Oleh: Abdul Lathif Arridha
(Ketua PCI Muhammadiyah Arab Saudi 2019-2021)
Al-Quran menyebutkan indikator khasyyah kepada Allah yang dimiliki khusus oleh ulama. Allah berfirman, “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama” (QS. Faathir/28). Ibnu Katsir menjelaskan bahwa khashyah ini dimiliki oleh mereka yang mengenal Allah. Semakin sempurna makrifatnya, semakin besar rasa kashyah-nya. Dan itulah yang diwarisi oleh para ulama dari para nabi, khususnya nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Dalam haditsnya beliau bersabda, “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Dawud/3631(. Proses pewarisan ilmu dan makrifat dilakukan secara mulazamah yang panjang dan turun temurun.
Menurut teori Mahmud Yunus, proses pendidikan ditentukan oleh keberadaan guru sebagai teladan. Dengan kata lain, proses pendidikan adalah proses peneladanan. Inilah yang menjadi tradisi para ulama dalam mewarisi ilmu. Demikian yang dimulai oleh para sahabat dalam meneladani Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sesuai dengan firman Allah, “Telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah” (QS. Al-Ahzab/21)
Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan salafiyyah tajdidiyyah dengan warga binaan puluhan juta, tengah menghadapi krisis ulama dalam gerakannya sebagai pengayom umat Islam. Kenyataan di lapangan, banyak sekali ranting, cabang, bahkan tingkat daerah binaan Muhammadiyah yang tidak memiliki ulama yang kompeten apalagi memahami ideologi dan manhaj gerakan Muhammadiyah.
Hal ini tidak disebabkan oleh kurangnya lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah-ribuan lembaga Pendidikan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi telah dimiliki-, tetapi karena kurangnya proses pendidikan dalam arti peneladanan. Makna pendidikan telah menyempit menjadi sekadar pengajaran, sekadar transmisi pengetahuan.
Disisi lain, Muhammadiyah memiliki pesantren dan boarding school untuk mendidik santri. Tentu para santri kedepannya diharapkan mampu menjadi ahli dalam bidang agama yang dapat menjadi mundzirul-qaum. Tetapi faktanya, Pendidikan di pesantren dan boarding school kini tidak lagi fokus untuk pengajaran agama, tapi juga ilmu-ilmu sains, dll. Makna pesantren sekarang meluas menjadi lembaga Pendidikan berasrama bukan hanya Pendidikan agama, santri menjadi peserta didik yang belajar di pesantren/boarding school bukan hanya penuntut ilmu agama, ustadz adalah pengajar di pesantren/boarding school bukan hanya pengajar ilmu agama, kiyai adalah direktur pesantren/boarding school bukan hanya seorang alim saleh yang menjadi sentral figur yang diteladani.
Wajar saja bila kini kita dapati, sebagian alumni dari lembaga-lembaga Pendidikan Muhammadiyah tidak kompeten menjadi Imam dan khatib di masjid-masjid persyarikatan. Bahkan di tingkat daerah, pengurus terpaksa merekrut ustadz atau alumni dari ormas atau kelompok di luar Muhammadiyah yang memiliki kesamaan ideologi dengan Muhammadiyah untuk menjadi imam dan khatib di masjidnya. Sisi positifnya, selain menutup kekurangan hal ini juga menjadi strategi dalam me-muhammadiyah-kan yang belum menjadi Muhammadiyah. Sisi negatifnya, beberapa masjid yang dibangun oleh warga persyarikatan di atas tanah wakaf, kita dapati beralih keluar dari persyarikatan, mengikuti ustadz yang mengisi di sana.
Maka kaderisasi ulama dan muballigh di Muhammadiyah menjadi urgen dan esensial. Ini merupakan tantangan dan tanggungjawab bagi pengurus dan kader di setiap tingkat.
Upaya untuk memenuhi hal itu sudah telah dilakukan persyarikatan dengan pendirian PUTM (Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah), kerjasama dengan Ma’had Ali binaan AMCF, pengadaan pelatihan dan workshop, dll. Tetapi sejauh ini hasilnya belum lagi menjawab kebutuhan yang diperlukan di seluruh binaan persyarikatan. Ditambah lagi minat warga yang masih rendah menyambut program yang ada.
Dalam suatu kesempatan, KH Muhyiddin Junaidi pernah mengatakan bahwa salah satu kesalahan persyarikatan di masa lalu adalah banyak mengirim kader-kader ke barat untuk ilmu umum, dan kurang mengirim ke timur tengah untuk ilmu agama.
Maka diharapkan kader-kader ulama yang belajar di luar negeri yang jumlahnya masih sedikit itu untuk kembali ke persyarikatan. Khususnya dari mereka yang berlatar belakang Muhammadiyah, ataupun yang aktif di PCIM. Bukan sekadar kembali, tetapi diharapkan juga untuk menggandakan diri, mengkader anak didik, menyebarkan ilmu yang telah didapat selama studi di luar negeri. Demikian yang dilakukan dan dicontohkan KH. Ahmad Dahlan, KH. Mas Mansur, Buya Hamka, Buya Yunahar, dll.
Permasalahan lain yang dihadapi di lapangan adalah dakwah mubaligh muda yang kurang sesuai dengan kebutuhan solusi dari masalah yang dihadapi masyarakat. Isu-isu sosial keagamaan kontemporer seakan terlalu dini diberikan kepada masyarakat yang masih membutuhkan dakwah tauhid. Kalaulah dulu ada yang disebut penyakit TBC (Tachayul, bid’ah, churafat), tampaknya di beberapa wilayah penyakit ini masih belum hilang. Kemampuan membaca kebutuhan dakwah adalah soft skill yang wajib dimiliki para muballigh.
Dengan segala kekurangan dan rintangan yang ada, kiranya kader-kader ulama di persyarikatan Muhammadiyah tetap terus optimis memikirkan dan bekerja keras untuk pengkaderan penerusnya. Sebab ke-ulama-an adalah warisan para ulama, bukan ditentukan oleh status sosial ataupun struktural.
Abdul Lathif Arridha, Ketua PCI Muhammadiyah Arab Saudi 2019-2021