIM. Khusus kepada PCIM yang ada di Timur Tengah, Muhammadiyah menaruh harapan dalam penguasaan dirasah islamiyah. “Ilmu-ilmu keislaman yang spesifik menjadi modal utama ketika nantinya menjadi ulama-ulama Muhammadiyah dan Asiyiyah yang memberi warna, memberi sibghah,” ungkap Haedar.
“Modal bahasa dan modal ilmu-ilmu khusus keislaman harus menjadi kekuatan inti yang nanti harus dikembangkan menjadi energi positif bagi pergerakan Muhammadiyah.” Menurutnya, Muhammadiyah hari ini dan ke depan semakin memerlukan kader dan pimpinannya yang memiliki referensi dan rujukan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman di tengah tantangan yang semakin berat.
Terdapat beberapa tantangan bagi Muhammadiyah, dalam pandangan Haedar Nashir. Pertama, pergerakan Islam yang semakin berwarna. Di samping membawa dampak positif berupa peluang menguatkan ukhuwah islamiyah, terdapat potensi terjadinya fragmentasi. Antar organisasi saling mempengaruhi, dalam hal positif maupun sebaliknya. Oleh karena itu, karakter khas Muhammadiyah perlu menjadi komitmen para kader dan pimpinan.
“Di tengah keragaman mazhab, pemikiran, golongan, dan orientasi pergerakan keislaman, kader-kader dan anggota pimpinan Muhammadiyah, lebih-lebih yang muda-muda termasuk yang di PCIM-PCIA, perlu semakin menegaskan identitas kemuhammadiyahan, identitas keislaman dalam perspektif Muhammadiyah sebagaimana dalam manhaj tarjih dan pondasi keislaman Muhammadiyah,” ulasnya.
Kedua, pemikiran yang multikultural, termasuk pemikiran tentang modernisme, globalisasi, Hak Asasi Manusia, pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan seterusnya. “Di tengah pemikiran-pemikiran seperti ini, karena kita hidup di alam yang terbuka, kita tidak mungkin untuk hidup secara miopik, menutup diri seperti kita hidup di gua. Tapi dituntut melakukan lil muwajahah,” ujar Haedar. Yaitu melakukan sesuatu yang melampaui dan menghadirkan pemikiran yang lebih baik sebagai tawaran baru. “Tidak bisa sekadar berteriak anti ini dan anti itu, tapi harus memberi tawaran pemikiran alternatif.”
Ketiga, problem keumatan dan kemanusiaan universal yang kompleks, seperti halnya perang Rusia-Ukraina dan beberapa konflik di Timur Tengah. Dinamika dan problem yang tidak ringan bagi dunia Islam ini perlu dihadapi dengan seksama. “Menghadapi Israel saja, negara-negara Arab sudah terpecah. Ada realitas yang kita hadapi secara kompleks, di internal dan eksternal.” Dalam situasi ini, kata Haedar, warga Muhammadiyah dituntut punya ilmu dan hikmah yang melampaui. Alam pikiran Muhammadiyah harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai peradaban kosmopolitan dan melintas.
Haedar Nashir mengingatkan bahwa Muhammadiyah telah memiliki seperangkat ideologi dan produk pemikiran intelektual yang cukup lengkap tentang hampir semua bidang yang diperlukan. Warga Muhammadiyah diharapkan mau berpegang pada dasar ideologi tersebut. “Muhammadiyah ini lahir, berkembang, dan bertahan lebih dari satu abad, karena pandangan keislamannya al-ruju ila al-Qur’an wa al-Sunnah, lalu didukung oleh ijtihad, baik dalam kerangka dakwah maupun dalam kerangka tajdid, yang membuat kita punya distingtif.”
Para kader Muhammadiyah di Timur Tengah juga diharap untuk meluaskan cakrawala berpikir, sehingga mampu melihat beragam masalah secara bijak dan memberi solusi. Sikap itu telah dicontohkan oleh pendiri Muhammadiyah. “Kiai Dahlan lahir dari kaum tradisional, lalu ke Saudi dua kali yang di sana saat itu dipengaruhi paham Wahabi, tetapi pulangnya menjadi mujaddid. Tajdidnya itu melampaui zamannya,” tukas Haedar Nashir. (Ribas)