Populisme Keagamaan dan Tantangan Muhammadiyah

Populisme Keagamaan dan Tantangan Muhammadiyah

MAGELANG, Suara Muhammadiyah-Universitas Muhammadiyah Magelang menjadi tuan rumah seminar Pra-Muktamar pada 23 Mei 2022, yang mengusung tema “Dakwah Muhammadiyah di Tengah Populisme dan Evangelisme”. Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menjadi pembicara kunci. Adapun narasumber: Jacky Manuputty, Buhanuddin Muhtadi, Irfan Junaidi, Fathurrahman Kamal, Ai Fatimah Nur Fuad, dan Agus Miswanto. Seminar ini diharap memberi masukan gagasan bagi pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta.

Populisme menjadi istilah yang cair dan kerap digunakan di bidang kajian politik, budaya, hingga keagamaan. Dadang Kahmad mengupas persoalan populisme keagamaan yang menjadi salah satu tantangan Muhammadiyah ke depan. Menurutnya, gejala populisme keagamaan perlu menjadi perhatian gerakan dakwah keagamaan. “Masa yang akan datang bagi Muhammadiyah akan lebih rumit lagi,” ujarnya.

Beberapa pengamat, kata Dadang, memberi pujian bahwa Muhammadiyah selama seabad pertama dapat disebut sebagai organisasi tersukses di muka bumi. Di abad kedua, Muhammadiyah menghadapi tantangan yang jauh berbeda. Ia mengutip pernyataan KH Ahmad Dahlan, “Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu, hendaklah muda-mudi Muhammadiyah terus menuntut ilmu pengetahuan. Menjadilah dokter, sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan kembalilah ke Muhammadiyah.”

Dalam amatan guru besar sosiologi UIN Bandung ini, populisme keagamaan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: kemajuan teknologi, perubahan masyarakat, ajaran yang dipahami. Berubahnya cara beragama dan belajar agama, terutaam dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital dan menjamurnya media sosial. Selain karena media sosial telah menjadi tempat belajar agama, perubahan juga dipengaruhi oleh karena kemunculan post truth (pasca-kebenaran), kedangkalan makna beragama dan menguatnya formalisme, keberlimpahan informasi dan matinya otoritas keagamaan, serta deprivatisasi keagamaan.

“Media sosial memberi pengaruh signifikan terhadap perkembangan dakwah islamiyah. Perkembangan ini lantas membetuk pola baru dakwah, dan sekaligus melahirkan fenomena baru keagamaan,” ulasnya. Di media sosial, agama ditampilkan secara dangkal. “Perkembangan dakwah copy-paste dan share men-share semakin menjamur, inilah yang melahirkan populisme keagamaan,” kata Dadang.

Fenomena keagamaan di media sosial juga kerap memunculkan varian keagamaan yang mudah menyalah-nyalahkan pihak berbeda. Hanya dengan sedikit referensi, kerap orang merasa paling benar sendiri. “Boleh kita merasa benar, tapi cintai orang lain. Jangan merasa benar, lalu memusuhi orang lain, itu yang tidak boleh,” ujar Dadang.

Menurutnya, strategi Muhammadiyah dalam menghadapi populisme agama, antara lain dengan: kukuh pada nilai-nilai inti, teladan dalam berorganisasi, bermanfaat dan memberi tanggung jawab sosial, knowledge society. Selain itu, perlu adanya basis peradaban yang kokoh. “Visi gerakan gerakan Islam masa depan harus berdasarkan empat basis peradaban, yaitu: ketuhanan, kemanusiaan, keilmuan, dan spiritualism,” tukasnya.

Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang Lilik Andriyani menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid. Dakwah Muhammadiyah senantiasa menebar rahmat bagi semua. “Harapannya dengan dakwah, Muhammadiyah bisa memberikan kebaikan bagi seluruh alam semesta. Insyaallah dengan seluruh masyarakat di seluruh Indonesia bahkan dunia, Muhammadiyah berperan aktif untuk bisa menjadi gerakan pencerah menuju Indonesia berkemajuan,” tuturnya. (ribas)

Exit mobile version