YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Sosok pemimpin ideal Persyarikatan sudah tergambar jelas pada produk-produk ideologi Muhammadiyah. Baik itu AD-ART Muhammadiyah, MKCH Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, PHIWM, dan lain sebagainya. Jadi tidak usah mencari ditempat lain, karena produk ideologi Muhammadiyah sudah lengkap. Hal ini disampaikan Tafsir Ketua PWM Jawa Tengah pada pengajian Ramadhan PDM kota Yogyakarta (10/4/22).
“Apa masih kurang dengan Ideologi yang ada?” tanya Tafsir sore ini kepada para peserta. Menurutnya, produk-produk ideologi yang ada sudah lebih dari cukup untuk mencari sosok ideal direktur rumah sakit Muhammadiyah, Kepala Sekolah Muhammadiyah, maupun sosok pimpinan di amal usaha Muhammadiyah lainnya. “Cukup mengacu pada landasan-landasan Muhammadiyah,” tegasnya.
Identitas Muhammadiyah sendiri, Tafsir menyederhanakannya, adalah amar makruf nahi mungkar dan tajdid. Terkait amar makruf nahi mungkar hampir semua sudah memahami. Tapi terkait tajdid, apa yang harus diperbaharui dalam agama? Apa yang perlu diperbaharui dalam Islam? “Tidak mungkin kita memperbaharui syariat. Islam sebagai syariat tidak mungkin berubah sampai kapanpun. Tidak mungkin ditajdid. Hanya Fikih dan budaya keagaman bisa diubah, bisa berubah,” jelas Tafsir.
Tentu perubahan tersebut berkaitan dengan ruang dan waktu. Ruang berubah paham agama bisa berubah. Waktu berubah fikih bisa berubah.
Kemudian, lanjutnya, berubah tidak semua ke arah progresif. Dan progresif atau bukan progresif (konservatif) bukan persoalan benar atau salah. Itu persoalan pilihan dan gaya saja. “Progresif itu orientasi masa depan, konservatif orientasi masa lalu. Konservatif bukan style Muhammadiyah,” terangnya.
Amar Makruf nahi mungkar dan tajdid Muhammadiyah tentu bersumber pada Al-Qur’an dan sunah. Namun dalam Muhammadiyah harus dimaknai dengan cara berfikir secara bayani, burhani, dan irfani. Bayani mampu menjelaskan dalil, burhani itu sejalan dengan IPTEK, dan irfani adalah kedalaman berfikir dan melibatkan hati nurani.
“Jadi pemimpin di Muhammadiyah tidak cukup menguasai dalil, tapi juga harus berwawasan ilmu pengetahuan, serta memiliki kearifan dalam memahami dan menyikapi segala sesuatu,” pungkasnya. (gsh).