YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sore ini (11/4), bakda ashar, gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Jalan Cik Ditiro No. 23 ramai dikunjungi warga-warga dari Sleman, Bantul, hingga Kulon Progo. Maksud kedatangannya ialah ikut dalam acara Diskusi dan Konsolidasi Korban Tambang Undang-Undang Minerba.
Acara tersebut diinisiasi oleh gabungan organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, yakni Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, LHKP PP Muhammadiyah, Walhi Yogyakarta, dan LBH Yogyakarta.
Bersamanya juga hadir tiga penanggap diskusi yaitu, Grita Anindarini dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), King Faisal Sulaiman perwakilan PP Muhammadiyah, dan Eko Teguh Paripurno atau Kang Et dari Pusat Studi Managemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta. Sepanjang acara ini dimoderatori oleh Era Havera sebagai representasi LBH Yogyakarta.
Sebagai pembuka, turut hadir M. Busyro Muqoddas yang menyampaikan konteks masalah masyarakat hari ini akibat terbitnya UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Napas keserakahan elite-elite pemerintaha telah menciptakan fenomena eksploitasi tambang yang merusak lingkungan. Sebagaimana diungkapkan Busyo Muqoddas, “UU Minerba baru ini melahirkan kleptokrasi dan predatorik”.
Tidak lupa, beliau menyuntikkan semangat perjuangan kepada para hadirin sore ini yang berasal dari berbagai latar namun satu dalam gelombang demokrasi. Disampaikannya, pertemuan ini semoga bisa memperdalam pemahaman kita semua atas kasus-kasus pertambangan ini serta menelurkan rencana tindak lanjut yang konkret.
Kesaksian Warga Korban Penambangan
Berlanjut pada acara inti, empat perwakilan masyarakat dari empat titik pertambangan di Daerah Istimewa Yogyakarta bergantian saling memaparkan kondisi terkini di daerahnya.
Diawali dari Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP). Disampaikan di forum ini, betapa sudah lelahnya mereka berdiskusi hingga wawancara liputan media. Bukannya titik terang yang didapatkan, melainkan kriminalisasi dari aparat kepolisian dengan alasan menghalangi aktivitas pertambangan.
Pada kesempatan berikutnya, warga pesisir Desa Banaran, Kulon Progo, menceritakan perubahan lingkungan dan ekosistem yang terjadi akibat penambangan. Salah satunya kenaikan air laut yang mulai dirasakan. Buktinya, bila memancing di sungai hari ini, maka kita akan mendapatkan ikan air laut. Belum lagi air sumur yang mulai terasa asin. Tentu, perubahan-perubahan semacam ini merugikan masyarakat.
Selanjutnya, kesaksian dari warga Dukuh Nengahan, Kecamatan Srandakan, Bantul, yang kondisi hari ini sedang menunggu putusan Kasasi. Mereka menggugat keberadaan penambangan pasir yang sejak 2017 sudah ditolak kedatangannya, namun Izin Usaha tetap terbit tanpa transparansi.
Cerita terakhir datang dari kawasan Gunung Merapi, Dusun Turgo, Desa Purwobinangun. Perusahaan tambang pasir yang mengancam hulu Sungai Boyong ini tidak hanya berdampak langsung pada resapan dan ketersediaan air di sana, tetapi juga pada daerah aliran sungai di bawahnya.
Sedikit lebih beruntung, mereka mendapat bantuan dari pihak Taman Nasional Gunung Merapi yang mengarahkan upaya konservasi pada pengajuan status kawasan warisan geologi. Akan tetapi, perjuangan ini tetap membentur administrasi pemerintah yang berbelit-belit.
Meskipun lelah hingga ancaman dikriminalisasi, keempat kelompok warga pejuang ini terus berusaha mempertahankan hak lingkungan hidup mereka. “Ini bukan cuma buat kami, juga anak cucu nanti,” tukas seorang warga.
Dukungan Para Ahli untuk Warga
Dari sisi hukum lingkungan, Grita menyepakati bahwa revisi UU Minerba tahun 2020 memang bermasalah. Itu hanya memberi jaminan kepada pebisnis. Bahkan, ketentuan status kritis pada DAS Opak, Kulon Progo, dan DAS lainnya tetap tidak bisa menghentikan penambangan. Pada penutup, ia juga menyampaikan beberapa rekomendasi saluran perjuangan yang bisa ditempuh.
“Ini di luar batas kewarasan,” demikian Kang Et memulai kalimatnya. Kecacatan UU Minerba baru ini dilihatnya dari sisi ketiadaan pertimbangan risiko bencana akibat pertambangan. Padahal, kajian risiko ini perlu dihitung kerugian lingkungannya.
Aspek kecacatan implementasi Pasal 162 UU Minerba 2020 mengenai pidana kepada penghalang aktivitas penambangan dikemukakan lagi oleh King Fasial. Aparat kepolisian yang berlindung di balik tameng pasal ini jelas sudah salah logika karena harusnya konteks kerusahan lingkungan akibat tambang juga dibaca bersamaan.
Di penghujung diskusi, King Faisal juga mengajak semua pihak yang hadir untuk berkonsolidasi dan mengevaluasi langkah perjuangan sebelumnya. Dengan demikian, kita bisa meneruskan perjuangan lingkungan ini lebih baik, “Inilah musuh bersama kita”.
Selepas Shalat Magrib dan berbuka puasa, acara dilanjutkan dengan menyusun rencana tindak lanjut. Salah satu keputusannya ialah memperkuat jejaring dan forum solidaritas bersama ini. (ykk)