Oleh Masud HMN
Moral ethic atau sikap yang lurus, sikap beragama yang harus ditegakkan, itulah wasiat Buya saat kita mengenangnya. Buya Syafii Maarif lahir pada tanggal 31 Mai l935 dan wafat pada hari Jum’at tanggal 27 Mai 2022 pukul 10.l5 WIB dalam usia 87 tahun. Dimakamkan di Yogyakarta di hari itu juga.
Nama lengkapnya Ahmad Syafii Maarif, lahir di Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Ia besar di Jawa, persisnya di Yogyakarta. Merantau meninggalkan kampung halaman sejak kecil.
Beliau seorang tokoh yang banyak dikenang orang. Hidupnya sederhana dan apa adanya. Beliau bukan orang yang terobsesi kepada materi. Meski hal tersebut bisa dicapainya karena banyak temannya adalah tokoh dan orang berduit.
Meminjam istilah orang banyak yang disematkan kepada Buya, sepanjang waktu Buya tak hentinya memikirkan bangsa. Hingga lupa memikirkan duit untuk diri dan keluarganya. “Kalau bukan kita yang memikirkannya, lalu siapa lagi. Apakah ada orang lain yang mau memikirkan nasib masa depan Indonesia,” ujar Buya suatu ketika.
Suatu saat Buya pernah mengkritik sekelompok orang beragama yang sikap dan perilakunya tak mencerminkan agama yang dianutnya. Misalnya kepada orang yang berlagak taat, berpakain jubah dan berjeggot. Menjadi pengkhatbah, memeberi fatwa agama sana-sini. Tetapi perangainya tidak mencerminkan orang alim. Pembohobng dan munafik. Yang ia (Buya) menyebutnya “preman berjubah”. Yang tidak sesuai antara lahir dengan batinnya.
Alangkah pahit ucapan Buya Syafii Maarif demikian. Namun memang harus disuarakan. Tertuju kepada sekelompok umat muslim yang moral etiknya lain di luar lain di dalam. Seperti pepatah, Pepat di luar dan runcing di dalam. Lahirnya seperti sahabat, tetapi batinnya musuh.
Maka dari itu Buya tak henti-hentinya mendorong moral teologis beragama yang sesuai dengan nilai yang diiajarkan (norma ethic) dan sesuai dengan prilaku ethic yang dilaksanakan. Itulah pandangan hidup yang dianut Buya. Artinya selaras antara nilai dengan perbuatan.
Menurut penulis ada tiga hal yang menarik dari sikap dan pandangan Buya. Pertama, kegundahan beliau tentang dasar Negara Pancasila yang berkaitan dengan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang dalam penerapan masih timpang. Sehingga harus diterapkan azas yang seimbang
Kedua, berkenaan dengan persatuan. Kita mengalami pembelahan yang luar biasa dan harus segera dicari jalan keluarnya. Ketiga, soal soal terorisme atau kekerasan. Ada sekelompok orang yang merasa dirinya paling benar, sehingga yang dianggapnya tidak benar harus disingkirkan dengan cara kekerasan.
Ketiga peroalan di atas sejatinya membuat Buya Syafii Marrif risau. Harus diselesaikan dengan baik Agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju di masa depan.
Antahlah yuang, hari depan bangsa, itu gumamnya melampiaskan kerisauan belau yang dalam bahasa Minang artinya entahlah buyung. Selamat jalan Buya. Beristirahatlah dengan tenang. Kami akan menyusulmu.
Masud HMN, Dosen Pascasarjana Uhamka Jakarta.