Oleh: Ilham Ibrahim
(Ketua Div. Kajian dan Keilmuan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan)
Satu hal yang spesial dari Pimpinan Cabang Muhammadiyah Cibiuk (PCM Cibiuk) adalah program Muthala’ah. Pada awalnya, pandanan kata “Muthala’ah” ini sebetulnya digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran dalam dunia pendidikan. Namun, kata ini kemudian digunakan secara kreatif oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PCM Cibiuk sebagai salah satu kegiatan ketarjihan.
Muthala’ah merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung sejak lama di kawasan kecamatan Cibiuk, Garut. Saya tidak tahu persis kapan kegiatan ini pertama kali dilakukan. Namun yang jelas aktivitas Muthala’ah telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat. Hal itu merupakan pengejawantahan dan tanggung jawab ulama dalam memandu kehidupan keagamaan masyarakat sekitarnya.
Dalam Muthala’ah edisi terakhir yakni pada hari Kamis (12/05/2022) yang berlangsung di Aula Masjid Al Muhajirin Muhammadiyah Boarding School (MBS) Al-Furqon Cibiuk, tema yang diangkat cukup sensitif yaitu tentang Konsep Tauhid di kalangan Ahlu al-Sunah wa al-Jamaah.
Tauhid adalah keyakinan mengenai Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang tidak beroknum dan bersekutu. Menurut pimpinan MBS Al-Furqon Cibiuk Cep Dahlan, pembahasan soal konsep Tauhid ini merupakan topik yang telah banyak dibahas para ulama di masa silam. Sekurang-kurangnya ada dua kelompok besar dari kalangan Ahlu al-Sunah wa al-Jamaah dengan pendekatan yang berbeda dalam membahas konsepsi tauhid ini, yaitu: Asy’ariyah dan Salafiyah.
Tauhid Menurut Asy’ariyah
Paparan Imam Al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek: dzat, shifat, dan af‘al. Dalam aspek dzat, Allah sebagai satu-satunya entitas yang tidak bermula dan tidak berakhir (qadim dan baqa). Hanya Allah yang menempati posisi eksistensi absolut (al-wajib al-wujud), sementara ciptaan-Nya hanya bersifat nisbi (al-mumkin al-wujud). Hal tersebut dapat terjadi karena menurut Al-Ghazali, Allah tidak tersusun atas atom (‘aradh) dan aksiden (jawhar) sehingga sangat mustahil disamai dan diserupai oleh makhluk-Nya.
Dalam aspek shifat, kalangan Asy’ari menolak keras penggambaran (takyif) dan penyerupaan (tasybih) karena sifat Allah tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana dzat Allah tidak seperti dzat ciptaan-Nya. Dalam tradisi ilmu kalam perkara ini disebut dengan tanzih, yakni menghindarkan Allah dari hal-hal yang menyerupai makhluk dan sifat manusia. Dalam bahasa al-Qur’an, kita kenal dengan ungkapan laisa ka mitslihi syai’un yang artinya tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Dalam aspek af’al, kalangan Asy’ari mengatakan bahwa Allah telah menciptakan dan mengatur seluruh realitas alam semesta. Karena memiliki sifat qudrah dan iradah, Allah mengetahui persoalan-persoalan juz’iyyat, mengetahui segala rahasia yang disembunyikan, mengambil bagian dalam proses-proses kehidupan manusia, sehingga kekuasaan Allah atas makhluk-Nya begitu mutlak.
Tauhid Menurut Salafiyah
Paparan Salafiyah, terutama yang dikomandoi Ibnu Taimiyah, mengatakan bahwa konsepsi tauhid dari kalangan Asyariyah tidak lengkap. Karena mereka hanya membahas satu aspek dari tauhid yakni Rububiyah semata dan melupakan unsur Uluhiyah. Padahal, tauhid Uluhiyah merupakan esensi paling utama dari konsep tauhid sebab mengesakan Allah dalam hal ibadah. Dengan kata lain, persoalan ibadah harus benar-benar berlandaskan dalil Al Quran dan al Sunah agar tidak menyimpang.
Bagi kalangan Salafi, seorang muslim yang bertauhid Uluhiyah telah secara otomatis melakukan tauhid Rububiyah, sedangkan orang kafir—bisa jadi—hanya Rububiyah. Singkatnya, orang-orang non muslim yang meyakini Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, sekurang-kurangnya mereka telah memiliki tauhid Rububiyah. Namun Ibn Taimiyyah membatasinya bahwa kaum musyrikin Arab mengakui keesaan Allah SWT dalam menciptakan langit dan bumi, tetapi itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan karena mereka menyekutukan-Nya dalam ibadah.
Selain Rububiyah dan Uluhiyah, Salafiyah turut mengenalkan tauhid al-asma’ wa al-shifat. Dalam memahami nama dan sifat Allah, haruslah menegasikan segala yang berlawanan dengan kemahasempurnaan Allah. Dengan tegas, nama dan sifat Allah harus bersandar pada prinsip tauqifi atau penetapannya berdasarkan Quran-Sunnah serta tidak memberi wewenang kepada akal manusia.
Tauhid Menurut Muhammadiyah
Di Muhammadiyah, persoalan akidah dibahas dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Kitab Iman sebagai keputusan Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929. Dalam putusan tersebut, Muhammadiyah sendiri tampaknya tidak ingin banyak terlibat dalam perkara ilmu kalam. Muhammadiyah ingin terlepas dari perdebatan teologis yang tidak produktif antara Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan lainnya.
Satu sisi, butir-butir tauhid yang dituntunkan oleh Muhammadiyah dalam HPT ini mirip dengan konsep 13 atau 20 sifat wajib bagi Allah khas Asy’ariyah. Namun, dengan catatan bahwa Muhammadiyah menghindari untuk membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal, sehingga cukuplah berpikir mengenai makhluk-Nya untuk membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Muhammadiyah juga menganggap bahwa sifat Allah tidak terbatas karena Allah itu Maha Mutlak tanpa adanya batasan.
Di sisi yang lain, uraian Kitab Iman dalam HPT ini lebih mirip dengan cara penulisan Salafiyah, persoalan akidah dijelaskan melalui ayat-ayat dan hadis. Kitab Iman dibangun di atas landasan rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam dan diikuti dengan dalil-dalil yang meneguhkan keimanan dan keyakinan umat. Akan tetapi, penjelasan iman ini juga berbeda dengan kalangan Salafi, Ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang membagi tauhid menjadi tiga bagian: Rububiyah, Uluhiyah dan asma’ wa sifat.
Kesimpulan Hasil Muthala’ah
- Dalam diskusi di Muthala’ah, para peserta yang hadir nampaknya tidak ada penolakan konsepsi tauhid dibagi menjadi tiga lapis: Rububiyah, Uluhiyah dan Asma’ wa Sifat. Namun dengan catatan, seseorang yang tidak beribadah kepada Allah dan beramal saleh sesuai dengan tuntunan Al Quran dan al-Sunah, meskipun meyakini bahwa Allah pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, tetap dikategorikan sebagai individu yang tidak bertauhid alias kafir.
- Pada persoalan keberadaan Allah, para peserta Muthala’ah berbeda pandangan. Satu pendapat mengatakan bahwa Allah berada di atas langit (QS. Al Mulk: 16) tepatnya bersemayam di atas ‘arsy (QS. Thaha: 5). Bahkan dalam Quran terkadang menggambarkan tentang ketinggian Dzat Allah (QS. Al-Ma’arij: 4). Pendapat lainnya mengatakan bahwa Allah tidak di atas melainkan ada di mana-mana dan begitu dekat dengan kita (QS. Qaf: 16 dan Al Baqarah: 186). Pandangan lainnya mengatakan bahwa keberadaan Allah itu bersifat transenden sekaligus imanen.
Beberapa Catatan Kritis
- Sepengetahuan saya yang baru mengikuti kegiatan Muthala’ah secara serius, hasil dari suatu pembahasan seolah tidak terdokumentasikan dalam sebuah catatan khusus. Jadi seperti dibahas panjang lebar kemudian ditulis poin-poin penting, setelah itu diumumkan dalam masyarakat yang terbatas. Warga masyarakat yang hadir jadinya tidak mendapat pencerahan.
- Di dalam forum Muthala’ah ini saya melihat perempuan bukan hanya tidak diberikan suara untuk berpendapat, tetapi juga tidak mendapatkan tempat untuk duduk bersama menyimak kegiatan ini. Perempuan diperkerjakan hanya untuk mengurusi konsumsi semata, tapi tidak dilibatkan di dalam forum diskusi. Padahal saya percaya ada banyak perempuan di PCM Cibiuk yang memiliki pemahaman keagamaan yang cemerlang dan berwawasan luas. Sekurang-kurangnya mereka akan memberikan warna dan cara pandang yang baru.
Penutup
Muthala’ah merupakan kegiatan akademik yang sangat dinamis dan demokratis. Kegiatan ini bukan diskusi biasa atau debat kusir khas sosial media, melainkan forum ilmiah dewasa karena kita dipaksa agar kembali membuka teks-teks otoritatif yang tidak hanya bersumber daripada al-Quran dan al-Hadits, tetapi juga pendapat ulama dalam Kutub al-Mu’tabarah.
Akhir kata, semoga saja kegiatan Muthala’ah terus berkembang menjadi bagian dari tradisi yang khas dan unggulan dari masyarakat Muhammadiyah Cibiuk, Garut, Jawabarat.