Pemaknaan Ihsan dalam Tradisi Keilmuan Islam

Pemaknaan Ihsan dalam Tradisi Keilmuan Islam

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Dalam hadis yang masyhur, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah didatangi oleh malaikat Jibril yang menyerupai sosok laki-laki. Di antara dialognya, dia bertanya, “…Beritahukan aku tentang ihsan.” Nabi bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Menurut Sukidi, pemahaman terhadap hadis ini bisa menjadi sangat mendalam dan beragam.

“Hadis itu memberi gambaran bahwa suatu ketika, Jibril menyapa Muhammad dan bertanya tentang apa itu Islam, iman, dan ihsan. Tentang Islam dan iman, Nabi menjawab dengan sangat gamblang, lalu Jibril membenarkan. Ketika ditanya tentang ihsan, jawabannya tidak seperti yang selama ini dipahami,” kata Sukidi dalam Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah pada 5 Ramadan 1443 Hijriah atau 6 April 2022.

Dalam hadis ini, ihsan tidak dipahami dengan makna umum: berbuat baik, memberi maaf, menahan diri dari amarah, dan seterusnya. “Dalam hadis ini, makna ihsan memberi curiosity. Jawaban pada hadis ini, ihsan tidak terkait dengan aktivitas sosial. Ihsan memberikan suatu penekanan tentang: menyembah Allah seperti halnya engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu.”

Sukidi menilai bahwa hadis ini memberi pemahaman bahwa teks agama memiliki keragaman makna dan penafsiran. “Dari sini tersirat bahwa, makna itu tidak tunggal. Makna itu cair, bisa beragam sesuai dengan konteks masing-masing. Makna kadang juga saling kontradiksi.” Hadis ini memberi makna tentang ihsan yang berbeda dengan makna yang sudah familiar. Dalam hadis ini, ihsan dimaknai oleh Nabi untuk memberi keyakinan bahwa Allah senantiasa melihat.

“Makna ini dalam rangka membedakan Islam dengan tradisi Yudaism. Dalam tradisi Yudaism, Musa meminta Tuhan untuk menampakkan dirinya. Pada akhir cerita, Musa bertaubat. Tuhan berbicara dengan Musa secara langsung.” Dalam hadis ini, ditegaskan bahwa jika kamu tidak mampu melihat-Nya, maka cukup sadari dan rasakan seolah engkau melihat-Nya.

Hadis ini dapat dipahami dalam konteks situasi historis bahwa Nabi berbicara dengan audience yang beragam. Nabi memberi pandangan tentang makna kehadiran Tuhan, yang berbeda dengan makna dalam tradisi Yudaism. Sukidi menjabarkan bahwa seiring terbentuknya suatu komunitas baru, Nabi dan para sahabat membuat suatu distingsi. Ibnu Abbas sebagai seorang sahabat yang meriwayatkan banyak sekali hadis dari Nabi, pernah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad dapat berbicara dengan Allah.

“Di tradisi awal Islam, riwayat yang saling kontradiksi itu hal yang biasa terjadi,” ungkapnya. Kontradiksi ini misalnya terdapat dalam tafsir Thabari hingga Suyuti. Misalnya tentang riwayat, mungkinkah Nabi melihat Tuhan di dunia? Aisyah menjawab, tidak mungkin. Ibnu Abbas menjawab bahwa Nabi dapat melihat Tuhan.

Sukidi mengingatkan bahwa tradisi keilmuan Islam dipenuhi dengan keragaman pandangan. Tentang melihat Tuhan di hari kiamat, hampir semua ulama sepakat. Perbedaan pendapat muncul tentang apakah mungkin melihat Tuhan di dunia? Muhammad melihat Tuhan dalam horison dan di sidratul muntaha. Muncul perbedaan pendapat lagi, apakah Muhammad melihat Tuhan dengan matanya atau dengan hatinya. (Ribas)

Baca juga:

Memaknai Ihsan di Era Disrupsi

Khutbah Idul Fitri 1439: Puasa Membentuk Keadaban Ihsan

Model Perilaku Dalam Muhammadiyah: Konsep Spiritualitas Ihsan (1)

Ramadhan sebagai Momentum Membangun Karakter Uswah Hasanah dan Jiwa Ihsan

Haedar Nashir: 8 Poin Pencerahan Solusi Hadapi Era Disrupsi

Exit mobile version