Apakah Disunnahkan Salat Iftitah Sebelum Qiyam Ramadan Meskipun Belum Tidur?

Oleh: Nur Fajri Romadhon (Ketua Majelis Tarjih & Tajdid PCIM Arab Saudi 2019-2022)

Muhammadiyah dalam Putusannya menegaskan bahwa salat dua rakaat ringan (Salat Iftitāḥ) sebelum salat malam, termasuk Qiyām Ramadan selepas Isya, disunnahkan. Dalam HPT dituliskan:

وَصَلِّ قَبْلَهَا رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ

“Dan kerjakanlah sebelum itu, dua rakaat singkat-singkat.”[1]

Dalilnya banyak, di antaranya adalah hadis yang berupa perbuatan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ لِيُصَلِّيَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

“’Āisyah raḍiyallāhu ‘anhā mengatakan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam biasa mengawali dengan dua rakaat yang ringan ketika melakukan Qiyāmullail.” [HR. Muslim no. 767][2]

Juga hadis yang berupa ucapan langsung Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

“Jika salah seorang di antara kalian hendak melakukan Qiyāmullail, maka hendaklah ia mengawalinya dengan dua rakaat yang ringan.” [HR. Muslim no. 768] [3]

Al-Imām Asy-Syaukāniyy (w. 1250 H) tegaskan saat menjelaskan kedua hadis di atas:

الْحَدِيثَانِ يَدُلَّانِ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ افْتِتَاحِ صَلَاةِ اللَّيْلِ بِرَكْعَتَيْنِ ‌خَفِيفَتَيْنِ

“Kedua hadis ini menunjukkan bahwa Salat Iftitāḥ sebanyak dua rakaat ringan sebelum salam malam itu disyariatkan.”[4]

Kala mensyarah Ṣaḥīḥ Muslim, Al-Qāḍī ‘Iyāḍ (w. 544 H) nyatakan:

هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ كَانَ يَسْتَفْتِحُ بِهِمَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيَامَهُ لَيْلَهُ

“Kedua rakaat ini, biasa beliau ṣallallāhu ‘alaihi wasallam lakukan untuk membuka Qiyāmullail beliau.”[5]

Al-Imām An-Nawawiyy (w. 676 H) juga katakan saat mensyarah Ṣaḥīḥ Muslim:

يُسْتَحَبُّ أَنْ تُفْتَحَ صَلَاةُ اللَّيْلِ بِرَكْعَتَيْنِ ‌خَفِيفَتَيْنِ

“Disunnahkan salat malam dibuka dengan dua rakaat yang ringan.” [6]

Pernyataan ketiga ulama di atas sifatnya umum tanpa membatasinya pada kondisi tertentu. Ulama pun sepakat bahwa didahului tidur atau tidak, salat malam tetaplah disebut Ṣalātullail atau Qiyāmullail[7]. Muhammadiyah juga memahami bahwa kesunnahan ini berlaku kapan pun Qiyāmullail/Qiyām Ramadan/Salat Malam/Tarawih[8] itu dikerjakan. Di awal malam langsung selepas Isya, di pertengahan malam, ataupun di akhir malam. Sehabis tidur maupun tidak sehabis tidur. Di bulan Ramadan ataupun di luar bulan Ramadan. Dalam HPT dituliskan:

وَلْتَكُنْ صَلَاتُكَ أَوَّلَ اللَّيْلِ وَأَوْسَطَهُ وَآخِرَهُ، وَهُوَ الْأَفْضَلُ

“Hendaknya engkau kerjakan salat malam itu di awal malam, di pertengahan malam, dan/atau di akhir malam, dan di akhir malam lebih utama.”[9]

***

Memang, kesunnahan Salat Iftitāḥ ini penting disosialisasikan lebih jelas dalam rangka menghidupkan sunnah. Tak sedikit masyarakat, bahkan warga Persyarikatan, yang belum yakin mengamalkannya. Tak heran, tidak kurang dari 12 fatwa telah dirilis oleh Muhammadiyah berkenaan dengannya[10].

Umumnya titik keraguannya adalah berkenaan dengan kesunnahan Salat Iftitāḥ dalam Qiyām Ramadan yang dilakukan langsung seusai salat Isya, bukan pada kesunnahan Salat Iftitāḥ itu sendiri jika dikerjakan setelah bangun tidur. Sebab ada yang menyanggah dengan mengatakan bahwa sebenarnya kesunnahan Salat Iftitāḥ hanyalah berlaku bagi yang salat malamnya dikerjakan selepas bangun tidur. Ia ibarat ‘pemanasan’ bagi orang yang baru bangun tidur agar siap dan semangat salat beberapa rakaat setelahnya. Dikutiplah perkataan Al-Imām An-Nawawiyy di tempat lain bahwa beliau pernah katakan:

هَذَا دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ لِيَنْشَطَ بِهِمَا لِمَا بَعْدَهُمَا

“Ini adalah dalil kesunnahan Salat Iftitāḥ agar seseorang bersemangat salat lagi setelah mengerjakan dua rakaat ringan ini.”[11]

Di samping itu, ada juga yang menyanggah dengan mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah salat yang dimaksud dalam hadis: Setan mengikat tiga tali ikatan di atas tengkuk kepala seseorang dari kalian saat dia tidur, setan mengencangkan ikatan tersebut (sambil berkata): ‘Malam masih panjang maka tidurlah.’ Jika dia bangun dan mengingat Allah maka lepaslah satu tali ikatan. Jika kemudian dia berwudu maka lepaslah tali yang kedua, dan jika ia mendirikan salat, maka lepaslah satu tali ikatan lagi, dan pada pagi harinya ia akan merasakan semangat dan jiwa yang tentram. Namun bila dia tidak melakukan  itu, maka pagi itu jiwanya tidak tentram dan ia merasa malas.” [HR. Al-Bukhāriyy no. 1142][12] Al-Ḥāfiż Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalāniyy (w. 852 H) tuliskan:

ذَكَرَ شَيْخُنَا الْحَافِظُ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ الْحُسَيْنِ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ أَنَّ السِّرَّ فِي اسْتِفْتَاحِ صَلَاةِ اللَّيْلِ بِرَكْعَتَيْنِ ‌خَفِيفَتَيْنِ الْمُبَادَرَةُ إِلَى حَلِّ عُقَدِ الشَّيْطَانِ

“Guru kami, Al-Ḥāfiẓ Abul Faḍl ibnul Ḥusain dalam Syarḥ at-Tirmiżiyy menyebutkan bahwa rahasia diawalinya salat malam dengan dua rakaat ringan adalah untuk bersegera mengurai ikatan setan.”[13]

Kedua kutipan ini menurut mereka seolah menunjukkan bahwa dua rakaat ringan ini disunnahkan hanya bagi yang Qiyāmullail sehabis bangun tidur. Adapun bagi yang langsung mengerjakan Qiyāmullail langsung sehabis salat Isya, bahkan sehabis Ba’diyyah Isya, maka ia tidak butuh ‘pemanasan’ dengan Salat Iftitāḥ lagi, sebab ia sudah ‘panas’ dengan salat Isya dan bahkan Ba’diyyah Isya.

***

Nah, untuk merespon sanggahan ini, saya mengajukan tujuh jawaban berikut.

Pertama: Salat Iftitāḥ termasuk ibadah maḥḍah. Sementara pada dasarnya ibadah maḥḍah itu tidak ada atau tidak diketahui ‘illahnya. Al-Imam Asy-Syāṭibiyy (w. 790 H) pernah tuliskan:

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Pada dasarnya ibadah maḥḍah itu ta’abbudiyy tanpa mempertimbangkan ‘illah-‘illah tertentu, sementara ibadah ghairu maḥḍah pada dasarnya didasari dengan ‘illah-‘illah tertentu.”[14]

Dari sini, maka apa yang disebutkan oleh ulama di atas, lebih tepat disebut hikmah daripada ‘illah. Terlebih kalau kita baca seksama, mereka tidak menyebutnya sebagai ‘illah. Al-Qāḍī ‘Iyāḍ bahkan secara eksplisit mengistilahkan apa yang tadi dikatakan Al-Imām An-Nawawiyy sebagai hikmah[15]. Begitu pula Asy-Syaikh Al-Jamal (w. 1204 H) istilahkan apa yang dinukilkan oleh Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalāniyy sebagai hikmah[16].

Asy-Syaikh Muḥammad Abū Zahrah (w. 1974) dengan elegan sudah jelaskan perbedaan hikmah dan ‘illah, bahwa hukum tidak bisa ada tanpa ‘illah, namun hukum bisa ada tanpa nampaknya hikmah[17]. Al-Imām Asy-Syāṭibiyy jelaskan juga sudah jelaskan bahwa berbeda dengan ‘illah yang “Al-Ḥukmu yadūru ma’a ‘illatihī wujūdan wa’adaman (hukum ada jika ‘illah ada dan tiada jika ‘illah tidak ada)”[18], adapun hikmah maka:

لجواز خلو الْفَرْعِ عَنْ تِلْكَ ‌الْحِكْمَةِ الَّتِي جَهِلْنَاهَا

“Boleh saja suatu hukum fikih tidak nampak padanya hikmah yang kita tidak ketahui.”[19]

Berangkat dari situlah, maka kesunnahan Salat Iftitah tetap berlaku sekalipun hikmahnya tidak begitu dirasakan, apalagi oleh banyak dari kita yang naluri ‘Irfaninya lemah.

Kedua: Dua kutipan di atas bukan merupakan teks hadis Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wasallam. Melainkan merupakan istinbāṭ (simpulan) atau ijtihad sebagian ulama yang belum mencapai ijma’. Adapun teks hadis beliau, maka sifatnya umum,mencakup semua qiyamullail. Apalagi jika menimbang kaidah uṣūliyyah ”Ḥikāyatul ḥāl, iżā turika fīhal istifṣāl, taqūmu maqāmal ‘umūmi fil maqāl, wayaḥsunu bihal istidlāl” (jika gambaran tentang suatu kondisi tidak dirinci, maka ia dipahami sebagai pernyataan yang berlaku umum dan baik dijadikan dalil)[20]

Ketiga: Para ulama juga menyebutkan bahwa hal tadi berlaku pula untuk salat Qabliyyah Subuh. Al-Ḥāfiż Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalāniyy katakan:

لِيَسْتَفْتِحَ صَلَاةَ النَّهَارِ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ كَمَا كَانَ يَصْنَعُ فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ لِيَدْخُلَ فِي الْفَرْضِ أَوْ مَا شَابَهَهُ فِي الْفَضْلِ بِنَشَاطٍ ‌وَاسْتِعْدَادٍ ‌تَامٍّ

“Disunnahkannya salat Qabliyyah Subuh adalah agar seseorang mengawali salat siang (dalam fikih, siang dimulai dari terbit fajar -pen) dengan dua rakaat ringan sebagaimana ia mengawali salat malam juga dengan dua rakaat ringan. Itu agar seseorang memasuki salat wajib (Subuh) atau semisalnya (Qiyāmullail) dengan semangat dan kesiapan penuh.”[21]

Kita semua tahu bahwa salat Qabliyyah Subuh tetap disunnahkan sekalipun seseorang baru saja salat malam sekian rakaat menjelang azan Subuh tanpa diselingi iḍṭijā’ (berbaring sejenak). Tidaklah kita katakan bahwa salat Qabliyyah Subuh tidak perlu dikerjakan lagi karena seseorang sudah ‘panas’ dan semangat dengan salat malam beberapa rakaat yang baru saja ia kerjakan.

Keempat: Adapun tentang bahwa Salat Iftitāḥ di antaranya hikmahnya mengurai ikatan setan, maka sesungguhnya para ulama lain tidak memahaminya sebatas Salat Iftitāḥ, namun juga salat apapun, termasuk Qabliyyah Subuh dan termasuk salat Subuh, bahkan termasuk juga salat Isya’. Al-Ḥāfiż Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalāniyy paparkan:

وَيُحْتَمَلُ أَنْ تَكُونَ الصَّلَاةُ الْمَنْفِيَّةُ فِي التَّرْجَمَةِ صَلَاةَ الْعِشَاءِ

“Ada kemungkinan juga bahwa salat yang dimaksud di hadis dalam judul bab ini adalah salat Isya’.”[22]

Dengan adanya beberapa kemungkinan ini, maka sesuai kaidah uṣūliyyah “Ḥikāyatul ḥāl, iżā taṭarraqa ilaihal iḥtimāl, saqaṭa bihal istidlāl” (jika gambaran tentang suatu kondisi banyak mengandung kemungkinan, maka ia tidak bisa dijadikan dalil)[23], kita tidak bisa mengabaikan kesunnahan Salat Iftitāḥ hanya karena ada kemungkinan bahwa ia adalah salat yang dimaksud dalam hadis “tiga ikatan setan” tersebut.

Kelima: Tidak selalu juga salat Isya dan salat Ba’diyyah Isya mencukupi Salat Iftitāḥ dari hikmahnya sebagai ‘pemanasan’ sebelum Qiyām Ramadan/Qiyāmullail. Itu sesuatu yang relatif. Apalagi di banyak masjid, ada jeda antara salat Ba’diyyah Isya dengan Qiyām Ramadan. Jeda di sini tidak jarang berlangsung agak lama semisal diisi dengan pengumuman atau ceramah.

Keenam: Dalam literatur-literatur syarahan hadis, kata “qāma minallail” dalam hadis-hadis ini dan sejenisnya dapat juga dimaknai sebagai “hendak mengerjakan Qiyāmullail/Salat Malam”, tidak harus “bangun dari tidur malam”. Misalnya hadis riwayat Muslim no. 787[24]. Terlebih Muhammadiyah mengambil pendapat bahwa Tahajjud tidak disyaratkan tidur lebih dahulu[25] sebagaimana pendapat sebagian ulama Mālikiyyah[26] yang juga difatwakan oleh Mufti Mesir Asy-Syaikh ‘Aliyy Jum’ah[27] dan Mufti Arab Saudi Asy-Syaikh Ibnu Bāz[28]. Berarti hadis-hadis[29] dan penjelasan ulama[30] yang memadukan antara “qāma minallail” dengan Tahajjud dapat juga dipahami sebagai salat malam tanpa pensyaratan tidur lebih dahulu.

Ketujuh: Saya belum jumpai ulama klasik yang secara eksplisit menegasikan kesunnahan dua rakaat ringan ini bagi yang mengerjakan Qiyāmullail sebelum tidur, padahal pernyataan mereka akan kesunnahan kedua rakaat ringan ini sebelum salat malam terbuka untuk dipahami tanpa rincian dan pembatasan tertentu. Walau tentu banyak dari mereka mengaitkan dua rakaat ringan ini dengan Tahajjud yang oleh mereka secara tegas dimaknai dengan pensyaratan tidur lebih dahulu[31]. Wallāhua’lam.

Simpulannya adalah bahwa Muhammadiyah memiliki landasan yang kuat lagi dapat dipertanggungjawabkan terkait kesunnahan Salat Iftitāḥ sebelum salat malam, baik dikerjakan di Ramadan, maupun luar Ramadan, sebelum tidur, maupun setelah tidur, termasuk sebelum Qiyām Ramadan yang dikerjakan langsung setelah salat Isya dan Ba’diyyah Isya. Hal ini tentu, sesuai dengan prinsip Tarjih sendiri[32], dengan tetap menghargai pendapat lain yang berbeda. Naṣrun minallāhi wafatḥun qarīb, wabasysyiril mu’minīn.

Jeddah, 27 Syaban 1443 H

***

Baca juga:

Perbedaan Iftitah pada Shalat Fardu dan Shalat Sunah

Fatwa Tarjih Tentang Doa Iftitah dalam Shalat Id

 

[1] Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 346-347.

[2] Ṣaḥīḥ Muslim jld. I hlm. 532. Kairo: Maṭba’ah ‘Īsā al-Ḥalabiyy, 1955.

[3] Ṣaḥīḥ Muslim jld. I hlm. 532.

[4] Nailul Auṭār jld. V hlm. 204. Dammam: Dār Ibnil Jauziyy, 2006.

[5] Ikmālul Mu’lim jld. III hlm. 128. Beirut: Dārul Wafā’, 1998.

[6] Minhājul Muḥaddiṡīn jld. VI hlm. 10. Beirut: Dāru Iḥyāit Turāṡ al-‘Arabiyy, 1972.

[7] Lihat: Al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah jld. XXXIV hlm. 119. Kuwait: Wizāratul Awqāf, 2006.

[8] Lihat mengenai kesinoniman istilah-istilah ini dalam fatwa Muhammadiyah di Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 345 serta di Tanya Jawab Agama jld. I hlm. 90-91 & jld. V hlm. 63.

[9] Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 346-347.

[10] Lihat: Tanya Jawab Agama jld. I hlm. 91, jld. III hlm. 115-123, jld. III hlm. 123-124, jld. IV hlm. 150-151, jld. IV hlm. 151-152, jld. IV hlm. 152, jld. V hlm. 62-63, & jld. VI hlm. 65-69, begitu pula Fatwa tanggal 26 Rajab 1428 H/10 Agustus 2007, Fatwa tanggal 23 Rabiulawal 1430 H/20 Maret 2009, Fatwa tanggal 15 Rabiulawal 1432 H/18 Februari 2011, dan Fatwa lain di tanggal yang sama (Fatwa tanggal 15 Rabiulawal 1432 H/18 Februari 2011).

[11] Minhājul Muḥaddiṡīn jld. VI hlm. 54.

[12] Ṣaḥīḥ al-Bukhāriyy jld. II hlm. 52. Beirut: Dār Ṭauqin Najāh, 2001.

[13] Fatḥul Bārī jld. III hlm. 27. Beirut: Dārul Ma’rifah, 1959.

[14] Al-Muwāfaqāt jld. II hlm. 513. Riyadh: Dar Ibn ‘Affan, 1997.

[15] Lihat: Ikmālul Mu’lim jld. III hlm. 138.

[16] Lihat: Al-Jamal, Ḥāsyiyah ‘alā Syarḥİ Manhajiṭ Ṭullāb jld. I hlm. 496. Beirut: Dārul Fikr, 2000.

[17] Lihat: Muḥammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh hlm. 239. Kairo: Dārul Fikr al’Arabiyy, 1958.

[18] Lihat: Al-Muwāfaqāt jld. I hlm. 410.

[19] Al-Muwāfaqāt jld. II hlm. 531.

[20] Lihat: Al-Qarāfiyy, Al-Furūq jld. II hlm. 159. Beirut: Muassasah ar-Risālah, 2014.

[21] Fatḥul Bārī jld. III hlm. 46.

[22] Fatḥul Bārī jld. III hlm. 24.

[23] Lihat: Al-Qarāfiyy, Al-Furūq jld. II hlm. 159.

[24] Ṣaḥīḥ Muslim jld. I hlm. 543.

[25] Lihat: Tanya Jawab Agama jld. V hlm. 62-63.

[26] Lihat: Ad-Dardīr, Asy-Syarḥul Kabīr jld. II hlm. 211. Beirut: Dārul Fikr, 2006 & Al-Qurṭubiyy, Al-Jāmi’ liAḥkāmil Qur-ān jld. X hlm. 308. Kairo: Dārul Kutubil Miṣriyyah, 1964.

[27] Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=ShC30lGBXN8.

[28] Lihat: Ibnu Bāz, Majmū’ Fatāwā waMaqālāt Mutanawwi’ah jld. XI hlm. 317-318. Riyadh: Dārul Qāsim, 1999.

[29] Misalnya HR. Al-Bukhāriyy no. 1120 jld. II hlm. 48.

[30] Misalnya penjelasan Al-Imām Ibnu Raslān dalam Syarḥ Sunan Abī Dāwūd jld. VI hlm. 496. Al-Fayyum: Dārul Falāḥ, 2016.

[31] Lihat: Ḥāsyiyah al-Jamal ‘alā Syarḥİ Manhajiṭ Ṭullāb jld. I hlm. 496 & At-Taghlibiyy, Nailul Maārib jld. I hlm. 162-163. Kuwait: Maktabah al-Falāḥ, 1983.

[32] Lihat: Himpunan Putusan Tarjih jld. I hlm. 383.

Exit mobile version