SURABAYA, Suara Muhammadiyah—Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali menggelar seminar pra muktamar, yang kali ini mengusung tema “Mendampingi Kelompok Difabel, Marginal, Dhu’afa dan Mustad’afin: Model Baru Pemberdayaan Sosial”. Kegiatan ini berlangsung secara daring dan luring yang dipusatkan di Auditorium At Tauhid Lantai 13 Kampus Universitas Muhammadiyah Surabaya (31/3/2022).
Dalam kesempatan itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy mengeingatkan tentang pentingnya menjaga spirit al-Maun. Sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhadjir mengharapkan Muhammadiyah dapat terus mengambil peran dalam penyelesaian masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, hingga tentang penanganan anak yatim.
“Orang-orang yang terpinggir karena berbagai alasan baik struktur maupun kultur sudah menjadi tugas Muhammadiyah untuk mendampingi dan membantu mereka. Ini bagian dari semangat Al Maun,” ujarnya. Situasi dan nasib kaum mustadl’afin disebabkan oleh banyak faktor, mulai problem kultural hingga struktural.
Surat Al Maun, kata Mauhadjir, diawali dengan pertanyaan yang mencengangkan tentang siapa yang mendustakan agama. Dalam surat tersebut, diterangkan bahwa orang yang mendustakan agama adalah mereka yang menelantarkan anak yatim dan orang miskin. Oleh Kiai Ahmad Dahlan, surat ke-107 dari al-Quran tersebut dijadikan sebagai teologi amal yang memberdayakan.
Muhadjir menyebut bahwa orang-orang yang senantiasa menghadirkan diri sebagai pelayan-pelayan bagi anak yatim diilhami oleh ideologi Al-Maunisme. “Saya sering menyebut, orang-orang Muhammadiyah yang konsisten kepada mereka yang terpinggirkan seperti yatim dan miskin adalah kaum al-Maunis,” ujar Muhadjir. Sebaliknya, orang-orang yang lalai dalam menolong anak yatim dan fakir miskin adalah para pendusta agama.
Salah satu pemateri seminar, Ketua PWM Jawa Tengah, Tafsir menceritakan tentang salah satu program unggulan yang dijalankan oleh PWM Jawa Tenga, yaitu pemberdayaan kelompok marjinal waria dan LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender). Menurut Tafsir, pemberdayaan kelompok LGBT itu diilhami oleh visi al-irsyadah atau mmembuka jalan kepada petunjuk.
“Berdasarkan pengertian agama Islam menurut Muhammadiyah, ada hadis ad dinu yusrun (agama itu mudah) dan keberagamaan yang terbaik adalah yang hanif, moderat, toleran. Ada prinsip yassiru wa laa tu’assiru (permudah, jangan persulit), basysyiru wa laa tunaffiru (sebarkan kabar gembira, bukan ancaman). Apalagi sesungguhnya surga jannatun naim itu menyapa semua orang, tidak pilih siapapun, termasuk kaum marjinal,” ulasnya.
Muhammadiyah memandang semua manusia sebagai hamba Allah yang punya kedudukan mulia dan harus diperlakukan selayaknya manusia. “Maka pendampingan kita ke sana adalah bagaimana kita memperlakukan mereka sebagai manusia yang berhak masuk surga serta membimbing mereka memahami fikih dalam beribadah,” ujarnya.
Di saat yang sama, Muhammadiyah ikut membantu penguatan ekonomi, memahami kultur, dan memberikan pendampingan. “Kita menolak LGBT sebagai gaya hidup, tapi kita tidak boleh semena-mena kepada orang yang menjadi korban dari LGBT. Kita memberantas kemiskinan, tapi tidak boleh sia-sia kepada orang miskin. Ingat, mereka tetap manusia yang punya hak surga seperti kita. Jadi, dakwah itu jangan hanya memahami ayat Alquran dan hadis saja, tapi dakwah pun harus memahami manusia. Kalau ingin dakwah berhasil, pahamilah manusianya,” tutur Tafsir.
Dari dakwah yang telah digerakkan selama bertahun-tahun oleh PWM Jawa Tengah, ratusan orang telah kembali ke jalan yang benar. Seseorang yang memiliki ketakwaan yang baik, ungkap Tafsir, sejatinya tidak berjarak dengansemua lapisan masyarakat. Tidak terseret arus atau ikut-ikutan. “Bangunlah mental bunga teratai, maka dia tetap bersih walaupun berada di tengah comberan,” ulas Tafsir. (ribas/ppm)
Baca juga:
Dakwah yang Memasuki Lorong Gelap dan Gemerlap