YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof Dr H Haedar Nashir, MSi menghadiri acara Pengajian Ramadan yang diselenggarakan oleh Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Acara yang diselenggarakan pada Ahad 10 April 2022 M / 9 Ramadan 1443 H itu berpusat di Grha Ibnu Sina SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta dihadiri beberapa tamu undangan secara offline dan online. Khusus yang online, hadir dengan tetap mematuhi protokol kesehatan secara ketat dan berdisiplin tinggi mengingat acara tersebut diselenggarakan masih dalam suasana wabah pandemi Covid-19.
Dalam ceramahnya, Haedar Nashir memberikan ceramahnya secara zoom (online) dengan membawa tema “Kepemimpinan Profetik-Transformatif dalam Penguatan Organisasi Muhammadiyah”. Menurut Haedar, kepemimpinan profetik merujuk pada corak kepemimpinan Muhammadiyah yang niscaya bernapaskan Islam yang dalam rujukan nilai ajaran Islam berbingkai pada jejak dari Kenabian Muhammad Saw. Sejalan dengan kata Muhammad, jua dinisbahkan pada persyarikatan terbesar di Indonesia sebagai “Muhammadiyah” sebagai pengikut ajaran Nabi.
“Kepemimpinan dalam Islam itu proyeksi sekaligus di dalamnya fungsi dari nubuwah Nabi Muhammad Saw. Maka saya sebut sebagai kepemimpinan profetik, kepemimpinan kerisalahan, kepemimpinan kenabian,” tegasnya di acara Pengajian Ramadan tersebut.
Dalam konteks kepemimpinan kenabian ini, terdapat dua fungsi utama yang perlu digarisbawahi. Pertama, merawat, memelihara, dan menegakkan nilai-nilai ad-diin (agama Islam). Artinya bahwa Kepemimpinan Muhammadiyah yang melekat di dalam kepemimpinan kerisalahn, mutlak perlunya dan menjadi satu-kesatuan di dalam dirinya.
Kedua, mengurus urusan dunia dengan baik. Artinya, bahwa kepemimpinan dalam Islam meliputi urusan langit dan bumi, urusan dunia dan akhirat, urusan lahir dan batin. Di mana dimensi Islam dan dunia harus menjadi cakupan mengurus kepemimpinan.
“Artinya kepemimpinan profetik (kepemimpinan Islam) berbeda dengan kepemimpinan sekuler, yang hanya mengurus urusan dunia, tanpa ketertakaitan langsung dengan akhirat atau dengan agama”, imbuhnya.
Letak kepemimpinan profetik menjalar luas pada aspek urusan keagamaan dan keduniawian. Tidak gelondongan, artinya absolut dan tetap teguh pada dasar yang ada, tanpa ada menyangkut agama. Padahal ajaran agama harus dipahami dengan benar, dalam, dan sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah secara bayani (berdasarkan teks atau nash yang saling menginterpretasikan).
Tidak sekadar bayani, kepemimpinan profetik harus dipahami secara burhani (mendasarkan pada bukti atau dalil ilmiah yang pasti). Ada banyak dimensi ayat-ayat Al-Quran yang memerlukan pemahaman ilmu. Sehingga pendekatan burhani harus dilakukan.
“Memimpin Muhammadiyah dalam merawat, memelihara, dan menegakkan nilai-nilai agama Islam dengan merujuk pada Tarjih, mendalami, luas, komprehensif, dan satu sama lain,” jelas Haedar.
Tambahnya, “Orang Muhammadiyah ketika menjalani kepemimpinan tidak bisa hitam-putih, verbal, parsial, tetapi harus bisa melihat dimensi dunia secara keseluruhan.”
Kemudian, selanjutnya, Haedar menjelaskan bagaimana kepemimpinan untuk kepentingan perubahan? Menurutnya, KH Ahmad Dahlan merupakan kombinasi dari kepemimpinan profetik-transformatif. Kepemimpinan ini bermaksud ingin membawa sebuah perubahan yang semakin lebih baik pada persyarikatan Muhammadiyah ini. Beberapa ayat Al-Quran menyeru untuk kita melakukan perubahan (QS al-Hasyr [58]: 18).
Poin pentingnya, “Mari kita pahami ajaran Islam maupun dunia itu secara mendalam, luas, dan komprehensif, agar tidak memahaminya dengan hitam-putih, verbal, parsial, dan jangka pendek semata-mata, yang membuat kita menghadirkan Islam dan memandang kehidupan itu serba terbatas”, pungkas Haedar.
Dalam konteks kepemimpinan profetik-transformatif untuk meneguhkan penguatan Muhammadiyah harus dipahami kepemimpinan profetik, kemudian memahami Islam dan dunia secara mendalam luas dan komprehensif.
Penguatan organisasi dalam spektrum luas yang menjadi fungsi kepemimpinan Muhammadiyah harus menjadikan persyarikatan ini kuat secara kualitatif dan kuantitatif. Di samping itu, para pimpinan Muhammadiyah dengan orientasi profetik-transformatif difungsikan dengan baik, maka pemimpin-pemimpin Muhammadiyah akan menjadi pemimpin suluh bagi warga, masyarakat, dan umat.
Dalam pendekatan kepemimpinan, para pemimpin Muhammadiyah harus merujuk pada paham Islam dan ideologi Muhammadiyah, merujuk pada sistem yang berlaku dalam organisasi bukan kepemimpinan perorangan, dan membawa Muhammadiyah menjadi berkemajuan.
Kepemimpinan dan Muhammadiyah harus bisa melampaui pemikiran liberal-sekuler, konservatif, dogmatif, dan jumud. “Inilah kepemimpinan profetik-transformatif dan Islam berkemajuan”, tukas Haedar. (Cris)