Kayangan telah menjadi dusun hidup oleh kerukunan keagamaan yang bertalu-talu. Kerukunan warga yang kental dengan kehidupan abangan dan santri menjadi pemandangan yang menyenangkan. PadaMaret 1948, Van Mook amat rindu dengan Hindia Belanda dan ingin menginjakkan kakinya ke tanah Semenanjung. Ia banyak mendapatkan cerita tentang tanah semenanjung dari opsir-opsir Belanda, namun Ia terus membunuh kerinduannya dengan melakukan kerja lembur membuat strategi perang melawan sisa-sisa bala tentara Jepang.
Ia tidak mau diam di antara gundukan gunung di tepian selat Bali, sorot matanya memandang ke arah jendela tangsi. Dari jeruji jendela dipandangnya ombak berkejaran tunggang langgang ke arah barat. Ia makin asyik memainkan rokok cerutunya sambil sebentar-sebentar menyemburkan asap putih berbentuk bulatan, dan sorot matanya yang biru membayangkan suburnya tanaman tembakau di Deli. Ia sangat sehat, tidak terdengar batuk-batuk sebagaimana ketika masih berada di Belanda.
Tahun hampir berujung, namun perasaan was-was selalu menghantui warga desa. Para penduduk Desa Kalipahit terus melakukan penjagaan melalui semenanjung Purwo, mereka tetap terngiang dalam benaknya dengan kebengisan Belanda yang pernah memporak-porandakan Blambangan dalam perang Puputan Bayu tahun 1771-1772. Sebuah fakta yang dituturkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Namun beberapa warga terpelajar, juga membenarkan peristiwa itu dari buku C. Lekkerkerker, sejarawan Belanda yang pernah berkunjung dan menulis tentang masa lalu bumi Blambangan. Mereka juga masih sangat ingat dengan nama Rempeg, Jagapati, dan Wiraguna. Pejuang yang malang melintang menggusur kekuatan Kompeni di masa lalu. Mereka terus membaca lukisan sejarah bangsanya, membekali kakuatan dengan spiritual keagamaan yang kental, seperti pernah dicontohkan ulama pejuang Sultan Abdul Kamit Herucakra yang menguasai Gua Selarong dan Tegalrejo-Yogyakarta.
Beberapa hutan yang belum dijamah manusia mulai dibuatkan lubang-lubang pengintaian, ditanami padi gaga, dan pisang awak agar cepat menghasilkan. Ibu-ibu desa dengan pakaian kejawaan telah mempersiapkan bekal sarapan pagi dalam dua minggu ini. Hampir seluruh dapur mengepulkan asap kayu bakar, dan mengirimkan aroma jagung rebus, gulai ikan laut, serta ingkung ayam kampung siap saji. Penduduk Mentaraman yang betah tirakat itu makin memperkuat diri dengan membekali pencak silat, beladiri, dan harakiri yang pernah diwariskan oleh Dai Nippon beberapa tahun silam.
Blambangan sebelah selatan telah menjadi ramai, terbentuk perkampungan madani yang tahan uji. Tirto Samudro, kepala desa Grajakan juga mengakui bangga akan kemajuan ini, ia justru makin takut pada Tuhannya, ketika desanya harus menjadi ramai tetapi sepi. Dusun Kayangan juga tidak mau ketinggalan, kemajuan perkampungan telah menggembirakan, perkebunan dan persawahan telah berkali-kali panen, kaum tani pandai mengolah tanah dan meningkatkan hasil panen. Pupuk kandang yang diajarkan oleh para pendahulu desa Kalipahit, kini telah meningkatkan derajat kemaslahatan warga.
***
Angin buritan berhamburan dari utara ke selatan. Rombongan kapal-kapal milik NICA mengantarkan pejabat tinggi menuju selatan. Selat Bali melambaikan senyumnya, dan ribuan ombak menuntunnya ke arah belantara Purwo. Mook dan stafnya telah seminggu tertidur pulas di dak kapal. Para abdi koloni tampak membuang sauhnya ke selat sempit yang keramat itu. Mereka terus berdoa di antara tebing Bali dan Jawa, sambil merancang strategi menghancurkan masa depan pribumi.
Mereka juga mengakui, bahwa kawan-kawannya banyak berada di Madiun dan Yogyakarta. Kekuatan pertahanan juga difokuskan di Jawa sisi barat. Jendral Spoor, panglima angkatan perang sudah berhasil mematangkan strategi di darat dan laut. Ia menggalang kaum pribumi untuk mencapai tujuannya. Ia lakukan kompromi masal dengan penduduk desa di sekitar pedalaman alas Purwo.
Blambangan dianggapnya memberikan sumbangan yang besar untuk kekuatan perang. Ia membuat petapeta penyerbuan, mengasah pisau, dan membersihkan ratusan mortir baru dan bekas, serta menata bayonet. Sementara itu keker pemantau juga terus diarahkan ke tanah semenanjung. Dilihatnya rusa, banteng, harimau, ular dan beberapa burung warisan Majapahit berhamburan masuk hutan. Ia membayangkan betapa kejamnya belantara Purwo pada siang dan malam.
Kapal nomor 6 segera menepi, dilemparkannya sauh dan tali usang kapal itu. Lalu anak buah Pinke turun ke tepian selat. Ia mengikatkan tali kapal pada pohon mindi dan sengon di tepian sisi kiri. Sedangkan suara penduduk menebang kayu terdengar bertalu-talu. Anak-anak desa juga terdengar menjerit-njeirt. Pinke menduga, bahwa di pedusunan itu telah terjadi huru-hara. Ia mencoba menancapkan kekernya ke arah keramaian, namun yang dilihatnya tetap harimau, keledai dan banteng yang kejam dan bengis. Ia terus memutar-mutar otaknya, antara masuk hutan atau tetap di atas kapal.
Kolonel Surio Santoso, seorang sekretaris negara urusan keamanan dalam negeri pada ”Pemerintah Federal Peralihan”, berjalan dengan dua muka. Ia sudah terikat kontrak dengan NICA tetapi juga kasihan melihat kulit-kulit coklat dibungkus karung goni di bumi Blambangan. Ia pun berjalan di antara dua keraguan. Ketika menembaki penduduk, dimuntahkannya dulu ratusan amunisi lalu dikantongi, kemudian ditembakkan cerobong kosong pada keramaian.
Spoor, Pinke, dan Mook terlihat kegirangan dan mengangguk-angguk di atas gerdon yang pernah dijadikan batu sandaran oleh Sarjani dan kawan-kawannya. Ketika mengingat masa lalu di Madiun, orang-orang di sekitar Mook selalu makin emosi dan menerjangkannya pada orang-orang merah di Kayangan. Daerah yang akan dibumihanguskan oleh sekitar 450 pasukan Belanda yang telah lama menetap di Jawa. Mook masih sibuk dengan radio panggilnya, di pinggang kanan-kirinya terpasang pestol buatan kompeni.
**
Surio dan ratusan serdadu Belanda lainnya menepi di pelataran masjid dusun Kayangan. Sepanjang malam disusun strategi bagaimana harus membumihanguskan Kayangan yang telah menjadi sarang kaum merah itu. Para bekas anak buah Muso itu telah beranakpinak di Kayangan. Mereka membangun pusat pemerintahan model Eropa dan selalu melakukan keributan-keributan masal. Beberapa pejabat penting golongan merah berencana membantai tokoh-tokoh Muslim, menghancurkan, dan mengambil alih kepemilikan mereka.
Ketika rombongan pasukan Surio menuju arah selatan, didengarkannya isuisu menggemparkan itu. Mereka langsung menembakkan mortir dan menghancurkan Kayangan dari sisi barat, utara, dan timur. Kaum Muslim tradisional yang telah dalam sangkar penyiksaan kaum merah, lepas kendali dan menyelamatkan diri ke mushala-mushala dan rumahrumah ulama setempat. Di antara mereka ada guru-guru Volkscholl, pegawai desa, dan guru-guru ngaji. Mereka sangat berterima kasih kepada Surio dan pasukannya, karena secara tidak sengaja mengusir gerakan sparatis kaum merah di Kayangan. Beberapa hari sesudahnya diadakan selamatan bersih desa. Surio dan abdi-abdi Koloni lainnya masih terus menikmati santapan makanan pedesaan yang alami.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan darat ke arah hutan Jatirejo dengan mambawa sejuta kenangan. Van Mook telah menanti kehadiran pasukan Surio di Yogyakarta. Mereka melakukan perjalanan melalui bibir pantai Samudra Hindia dan pindah ke darat di pelabuhan Cilacap. Di sana para pejabat Republik sudah bersiap dalam perundingan diplomasi.
Kayangan meninggalkan situs sejarah lokal yang tidak terurus lagi. Beberapa bekas sumur, bak mandi, fondasi dapur, dan serumpun nisan pemakaman, di tepi lereng gunung Purwo itu telah menjadi tanda mata bagi pribumi Blambangan, wilayah Kolonial Belanda, dan para pertapa dari penjuru negeri. Di dekat sumber mas itu, Kayangan menyapa dengan tangannya yang indah kepada anakanak bangsa dari masa ke masa.