MAGELANG, Suara Muhammadiyah – Burhanuddin Muhtadi, MA., PhD selaku Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia menjadi salah satu pembicara dalam acara Seminar Pra Muktamar dan ‘Aisyiyah ke-48, di Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMA), Senin (23/5).
Burhanuddin menyampaikan meminjam pandangan Cos Mudde (2013) menyatakan bahwa populisme sebagai one of the most contested concepts in the social sciences, yakni salah satu konsep yang paling diperebutkan dalam ilmu sosial. Francisco Panizza (2015) juga berpendapat populisme menjadi it has become almost a clinche to start writing on populism by lamenting the lock of clarity about the concept, sudah hampir menjadi clinche untuk mulai menulis tentang populisme dengan meratapi kunci kejelasan tentang konsep tersebut.
Terdapat tiga kriteria utama populisme yang Burhanuddin nukil dari Meny dan Surel (2022). Yakni menitikberatkan aspek pengkhianatan elite dan anti status-quo. Kemudian penekanan pada rule of the people (aturan rakyat). Dan primacy of the people direstorasi dengan pemimpin yang kharismatik.
Dari sini, maka Burhanuddin meringkas bahwa populis itu pertama, anti elite. “Jadi kalau ada politisi, aktivis yang menyuarakan anti elitisme, dan itu biasanya seorang populis,” katanya saat memberikan seminar. Kemudian yang kedua, anti pluralist. Seorang populis itu cenderung merasa kelompoknya yang paling benar. Dan karenanya menolak demokrasi sebagai sesuatu yang bersifat plural.
“Jadi konsep poliarki itu tidak dipahami oleh kaum populis. Jadi karena mereka menyuarakan mengatasnamakan rakyat (majoratianisme), maka kelompok minoritas tidak penting,” paparnya.
Ketiga, moralists. Hal ini merasa memperjuangkan panji-panji wilayah agung yang paling bermoral.
Populisme bisa berasal dari spektrum kiri (left) atau kanan (right). Populisme tak pernah berada di ‘Jalan Tengah’. Ini karena ‘populisme’ hampir sepenuhnya anti-kemapanan elite politik. Populisme muncul dan berkembang hanya di negara-negara demokrasi. Ia nyaris tidak muncul di negara otoriter yang tidak memberikan ruang kemapanan, yang mengancam status-quo kekuasaan rezim otoriter. Begitu juga di Indonesia, ‘populisme’ politik identitas (Islam) muncul belakangan ini berkat demokrasi sejak 1999 (Azra, 2019).
“Populisme bisa muncul dibanyak tempat, baik di demokrasi, non-demokrasi. Dalam kasus di Indonesia, termasuk di banyak negara, populisme itu memanfaatkan majoratianisme. Di Indonesia yang kebetulan mayoritas Islam, makanya populisme selalu berkelindan dengan politik identitas. Karena identitas majoritas itulah yang dianggap pas dengan semangat mereka yang paling menyuarakan masyarakat banyak,” pungkasnya.
Sebagian sarjana melihat populisme dalam kacamata positif. Ia diibaratkan seperti ‘gejala sakit kepala’ untuk mengingatkan elite politik atas kelemahan demokrasi keterwakilan (Dewiks, 2009). Lebih lanjut, Taggart (2000) menilai populisme sebagai indikator kesehatan sistem demokrasi representatif atas kemungkinan tidak berfungsinya salah satu atau beberapa organ sistem politik. Istilah populisme bagi Panizza (2005) sebagai “cermin demokrasi” agar para elite tidak lupa menyerap sebesar-besar kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan.
Burhanuddin menyitir Meny dan Surel (2002) menyebut populisme sebagai ‘patologi atau korupsi demokrasi’ karena kaum populis cenderung memanfaatkan disilusi publik atas praktik demokrasi demi kepentingan politik elektoral sesaat, propaganda dan kharisma personal dalam rangka menarik konstituen, ketimbang tampil sebagai edukator. “Kaum populis terlalu menggantungkan pada iktikad baik para pemimpin. Mereka lupa bahwa iktikad baik saja tidak cukup jika tidak dibantengi sistem yang mampu mencegah lahirnya diktator-diktator baru dengan mengatasnamakan populisme,” tukasnya.
Populisme pada dasarnya bersifat ekslusif. Retorika kaum populis seringkali bersifat intoleran, rasis, dan xenopobia untuk mengeliminasi tudingan mereka terhadap kelompok-kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik mereka. Populisme membuat demokrasi elektoral kita menjadi setback, mendorong ke arah perdebatan yang tidak produktif dan tendensius serta menebalkan politik identitas. (Cris)