Tidak Asal Toleransi

Tidak Asal Toleransi

KUPANG-JAKARTA. Pada 12 Mei 2022, kata Sukidi mengawali paparan, pembangunan Masjid At-Taqwa Muhammadiyah di Bireuen kembali dihentikan, sebagai rentetan penolakan dan bahkan pengrusakan masjid sejak tahun 2017. Beberapa waktu sebelumnya, plang nama Masjid Muhammadiyah di Banyuwangi dicopot paksa. Senada itu, umat Kristiani butuh waktu hampir 20 tahun untuk bisa mendirikan gereja. Beberapa fakta ini disebut Sukidi, “Agar kita tersadarkan tentang brutal fact.

Hal itu disampaikan Sukidi dalam rangkain Seminar Pramuktamar Muhammadiyah ke-48 dengan tema ‘Kerjasama antariman dan Intregrasi Sosial’. Menurutnya, ada beberapa tantangan dalam mewujudkan integrasi sosial. “Integrasi sosial kita mengalami hambatan, tantangan, tidak hanya dari kalangan yang berbeda, tetapi di antara internal umat itu sendiri. Ini yang saya sebut sebagai fragile tolerance,” tuturnya.

Fragile tolerance atau toleransi yang rapuh ini bukan hanya tidak toleran kepada yang berbeda agama, bahkan kepada sesama umat satu agama pun tidak toleran. “Peristiwa memilukan ini terjadi akibat dari suatu ketidaksetaraan dalam social relation kita.” Ada ketidaksetaraan antarumat beragama dan antar-sesama warga negara.

Sebab itu, diperlukan pondasi dalam kehidupan bersama sebagai warga negara. Dalam hadis Nabi, disebut, “Ahabbu ad-din ilallah al-hanafiyyatu as-samhatu.” Bahwa agama yang paling dicintai Allah adalah (yang bercirikan) lurus dan lapang.

“Toleransi saja tidak cukup, karena tidak mengandaikan adanya suatu kesetaraan.” Tanpa itu, kata Sukidi, masih terjadi persekusi. “Kebhinekaan menuntut kita bukan sekadar saling mengenal satu sama lain, saling mengakui secara setara.” Dalam tradisi Islam, diberi jaminan bahwa kita semua adalah setara. Yang terbaik di sisi Allah hanyalah yang paling bertakwa.

Kebhinekaan berangkat dari sikap saling respect. “Prinsip kesetaraan menuntut kita saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain,” ujarnya. Semua pemeluk agama dan keyakinan mesti menghormati pemeluk agama yang berbeda.

Dalam pandangan Sukidi, perlakuan yang adil dan setara menjadi prasyarat bagi keberlangsungan integrasi sosial. “Kemerdekaan keyakinan bagi semua warga negara ini adalah mutlak, absolut, tidak dapat diganggu gugat. Setiap warga negara berhak memeluk agama dan keyakinannya,” tukasnya. (ribas)

Exit mobile version